TIGA minggu sejak Bank Summa dikenakan skorsing oleh Bank Indonesia, ada dua hal penting yang terjadi. Pertama, arus penarikan dana di Bank Subentra dan Bank Surya. Kedua, pengusaha kayu lapis Prajogo Pangestu dari Barito Pacific Group diberitakan bersedia membeli 100 juta lebih saham Astra milik William Soeryadjaya. Subentra dan Surya bukanlah korban pertama krisis kepercayaan masyarakat penabung kepada sektor perbankan. Korban pertama adalah Bank Continental di Medan, yang terguncang keras oleh penarikan dana, hanya garagara letaknya bersebelahan dengan kantor cabang Bank Summa. Peristiwa ini ganjil sekali memang. Dan dari situ bisa disimpulkan bahwa kalau masyarakat resah, apa pun bisa terjadi. Begitu pula insiden yang mengusik Subentra dan Surya. Menurut pertimbangan rasional, insiden itu tak akan terjadi. Kedua bank tersebut sehat dan sangat jauh dari kemungkinan kolaps. Jadi tak ada alasan untuk penarikan dana. Toh itulah yang terjadi. Masyarakat resah, termakan isu, lalu akal sehat pun berhenti bekerja. Timbul pertanyaan, mengapa masyarakat jadi begitu rentan terhadap isu kalah kliring? Sementara itu insiden Subentra & Surya masih tersaput kegelapan, dalam arti tak jelas biang keladinya. Mungkin saja biangnya adalah para pesaing kedua bank tersebut. Tapi mungkin juga tidak. Mereka yang mengerti psikologi massa mengkhawatirkan, insiden penarikan dana sewaktu-waktu bisa saja mengguncang bank-bank swasta lainnya. Kalaulah sampai terjadi lagi, maka eksistensi industri jasa keuangan benar-benar terancam di negeri ini. Dalam keadaan serba tidak pasti yang terus bergayut selama Senin dan Selasa pekan silam, tiba-tiba terbetik berita bahwa Prajogo Pangestu sedang merintis satu negosiasi dengan pemilik Bank Summa, taipan William Soeryadjaya. Prajogo tidak sekadar akan membangunkan Bank Summa dari pingsan -- dengan suntikan dana lewat pembelian saham Astra milik William -- tapi juga akan siap menghadapi konsekuensi dari pengalihan saham tersebut. Singkatnya, ia tidak akan membiarkan PT Astra International terguncang, hanya karena Keluarga Soeryadjaya kelak bukan lagi pemegang saham mayoritas pada perusahaan otomotif terbesar (di Indonesia) itu. Kepada TEMPO Prajogo mengatakan, pembelian saham Astra itu baginya bukan masalah bisnis, tapi lebih merupakan satu misi nasional. Pernyataan ini hanya bisa ditafsirkan sebagai isyarat bahwa Prajogo tidak digerakkan oleh motivasi bisnis, tapi sematamata didorong sebuah goodwill untuk mengamankan industri perbankan, sekaligus melindungi industri otomotif dalam negeri. Sampai di mana kebenaran ucapan Prajogo akan bersama-sama bisa dibuktikan dalam waktu dekat. Tentang misi nasional yang disebutkan pengusaha itu, agaknya juga tidak dimaksudkan untuk melebih-lebihkan. Mengapa? Krisis Summa, secara makro bisa melemahkan ketahanan ekonomi nasional, apalagi kini manakala harga minyak cenderung turun dan peluang Indonesia untuk menjaring pinjaman lunak dari luar negeri sudah tidak sebesar dulu lagi. Dari sisi lain, krisis Summa telah mengisyaratkan bahwa sektor perbankan, yang begitu cepat pertumbuhannya, ternyata belum cukup dewasa untuk mengatasi masalah-masalahnya sendiri. Sejumlah nasabah menjadi korban, dan para pengambil keputusan ikut pusing dibuatnya. Melihat berbagai dampak negatif dan juga menyimak perkembangan terakhir dalam upaya mengatasi krisis Summa, maka TEMPO kembali menurunkan laporan utama sekitar masalah itu -- yang ketiga kalinya sejak bank tersebut diskors, 13 November lalu. Bagian I menampilkan cerita tentang inisiatif Prajogo membeli saham Astra milik William, dengan berbagai aspeknya. Boks satu-satunya pada bagian ini, lebih khusus bercerita tentang 100 juta lembar saham Astra milik William Soeryadjaya yang diagunkan pada Bank Exim, Bapindo, dan Bank Danamon, serta harus ditebus 18 Desember yang akan datang. Adapun sikap resmi pemerintah mengenai masalah Summa terwakili dalam wawancara khusus TEMPO dengan Menteri Keuangan J.B.Sumarlin, yang bisa diikuti pada bagian II. Bagian III melaporkan insiden penarikan dana pada Bank Subentra, Bank Surya, serta beberapa bank swasta lainnya, yang dilengkapi pendapat para bankir mengenai gejala rush serta bagaimana alternatif untuk mengatasinya. Bagian terakhir (IV) meneropong sektor perbankan sejak krisis Summa pecah, bagaimana dana pihak ketiga beralih dari bank-bank swasta ke bank-bank pemerintah, serta faktor-faktor apa yang menyebabkan kondisi bank cenderung tidak sehat dan kesalahan manajerial apa yang menjadi penyebabnya. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini