Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Dan widjojo meniup peluit

Pengarahan widjojo nitisastro di depan rakernas pengusaha golkar di jakarta. ia menunjuk pada 15 gejala perekonomian dunia, diantaranya tentang kemungkinan adanya resesi, prospek ekonomi indonesia.

2 September 1989 | 00.00 WIB

Dan widjojo meniup peluit
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PROF. Dr. Widjojo Nitisastro meramalkan akan timbul resesi di awal tahun '90-an? Dan bisa lebih parah dari resesi besar tujuh tahun silam? "Saya tidak meramal," kata Widjojo kepada Fikri Jufri dari TEMPO pekan lalu. "Apa yang saya uraikan di depan Rakernas Pengusaha Golkar, di Jakarta, 20 Agustus lalu, adalah serba kemungkinan yang bisa timbul dalam tahun '90-an, dengan menengok kembali apa yang terjadi pada tahun '80-an di dalam perekonomian dunia." Penasihat Bappenas yang lama menjadi Pembantu Utama Presiden di bidang Ekuin ini memang bukan peramal. Widjojo, seperti kata Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo pekan lalu, melontarkan "isyarat berdasarkan pengamatan data empiris dari siklus sejarah perekonomian dunia, setelah tujuh tahun perkembangan pesat." Suatu isyarat yang dibenarkan olehnya. Memang, banyak peristiwa terjadi dalam perekonomian dunia selama tahun '80-an. Dan Widjojo menunjuk pada 15 gejala, lalu meneropong apa yang mungkin terjadi selama 5-10 tahun mendatang. Berikut adalah petikan dari uraiannya: * Resesi sangat tajam, yang oleh sebagian orang disebut depresi, terjadi sejak 1980 sampai dengan 1982. Setelah resesi reda, negara-negara industri bukan saja pulih ekonominya (recovery), tapi mengalami pertumbuhan terusmenerus selama tujuh tahun, dari 1983 hingga sekarang. Suatu siklus yang baru dua kali terjadi dalam sejarah ekonomi dunia sejak Perang Dunia II. Suatu siklus -- antara resesi, recovery, dan pertumbuhan -- kadang cuma berlangsung empat tahun, kadang lima tahun, tapi kali ini bisa sampai tujuh tahun. Sampai kapan siklus yang sekarang akan berlangsung hingga timbul lagi resesi? Tahun 1990, 1991, atau 1992 ? Kita perlu bersiap-siap. Sebab, tak mungkin pertumbuhan ekonomi di negara industri berlangsung terus-menerus. Pada waktunya dia akan turun. * Pada Oktober 1987 pecah crash bursa saham di New York. Ini terbesar, tertajam kemerosotannya sejak 1929, dan menyebar ke berbagai negara. Akankah itu terjadi lagi? * Tahun '80-an juga ditandai gejolak kurs mata uang negara-negara utama. Lebih-lebih setelah 1985, dolar AS merosot tajam dibanding sejumlah mata uang negara maju, terutama yen dan DM. Pada 1985 satu dolar sebanding 260 yen, pada 1987 menjadi sekitar 130 yen, lalu 125 yen. Kemudian ada gerak naik pada akhir 1988, dan sekarang sekitar 143. Sedang pada tahun 70-an, satu dolar masih 360 yen. Jadi, yang disebut stabilitas kurs, yang amat penting setelah PD II, tak bisa dikendalikan, dan akhirnya berantakan. * Gejala lain yang amat berpengaruh pada ekonomi dunia, termasuk Indonesia, adalah anjloknya harga minyak bumi. Dari US$ 34 per barel di akhir 1981, menjadi US$ 30 setelah Februari 1982, lalu merosot menjadi US$ 25 sebarel pada akhir 1985. Juni 1986 merosot menjadi sekitar 17 dolar per barel, dan kita semua mengalami apa saja akibatnya. Masih terus merosot pada pertengahan '88, hingga mencapai 11-12 dolar sebarel pada akhir 1988. Kini harganya bergerak lagi ke atas menjadi sekitar 18 dolar per barel. Nah, bagaimana harga minyak tahun depan? Masih 18 dolar, 15 atau 12 dolar, atau 25 dolar? Kalau kita teliti, harga minyak bumi untuk tahun-tahun mendatang akan bertambah, tapi tak begitu banyak. * Menurunnya harga komoditi ekspor atau sebagian besar dari komoditi ekspor negara-negara berkembang dalam tahun '80-an perlu pula dicatat. Ini juga suatu gejala yang terjadi dalam tahun 70-an. * Hal lain adalah tingkat bunga riil tingkat bunga setelah dikurangi laju inflasi -- yang tinggi di negara-negara industri selama tahun '80-an. Apakah dengan tingkat bunga begitu tinggi pertumbuhan negara-negara industri akan berlangsung terus. Ini juga berakibat besar bagi negara berkembang yang banyak utang komersialnya. Bunga tinggi ini akan berpengaruh. * Gejala amat penting adalah defisit besar anggaran belanja AS, yang otomatis disertai defisit neraca berjalan neraca pembayarannya. Akibatnya amat besar bagi ekonomi dunia. * Di balik defisit neraca berjalan AS adalah surplus luar biasa di Jepang dan Jerman Barat. Maka, yang kini terjadi adalah recycling surplus Jepang. Bagaimana cara me-recycle surplus Jepang, sehingga tak terjadi seperti halnya recycling petrodolar? Itulah tantangannya. Dalam tahun 70-an, petrodolar disimpan di bank-bank internasional, yang kemudian me-recycle petrodolar itu, dengan meminjamkannya pada banyak negara berkembang. Ketika mereka tak mampu membayar kembali, terjadilah krisis utang. * Selama tahun 60-an dan 70-an, arus modal dunia bergerak dari negara industri ke negara berkembang. Bukan saja berupa dana bantuan, tapi juga dana pinjaman bank-bank komersial. Sebaliknya terjadi selama tahun '80-an: arus modal bergerak dari gara berkembang ke negara industri. Mengapa? Sebab, utang-utang negeri berkembang sudah luar biasa besarnya. Di antara negara industri sendiri timbul perubahan, yaitu arus modal yang luar-biasa besarnya bergerak dari Eropa dan Jepang ke AS, yang kini masih berlangsung. Akibatnya, negara berkembang kekurangan modal. Bagaimana mengubahnya sungguh tak mudah. Ini cuma bisa terjadi kalau arus modal yang sekarang mengalir dari negara berkembang ke negara industri bisa diubah menjadi sebaliknya. Artinya, arus modal yang sangat besar dari Eropa dan Jepang ke AS bisa dihentikan, atau setidaknya dikurangi. Hal tersebut hanya bisa terjadi kalau AS mampu mengendalikan defisit anggaran belanjanya. Jadi, yang sangat penting untuk diamati dari tahun ke tahun adalah melihat bagaimana perkembangan defisit anggaran belanja AS. Itulah salah satu indikator penting bagi ekonomi dunia. Sekarang belum terasa gejalanya. Kalaupun ada, masih berupa pidato.... * Gejala penting lain yang khusus menyangkut negara berkembang, adalah krisis utang luar negeri yang praktis menimpa semua negara Amerika Latin. Mereka tak mampu mencicil utang-utangnya. Lalu ada yang mengumumkan tak akan membayar ada pula yang hanya bersedia membayar utang pokoknya tanpa bunga, atau hanya mau membayar sebagian dari utang bunga, dan sebagainya. Akibatnya, di saat yang sama, arus modal dari luar yang masuk ke sana berhenti hingga memukul perdagangan, apalagi investasi. Ketika Meksiko, yang terbaik di Amerika Latin, mengumumkan tak mampu membayar utangnya pada 1982, sejak itu pula upaya memulihkan ekonominya praktis belum terpecahkan hingga kini. Brasil lebih buruk dari Meksiko, tapi yang terparah dari ketiganya adalah Argentina. Negeri lain yang mengalami kesulitan serupa antara lain Nigeria, Hungaria, Polandia, Rumania, Yugoslavia, dan Filipina. * Sementara itu, di saat dunia dilanda resesi ekonomi, ada empat negara berkembang pesat: Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura, yang sering disebut Empat Naga atau Macan. Korea Selatan, yang utangnya besar, ternyata bukan hanya membayar kembali utangnya seperti kita. Tapi mereka bisa mempercepat pengembalian utangnya. Lha, ini gejala apa namanya? Ada negara berkembang yang tak bisa membayar utangnya, ada yang menimbulkan tragedi kemanusiaan seperti di belahan selatan Gurun Sahara, tapi ada yang justru maju pesat. * Ada kemungkinan -- dan ini baru kemungkinan -- selama akhir tahun '80-an akan lahir naga-naga baru. Banyak yang bersepakat, Maungthai salah satunya. Kemudian Malaysia. Dan yang masih menimbulkan beda pendapat, antara setuju dan tidak, adalah Filipina, yang lagi sulit, dan Indonesia. Betulkah Indonesia akan tampil jadi naga, itu tergantung kita sendiri juga nantinya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus