SEPANJANG akhir pekan silam kalangan pengusaha besar dan pejabat tinggi di Jakarta diam-diam membicarakan Prajogo Pangestu yang, kata mereka, sedang "naik pentas". Pentas yang mana dan apa maksudnya? Jawaban tuntas untuk pertanyaan ini mungkin baru bisa diketahui pekan depan, katakanlah, beberapa hari sebelum 18 Desember 1992. Hari itu adalah batas akhir bagi taipan William Soeryadjaya untuk menebus 100 juta lembar saham Astra yang diagunkannya pada Bank Exim, Bapindo, dan Danamon untuk memperoleh utang Rp 500 milyar. Jika William gagal menebusnya, maka saham 100 juta lembar yang belakangan ramai dibicarakan itu mau tak mau akan dilelang. Kalau hal ini sampai terjadi, maka upaya mengatasi krisis Bank Summa agaknya akan semakin jauh dari sukses. Lalu? Lalu muncullah Prajogo Pangestu, pengusaha kayu lapis yang semakin berkibar sejak dua tahun silam. Tepatnya, sejak ia berhasil mencari jalan keluar dari guntingan Tim PKLN yang semula akan menunda proyek olefin Chandra Asri bernilai Rp 1,6 trilyun. Setelah sukses meneruskan Chandra Asri, kini Prajogo mencoba membantu Om Willem untuk keluar dari kemelut Bank Summa. Dan tampaknya pengusaha yang satu itu lagi-lagi mengantungi peluang paling besar untuk berhasil. Sabtu akhir pekan lalu, sekitar pukul 16.00, Prajogo terlihat berkunjung ke kantor pusat PT Astra International, Jalan Juanda, Jakarta. Biasanya, hari Sabtu kantor Astra tutup, tapi kali ini terbuka lebar. Hanya tak sampai satu jam di sana, Prajogo sudah pergi lagi. Ternyata sore itu Prajogo bertemu dengan keluarga William Soeryadjaya, pendiri dan pemegang saham mayoritas Astra. Pada kesempatan itu para direksi ikut hadir. Kuat dugaan, Prajogo sudah menandatangani surat pesanan pembelian saham-saham Astra milik Om Willem. Kalau benar, prosesnya benar-benar cepat. Kepastian tentang ini baru diterima TEMPO pukul 21.00. Prajogo, yang dikontak lewat telepon di kantornya Sabtu malam, mengatakan, "Belum selesai. Semuanya masih dalam proses." Pengusaha besar yang berkantor pusat tak jauh dari markas Astra International itu sejak pekan lalu memang disebut-sebut sebagai calon terkuat. "Ini bukan soal bisnis. Saya terpanggil untuk membantu Om Willem menebus saham Astra. Saya juga akan coba bantu (mengatasi kemelut) Bank Summa," tutur Prajogo kepada TEMPO. Seperti diketahui, Bank Summa sudah dihentikan kegiatannya sejak kalah kliring dan diskors Bank Indonesia pada Jumat naas 13 November silam. Om Willem sebagai pemegang saham Bank Summa 100% ternyata tak mampu lagi menyuntikkan dana segar guna membangkitkan bank itu dari pingsannya. Lebih celaka lagi, para kreditur Om Willem sudah menutup pintu rapat-rapat. Sedangkan seperti disebutkan di atas, 18 Desember mendatang dua bank pemerintah (Bank Exim dan Bapindo) serta Bank Danamon sudah menyatakan bahwa kredit mereka sebesar Rp 500 milyar kepada William sudah tidak bisa diperpanjang. Jika William tidak melunasi utang pokok berikut bunga yang "cuma" 10% per tahun (Rp 50 milyar), maka agunan berupa 100 juta saham Astra akan dilelang. Kredit itu sebenarnya diberikan tahun lalu sebagai pinjaman antara (bridging loan) guna memberi waktu bagi pemegang saham Bank Summa menjual aset-asetnya, termasuk merapikan administrasinya. "Itu perjanjian komersial biasa, tidak ada instruksi atau persetujuan saya," kata Menteri Keuangan J.B. Sumarlin. Kredit sebesar Rp 500 milyar itu ternyata masih ditambah kredit dari Bank Dagang Negara (BDN) sebesar Rp 200 milyar (dengan agunan 40 juta saham Astra) dan kredit Bank Universal sekitar Rp 140 milyar (dengan agunan 28 juta lembar saham Astra juga). Sehingga, dari penggadaian saham itu mestinya ada sekitar Rp 840 milyar yang bisa digunakan oleh keluarga William untuk membenahi Bank Summa. Entah apa yang terjadi, kredit itu ternyata tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. "Yang murni masuk sebagai dana segar ke Bank Summa cuma sekitar Rp 200 milyar," kata sebuah sumber TEMPO. Presdir lama Summa Bank, Hagianto Kumala, sebenarnya juga telah mengusahakan penjualan aset bank Summa. Pembeli sudah ada, tapi pembeli itu kemudian diusir Edward Soeryadjaya (presiden komisaris Bank Summa waktu itu). Hanya direksi Astra, yang membeli sebagian aset Bank Summa, yang tak bisa diusir Edward. Baru setelah William mengambil oper jabatan Presiden Komisaris Bank Summa (awal 1992), mulailah diusahakan penjualan aset Bank Summa yang tidak produktif. Tapi masuknya William ke Bank Summa rupanya terlambat. Para calon pembeli sudah menekan harga. Yang mengherankan, Bank Summa sampai akhir bulan lalu masih melakukan ekspansi kredit. Buktinya adalah kekalahan bank itu dalam tukar-menukar cek (kliring) di BI 12 November lalu. Hari itu Bank Summa kalah kliring Rp 70 milyar. Itu berarti Bank Summa masih berani mengeluarkan kredit besar-besaran. Kegagalan itu rupanya menyebabkan kesabaran pemerintah habis. Bank-bank pemerintah agaknya telah dilarang untuk memperpanjang kredit kepada William. Tiga serangkai Exim-Bapindo-Danamon sudah tak mau lagi lebih lama memegang saham-saham Astra. Dengan demikian agunan William sudah harus ditebus atau kalau tidak akan dilelang. Adapun saham-saham yang diagunkan kepada Exim-Bapindo-Danamon bisa mengandalkan tiga calon pembeli. Satu konglomerat pribumi yang siap membeli saham-saham tersebut dengan harga "cuma" Rp 6.000 per lembar. Kemudian ada tawaran dari konglomerat terbesar, yang kabarnya hanya memasang harga Rp 6.500 per lembar. Tawaran ketiga diajukan Prajogo Pangestu. Konglomerat Barito Pacific Group ini berani membayar harga antara Rp 7.000 dan Rp 8.000. Berita itu belum bisa dicek kebenarannya. Tapi jika betul demikian, semua tawaran itu berada di bawah harga pasar pekan lalu yang Rp 8.500 per lembar. Kendati Menteri Keuangan maupun Ketua Bapepam pekan lalu telah menegaskan bahwa transaksi di bursa harus mengikuti harga pasar, untuk penawaran besarbesaran (block sale) biasanya memang berbeda. Mekanisme pasar saham memang begitu. Jika pihak pembeli yang mendesak atau mempunyai niat untuk mengambil oper, biasanya pembeli berani memberikan premi lebih sampai 50% lebih tinggi. Ingat saja kasus akuisisi perusahaan UIC di Singapura oleh Salim Group dari putra Eka Cipta. Saham-saham UIC dibeli dengan harga sekitar Sin$ 2 sedangkan harga pasar cuma Sin$ 1,35. Sebaliknya jika penawaran datang dari pihak penjual, maka dia berada di posisi yang lemah. William tampaknya berada dalam posisi seperti ini. Buktinya, November lalu BDN dan Newark Ltd yang memborong 40 juta saham Astra dari William cuma membayar Rp 10.000 per lembar sedangkan harga pasar hari itu adalah Rp 10.850. Untuk melepaskan saham yang 100 juta sekarang, keluarga William masih berusaha meminta harga sama seperti yang dibeli BDN. "Kalau ada yang mau beli Rp 10.000, buat kami sih selesai," kata sumber dari keluarga Soeryadjaya pekan lalu. Soal penjualan saham Astra ini tampaknya diikuti pemerintah secara serius, sampai ke tingkat tertinggi. Pangkal masalahnya terletak di Bank Summa, yakni para pemilik deposito yang resah karena belum tahu bagaimana nasibnya. Entah bagaimana, dua pekan lalu tiba-tiba terjadi rush (penarikan dana besar-besaran) di Bank Surya dan Subentra Bank. Menyusul kejadian itu Menko Polkam Soedomo menerima perintah khusus dari Presiden untuk meredam isu yang mengganggu ketenangan itu. Lalu pada hari Ahad pekan itu juga (29 November 1992), William dan Prajogo kabarnya dipanggil Presiden. Tapi sehari sebelumnya Prajogo sudah dipanggil lebih dulu. Baru Selasa pekan lalu beredarlah nama Prajogo sebagai calon pembeli saham-saham Astra. Hal itu tidak dibantah Prajogo. Namun pengusaha yang dijuluki Lord of Forest ini membantah dugaan bahwa ia membeli saham semata-mata untuk ekspansi. "Kalau saya masuk Astra, itu bukan atas dasar bisnis. Sekarang saja saya sudah cukup sibuk menangani bisnis yang ada," kata Prajogo. "Tidak etis kalau mengambil keuntungan dari Om Willem yang lagi kesusahan," kata Prajogo kepada TEMPO. Kalau mau membantu Om Willem, apakah itu berarti Prajogo juga akan ikut membenahi Bank Summa? "Saya cobalah," ujarnya. Langkah pertama yang akan diambil Prajogo adalah menebus saham-saham Astra milik William di Bank Exim, Bapindo, Danamon. "Pasti sebelum tanggal 18 Desember," kata Prajogo. Kalau mengikuti harga pasar yang Rp 8.500 per lembar, berarti Prajogo harus menyiapkan dana Rp 850 milyar. Namun kalau ia mau membantu Om Willem sampai ke masalah deposan Bank Summa, setidaknya ia masih harus memberi pinjaman lagi sekitar Rp 500 milyar. Barulah seluruh kebutuhan nasabah bisa ditutup. Seperti diungkapkan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin di DPR, pekan lalu, dana milik para deposan di Bank Summa masih Rp 700-800 milyar. Untuk menebus utang William berikut bunga di tiga bank (Exim-Bapindo-Danamon) diperlukan Rp 550 milyar. Berarti dana yang dibutuhkan minimal Rp 1.300 milyar. Menurut sebuah sumber TEMPO yang sangat mengenal Prajogo, uang sebanyak itu tidak susah bagi Prajogo untuk mendapatkannya -- tentu saja sebagai pinjaman. "engan omset Barito Pacific US$ 700 juta setahun, dia tinggal angkat telepon dan minta cash advance dari mitra dagangnya di Jepang," kata sumber TEMPO. Sebuah perusahaan Jepang, katanya, pernah membuka revolving LC sebesar US$ 1 milyar untuk Barito Pacific. Tapi ketika ditanya dari mana sumber dananya, Prajogo rupanya tersinggung berat. "Kalau Saudara beli saham di bursa, apakah mesti beri tahu dari mana? Apakah petugas bursa menanyakan hal itu? Jawablah pertanyaan saya," ujar Prajogo serius. Ketika ditanya adakah ia akan menggunakan semacam bridging loan dari Chandra Asri atau Barito Group, secara spontan dan tegas Prajogo menjawab, "Silakan kutip katakata saya. Dana dari Chandra Asri itu tidak boleh dan tidak mungkin boleh (dipakai). Sebab apa? Setiap perusahaan, apalagi Chandra Asri proyek besar, punya organisasi sendiri, punya struktur keuangan sendiri. Pemegang sahamnya juga lain-lain." Terlepas dari soal dana, masalah yang dihadapi Prajogo agaknya adalah meneliti aset-aset Bank Summa. Kalau kredit ini menyangkut perusahaan-perusahaan Summa Group, itu berarti ia harus masuk sampai ke jantung Summa Group. Dan memang ada indikasi ke arah itu. Hal lain lagi ialah, melacak pinjamanpinjaman bank Summa. Jika ada pinjaman yang diambil Bank Summa dengan jaminan aset keluarga, berarti perlu penelitian sampai ke aset keluarga Soeryadjaya. Jelas, peran yang akan diambil Prajogo Pangestu untuk membantu William bukan sekadar menyiapkan dana. Diakuinya, apa yang akan dilakukan, semuanya masih dikompilasi. Kemungkinan ia harus meminta bantuan orang lain. Pada Jumat pekan lalu, Sofyan Wanandi telah pula menyatakan bahwa beberapa konglomerat anggota Yayasan Prasetiya Mulya secara individu siap membantu. "Ada 5-6 orang. Sasaran kami ada empat," tutur bos Pakarti Yoga ini. Pertama, mengamankan Astra supaya jangan kolaps. "Jangan sampai para kreditur Astra lari," kata Sofyan. Kedua, ikut membantu Om Willem menyelesaikan deposan Bank Summa. Ketiga, membantu penjualan aset Summa Group. Keempat, bagaimana supaya si Om beserta aset keluarganya juga selamat." Jika melihat gelagatnya, kemelut Bank Summa sudah akan bisa dituntaskan sebelum Natal. Mungkin juga sebelum akhir tahun. Soalnya kini: Prajogo atau siapa yang naik pentas? Max Wangkar, Iwan Qodar Himawan, Sri Wahyuni, Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini