RUPANYA sukar juga membiarkan Garuda terbang sendiri. Hampir
sebulan setelah pilot Garuda 'mogok' terbang selama lima
hari--sebagai puncak kericuhan yang berkepanjangan di perusahaan
milik negara itu --akhir Februari yang lalu sebanyak 15 orang
anggota DPR mengajukan sejumlah pertanyaan sehubungan dengan
kasus itu kepada Presiden. Dan 30 Juni kemarin melalui Menteri
Ristek B.J. Habibie, pemerintah memberikan jawabannya.
Selama lebih sepuluh tahun terakhir, kata Habibie, Garuda
telah mengadakan rasionalisasi dan efisiensi yang dilaksanakan
secara ketat dan konsisten. Tujuan: untuk menghimpun dana guna
peningkatan investasi, terutama untuk membeli pesawat-pesawat
baru. Karena usaha-usaha itu, maka meskipun telah dilakukan
perbaikan pendapatan karyawan dan segala macam perbaikan
fasilitas, dirasakan oleh sebagian karyawan masih kurang
memadai. Apalagi bila digunakan perbandingan dengan
ukuran-ukuran internasional. Tapi, kata Habibie pula,
membandingkan pendapatan dan fasilitas dengan ukuran
internasional bukan saja tidak sepadan dengan kemampuan Garuda.
Juga tidak sesuai dengan keadaan umum di Indonesia dewasa ini.
Habibie tidak lupa menyebut peningkatan penghasilan karvawan
Garuda teraihir sebesar 15% pada Oktober tahun lalu. Sehingga
bila dilihat sejak tahun 1968 hingga 1979, Garuda telah
menaikkan gaji karyawannya tidak kuran dari 250 kali gaji
bulanan yang semula diterima.
Tentang kericuhan yang timbul sejak pertengahanm 1979 itu,
menurut Habibie telah sering pula diadakan musyawarah antara
Direksi Garuda dengan para penerbang dan teknisi. Pertemuan
telah berlangsung dari hati ke hati. Ada suasana kekeluargaan.
Namun, menurut Habibie, perkembangan hanya kemudian menunjukkan
bahwa mereka yang mewakili karyawan telah mengajukan tuntutan
yang di luar kemampuan perusahaan. Mereka juga mencoba turut
mempermasalahkan berbagai kebijaksanaan yang menjadi wewenang
Direksi.
Tentang beberapa penerbang yang dipecat, Habibie menjelaskan
karena yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang
melanggar disiplin kerja, merugikan perusahaan dan dalam
beberapa hal malahan membahayakan keamanan penerbangan.
Bagi para pilot, jawaban pemerintah itu jelas bukan saja hanya
mengulang, tapi juga tidak memuaskan . Namun puas atau tidak,
sekarang kami mau bilang apa lagi?" kata M. Napitupulu, seorang
pilot F-28. "Apa yang pernah kami perjuangkan sudah maksimal.
Ibarat main kartu, kami ini sudah ceki." Sebenarnya, kata
Napitupulu pula, pimpinan Garuda nampak sudah akan mengabulkan
permintaan-permintaan mereka. "Tapi 'kan gengsi," kata
Napitupulu lagi.
Tapi dengan gengsi atau tidak, menurut Henry Sumolang, salah
seorang aktivis 'aksi resah' para pilot Garuda, jawaban
pemerintah itu kurang benar. Katanya, tidak benar para pilot dan
teknisi menuntut perbaikan nasib mcnurut standar internasional.
Juga tak pernah terjadi pendekatan dari hati ke hati antara
Direksi dan para pilot. "Kalau ada pertemuan itu, tidak mungkin
terjadi peristiwa akhir Januari itu," kata Sumolang.
Bahkan usul-usul dari Panitia 5 hasil hentukan Direksi untuk
mengatasi keresahan karyawan Garuda itu dilemparkan begitu
saja. "Dan Direksi marah-marah kepada kami," katanya.
Sumolang kemudian menunjuk nasib Subekti, penerbang DC-9, dan
Hernawan, Arie Singgih dan Gatot Purwoko, masing-masing
penerbang F-28 yang sudah dipecat Garuda. Mereka, katanya,
menerima pesangon paling tinggi 6 bulan gaji yang diambil dari
gaji pokok sebesar Rp 10 ribu sebulan. Empat pilot Garuda itu
menganggur dua bulan sebelum diterima-bekerja di Air Fast,
sebuah perusahaan penerbangan swasta. Saat itu keadaan ekonomi
mereka "kedodoran.
Henry Sumolang memang merasa perlu memberi komentar tentang
jawahan pemerintah itu. "Saya 'kan tahu persis persoalannya,"
kata Sumolang. "Dan saya yakin Pak Wiweko bisa mengerti apa yang
saya utarakan itu. Pak Wiweko sekarang, bukan Pak Wiweko yang
dulu. Beliau sudah banyak menarik pelajaran dari kasus Garuda
ini." Nampaknya setelah jawaban pemerintah ini belum ada niat
lagi dari para pilot untuk 'resah' lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini