JABAT tangannya masih terasa keras. Tawanya pun masih berderai, diselingi humor segar. "Mau tanya apa lagi, saya ini diminta untuk tutup mulut," katanya setengah bergurau kepada TEMPO, Jumat sore lalu. Siapa yang minta? Om Willem terdiam sejenak, lalu menyulut cerutu Florina dari Belanda. Dia memandang asap yang mengepul dari mulutnya, lalu mengusap bawah matanya yang tampak hitam, mungkin karena kurang tidur. "Ya, saya ini merasa seperti serba salah." Rasa serba salah agaknya berpangkal pada tertutupnya pintu-pintu pinjaman baru guna melunasi uang para deposan di atas Rp 10 juta di Bank Summa yang berjumlah Rp 730 milyar. Keluarga Soeryadjaya sudah bersedia menjual sebagian besar saham Astra dan Summa Grup. Mereka bahkan sudah pasrah untuk turun pangkat menjadi pemilik saham minoritas di PT Astra International Inc. Namun, menjual jutaan saham Astra tentu tidak semudah menjual sedan Toyota. Pihak Astra bilang animo untuk membeli saham cukup banyak. Mengapa belum juga laku, "saya sungguh tidak tahu," kata sebuah sumber yang mengetahui di Astra. Adapun seluruh saham Astra berjumlah 242.198.000 lembar, sedang saham milik keluarga yang sebagian besar siap dijual berjumlah 126 juta lembar. Terasa aneh, memang. Sebab, 128 juta saham keluarga Soeryadjaya di Astra sudah digadaikan. Rupanya, selisih saham dua juta lembar itu dipinjam dari orang lain, bukan milik keluarga. Yang tambah bikin pening Om Willem adalah ini: Bank Exim -- yang bersama Bappindo dan Danamon Finance punya agunan 100 juta saham di Astra -- telah mematok deadline 18 Desember ini. Kalau Om Willem tidak segera menebusnya, 100 juta saham itu akan dilelang. Seperti diketahui, konsorsium tiga bank itu telah meminjami Om Willem Rp 500 milyar dengan agunan 100 juta saham keluarga. Bank Exim dan Bappindo masing-masing meminjami Rp 200 milyar, sementara Danamon menimpali Rp 100 milyar. Lalu apa yang harus dilakukan si Om? Tak adakah orang yang bisa membantu anak Majalengka yang berhasil membangun suatu kerajaan di pentas bisnis di Indonesia ini? Alkisah, di akhir November lalu, William telah mengetuk pintu orang yang amat menentukan di Indonesia, dan minta petunjuk. Hasilnya? "Saya sungguh bersyukur, pintu-pintu yang tadinya sudah tertutup bisa dibuka lagi," katanya. Maka, tampillah pekan lalu nama Prajogo Pangestu, taipan muda yang lagi naik daun, sebagai calon pembeli saham keluarga yang paling kuat. Adalah Prajogo, putra pedagang kelontong asal Singkawang, yang mulai didekati William di awal November. Pertemuan yang baru bertaraf "omong-omong" dilanjutkan pada 7 November. Hatta, setelah Bank Summa dinyatakan kalah kliring di hari sial 13 November, pihak William pun mengetuk pintu Prajogo lebih keras lagi. Tak begitu jelas apa saja yang dibicarakan Om Willem dengan bos Barito Pacific Group itu. Ada yang bilang, yang masih menjadi soal adalah tawar-menawar harga saham. Ada yang bilang, pihak Prajogo menyebut harga per saham Rp 7.500 sebagai tawaran awal. Sedangkan akhir pekan lalu, Bursa Efek Jakarta mencatat harga saham Astra setinggi Rp 8.550 selembar. Berarti Rp 1.500 lebih rendah dari 40 juta saham William yang dibeli oleh Bank Dagang Negara sebelum peristiwa Bank Summa. Berapa harga yang pantas? Om Willem, yang pada 20 Desember ini akan memasuki usia 70 tahun, mengangkat kedua tangannya. "Ya, itu harus datang dari pihak yang kuat. Kami kan ada di pihak yang lemah." Sekalipun Menteri Keuangan Sumarlin mengatakan pembelian saham keluarga William harus mengikuti harga di bursa, dalam praktek yang terjadi memang bisa lain. Lebih-lebih jika pihak penjual sedang dikejar deadline untuk dilelang. Posisi tawar-menawarnya pun lemah. Kecuali ada goodwill alias niat baik sang pembeli. Niat baik itu kabarnya bukan tidak ada. William, yang oleh Prajogo disebut sebagai "sesepuh", adalah salah seorang pendiri Yayasan Prasetiya Mulya. Dan Prajogo adalah anggota yang kian diperhatikan dalam yayasan yang banyak menampung para konglomerat di Indonesia ini. Beberapa rekan Om Willem di Prasetiya konon pernah mengulurkan bantuan ketika Bank Summa kalah kliring yang pertama pada akhir tahun lalu. Beberapa rekan konglomerat kabarnya bersedia membeli sebagian saham milik keluarga Soeryadjaya "dengan harga bagus," menurut seorang pengusaha yang mengetahui. Tapi, karena banyak ditentang oleh pihak keluarga, terutama kabarnya oleh Edward Soeryadjaya, putra sulung William, tawaran itu pun tidak berbalas. William agaknya lebih suka kalau rekanrekannya mau membantu dia dengan cara membeli sebagian dari aset Summa Group, yang banyak dibenamkan oleh Edward dalam bentuk tanah dan bangunan (real estate). Tapi sayang, aset atau kekayaan Summa Group itu lagi turun harganya setelah Menteri Sumarlin bulan Agustus 1990 melarang bank pemerintah untuk mengobral kredit kepada kaum pengusaha, alias tight money policy. Pada hari-hari yang mendekati deadline, tak banyak terbuka pilihan bagi Om Willem. Namun, menurut seorang pengusaha yang dekat dengan keluarga Soeryadjaya, Om Willem merasa lebih tenang untuk berunding karena si sulung Edward, yang selalu menentang maunya sang Ayah, lagi diminta untuk tetirah di luar negeri. Ada kemungkinan suatu kesepakatan harga akan tercapai antara Om Willem dengan Prajogo Pangestu dalam minggu ini juga. Kalau benar begitu, bagaimana ihwal kredit Rp 500 milyar dari konsorsium Bank Exim, Bappindo, dan Danamon? "Itu akan kami kembalikan, itu harus dihormati," kata William. Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini