Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Nunung Nuryantono menyoroti besarnya duit yang keluar Indonesia dari pembelian aplikasi ponsel atau mobile apps selama 2018. Sepanjang tahun lalu, pengeluaran konsumen untuk mobile apps tercatat sebesar US$ 313,6 juta.
Baca juga: KEIN: Sektor Jasa Teknologi Informasi Salah Satu Penyebab
Pada periode tersebut, ujar Nunung, jumlah unduhan mobile apps mencapai lima miliar. "Aplikasi biasanya berbayar dan tiap bulan ada tagihan bayarnya pakai dolar dan ini menambah aktivitas impor," ujar dia di Hotel Century Park, Jakarta, Kamis, 27 Juni 2019.
Oleh karena itu, Nunung menuturkan kegiatan tersebut berimplikasi tinggi terhadap defisit neraca transaksi berjalan Indonesia. Terutama, jika aktivitas tersebut juga masuk ke ranah perdagangan jasa. "Karena ada aktivitas jasa kita yang membeli dari luar."
Besar duit yang mengalir itu belum termasuk fulus dari transaksi perdagangan elektronik alias e-commerce. Berdasarkan data yang Nunung miliki, tercatat duit yang dibelanjakan di e-commerce paling banyak untuk belanja traveling dan akomodasi, yaitu sebesar US$ 9 miliar. Di samping itu, belanja elektronik sekitar US$ 2,6 miliar, fashion US$ 2,3 miliar, makanan US$ 1,4 miliar, game US$ 861 juta, dan perabot rumah US$ 1,6 miliar.
Nunung mengatakan besarnya duit yang beredar dari aktivitas digital itu tak lepas dari masyarakat yang mulai terbiasa untuk belanja dan beraktivitas menggunakan jejaring digital.
"Namun kemudian, saat kita lihat, produk yang dijual di market place yang ada, banyak konten impor dan mau tidak mau kita belanjakan uang kita dan akan memperberat kondisi neraca perdagangan kita," kata dia.
Data tersebut sejalan dengan temuan Komite Ekonomi dan Industri Nasional yang menyebut neraca jasa teknologi informasi dan telekomunikasi sebagai salah satu penyebab jebloknya neraca transaksi berjalan Indonesia.
Adapun hal yang masuk ke dalam neraca itu antara lain games, aplikasi digital, hingga peralatan yang menunjang TIK. "Kalau tidak dipersiapkan, defisit akan semakin lebar," ujar Wakil Ketua Umum KEIN Arif Budimanta.
Selain dari sisi jasa, data UN Comtrade menunjukkan bahwa impor barang untuk komoditas mesin dan peralatan elektronik pada 2018 sebesar sebesar US$21,45 miliar, atau setara dengan 11,37 persen kontribusinya terhadap total impor. Dengan nilai tersebut impor komoditas mesin dan peralatan elektronik menempati posisi ketiga komponen impor terbesar, setelah bahan bakar mineral dan reaktor nuklir dan permesinan.
Sementara, pada komponen impor barang barang berbasis informasi dan teknologi, komoditas dengan kode HS8517, memiliki proporsi dan pertumbuhan impor yang terus meningkat sejak 2014. Pada 2018, H58517 memiliki proporsi sebesar 27,1 persen terhadap HS85 dan tumbuh sebesar 20,9 persen (yoy). Sementara, HS851770 memiliki proporsi sebesar 71,8 persen terhadap HS8517 dan tumbuh sebesar 18,7 persen (yoy) pada periode yang sama.
Tingginya impor di sektor tersebut, kata dia, memunculkan kekhawatiran mengingat teknologi sudah menjelma menjadi kebutuhan dasar. Dengan demikian, permintaan di sektor tersebut diyakini akan semakin meningkat. Belum lagi, Indonesia juga tengah menghadapi era industri 4.0 dan era internet of things. "Kalau kita tidak mempunyai kecakapan teknologi, semua kita beli dari luar," ujar Arif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini