SEPERTI EMPAT abad yang silam, sejumlah negara yang baru
merdeka berkumpul di Bandung Ternyata mereka tak cuma ngomong
politik Rata-rata miskin, hanya hidup dengan mengekspor bahan
mentah ke negara industri, negara-negara AA (Asia-Afrika) itu
bersepakat: harus ada tindakan bersama untuk menstabilkan harga
dan permintaan internasional terhadap komoditi yang mereka
hasilkan.
Selama seperempat abad, "tindakan bersama" yang dicita-citakan
itu nyaris omong kosong Konperensi Asia-Afrika sendiri tak bisa
diulangi. Asia-Afrika memang cuma satu himpunan yang akhirnya
maknanya hanya terbatas.
Namun bila peta bumi tak sanggup mempersatukan, ada faktor lain
yang menggabungkan mereka kemiskinan. Scperti kata Presiden
Sekou Toure dari Guinea "Saya tak tahu soal Timur dan Barat,
yang saya tahu hanyalah negeri-negeri kaya dan negeri miskin."
Toh kemiskinan itu juga jadi penghalang harga bahan mentah di
pasaran internasional biasa jungkir balik, dan penghasilan
negeri-negeri miskin itu menjadi gampang goyah, karena tak ada
pengamanan Untuk pengamanan diperlukan stok penyanga yang punya
impak internasional. Tapi untuk menyediakan stok penyangga
seperti itu, dibutuhkan dana yang besar. Negeri miskin tentu
saja tak mampu--dan lingkaran setan pun jadi lingkaran
kemelaratan dan kejengkelan.
Negeri industri, yang membeli bahan mentah dari negeri miskin,
tentu saja berkepentingan untuk membiarkan keadaan seperti itu
Tapi memasuki dasawarsa '70, sesuatu yang dramatis terjadi.
Gigi OPEC
Negara pengekspor minyak bumi yang tergabung dalm OPEC di tahun
1973 tiba-tiba menyadarkan seluruh dunia, betapa tergantungnya
negara-negara industri kepada hasil bahan mentah negeri miskin.
Dalam hal OPEC, itu memang cuma berarti minyak bumi. Namun tak
berdayanya negeri industri menghadapi kenaikan harga OPEC secara
beruntun telah mengilhami negeri pengekspor bahan mentah lain
untuk kasih unjuk gigi.
Meskipun dengan gigi yang masih rapuh, Konperensi Tingkat Tinggi
Negara Non-Blok di Aljier di tahun 1974 berhasil menyerukan
semboyan yang kemudian dikenal sebagai "Tata Baru Ekonomi
Internasional", untuk mengubah status-quo yang dirasakan tak
adil oleh negara berkembang Dari sinilah satu rangkaian panjang
dan rumit perundingan antara negeri kaya dan miskin, yang
disebut dialog "Utara-Selatan", berlangsung.
Forumnya yang paling utama tentu saja UNCTAD, organ PBB yang
mengurus perdagangan dan pembangunan. Sejak lama UNCTAD terkenal
sebagai tempat bersuaranya seruan, terkadang kers, agar ada
bagian yang lebih baik bagi negeri berkembang, terutama dalam
perdagangan. Sekjennya yang pertama, Raul Prebisch, seorang
ekonom Argentina, sejak mula disambut hangat oleh Kelompok 77
(negara berkembang). Dasar pikirannya yang penuh kritik kepada
negara kaya di "Utara" ialah: suatu aksi internasional untuk
pembangunan ekonomi di dunia memerlukan pengorbanan sejumlah
kepentingan nasional. Tari Prebisch tak banyak membawa hasil.
Radikal
Sekjen UNCTAD) yang kini, Gamani Korea, ekonom dari Sri Langka
yan menjabat sejak 1974, berada dalanmasa yang lebih
menguntungkan Kegigihan baru negeri berkembang setelah OPEC,
secara menyolok nampak dalam sidang UNCTAD di Nairobi di tahun
1976. Satu kampanye yang sistematis dilancarkan untuk menggolkan
suatu ide yang jelas: terbentuknya suatu Common Fund (Dana
Bersama) yang didukung negara kaya dan miskin, sebagai instrumen
untuk membiayai pengelolaan perdagangan komoditi di dunia.
Tapi dalam sidang Nairobi itu, negara-negara industri tetap
menolak mengikatkan diri bagi ide Common Fund Beberapa anggota
delegasi mereka bahkan kadang iseng mencoret huruf "d" dalam
Istilah itu menjadi Common Fund (Kesenangan bersama). Dan
setelah kurang lebih satu bulan lanya bergulat, kesepakatan
yang diperoleh hanyalah akan adanya langkah-langkah untuk
mendiskusikan ide Dana Bersama itu.
Dan diskusi yang berkepanjangan sejak 1976 itu berkali-kali
mengalami kegagalan. Tapi negeri berkembang, terutama pengekspor
pelbagai jenis komoditi, rupanya sudah pasti bahwa ide itu tak
bisa diundurkan lagi. Dalam hal ini Indonesia berada di antara
yang terdepan -- diwakili terutama oleh Dubes RI di Jenewa waktu
itu, Alex Alatas, yang ditunjuk jadi jurubicara Kelompok 77. Di
belakang Alex Alatas, tak kurang berdiri Widjojo Nitisastro,
Menteri Koordinasi bidang Ekuin--yang oleh seorang diplomat
Barat pernah dinilai sebagai"seradikal orang Aljazair dalam
berbicara soal Utara-Selatan".
Akhirnya, bulan lalu, menetaslah telur yang dierami praktis
sejak Konperensi Asia-Afrika seperempat abad yang silam. Suatu
persetujuan tercapai untuk diadakamlva Dana Bersama -- dengan
negara hdustri sebagai penyumbang saham terbesar (68%), tapi
dengan kekuatan suara yang terbatas. Saharn itu diberikan di
samping kontribusi sebesar $ 1 juta yang harus dibayar tiap
negara yang ingin jadi anggota lembaga keuangan yang unik ini.
Tak ayal lagi, itu memang suatu kesepakatan yang bersejarah.
Lagi pula, "inilah pertama kalinya sebuah ide yang dirumuskan
negeri berkembang, berhasil diterima dalam forum seperti ini,"
seperti kata Alex Alatas. pekan lalu di Jakarta. Suatu
perundingan global akan dimulai September yang akan datang. Dan
negeri miskin, terutama pengekspor komoditi, boleh berharap
bahwa di masa depan dari perundingan Utara-Selatan akan bisa
lebih banyak yang dipetik hasilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini