SETUMPUK dana milik pemerintah, yang selama ini mengundang tanda tanya banyak orang, kini pos penggunaannya sudah jelas. Dana reboisasi yang pernah mengundang kontroversi itu -- jumlahnya diduga mencapai Rp 1 trilyun -- kini resmi dijadikan biaya penunjang proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan pola transmigrasi. Hal ini dipaparkan sendiri oleh Presiden Soeharto di Istana Negara, Sabtu pekan lalu. HTI Trans -- begitu sebutan populernya -- memang bukan sembarang proyek. Skalanya besar dan akan dilaksanakan secara berkesinambungan setiap tahun. Dalam acara yang baru lalu itu Presiden hanya meresmikan 100 HTI Trans dengan luas total 612 ribu hektare dan menyerap sekitar 30 ribu KK. Tahun depan peresmian dengan jumlah yang sama akan terulang lagi. "Kami menargetkan setiap tahun akan ada 100 pemilik HPH yang menyelenggarakan HTI Trans," kata Bob Hasan, Ketua Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI). Dengan begitu, di tahun keenam kelak, seluruh pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) sudah menyelenggarakan HTI Trans. Untuk proyek besar ini pemerintah memberi kemudahan, misalnya dalam hal dana. Presiden menginstruksikan agar dijalin kerja sama antara Departemen Keuangan dan Departemen Kehutanan sehingga pencairan dana tak lagi harus melalui izin Menteri Keuangan seperti selama ini. "Kewenangan itu bisa didelegasikan kepada Menteri Kehutanan yang kelak akan bertindak atas nama Menteri Keuangan," kata Pak Harto. Selain itu, pengusaha HTI juga tak perlu memperoleh izin BKPM, cukup dari Pemda setempat, sedangkan izin usaha dari Departemen Kehakiman diharapkan bisa cepat, tidak harus menunggu berbulan-bulan. Dengan segumpal kemudahan seperti itu tak mengherankan bila kini sudah 350 permohonan diajukan untuk memperoleh konsesi HTI. Tapi Presiden wanti-wanti mengingatkan agar hutan lindung atau hutan produksi jangan sampai dijadikan konsesi HTI. Alasannya jelas, program HTI diperuntukkan khusus lahan-lahan kritis yang tidak lagi produktif. Apalagi tidak semua HTI Trans dikelola swasta murni 40% sahamnya dimiliki PT Inhutani. Oleh karena itu, untuk sebuah proyek HTI, pihak swasta cukup menyediakan dana sebesar 21% dari modal yang dibutuhkan. Sisanya 14% akan disetor sebagai penyertaan modal pemerintah dan 32,5% lainnya berupa pinjaman tanpa bunga, yang diambil dari dana reboisasi. Modal gampang yang sudah di tangan total berjumlah 46,5% sedangkan 32,5% lainnya bisa ditutup oleh pengusaha dengan pinjaman komersial. Tak salah lagi, pendanaan HTI jatuh lebih murah bagi pihak swasta. Sumber TEMPO di Kehutanan mengungkapkan bahwa ada fasilitas lain yang juga akan dinikmati swasta. Katanya, biaya pembukaan hingga penanaman lahan HTI -- Rp 2 juta per hektare -- terhitung sangat besar. Biaya itu ternyata tak akan lebih dari 500 dolar atau Rp 1 juta per hektare. Nah, dengan dana Rp 1 juta (untuk tiap hektare) yang disodorkan cuma-cuma itu pengusaha tak perlu merogoh kocek untuk menyetor kewajiban modal mereka yang 21%. Ia cukup menyediakan alat-alat berat -- seperti buldoser, grader, traktor, dan beberapa buah truk -- untuk pembuka jalan. Nilai seluruhnya tak akan lebih dari Rp 2 milyar. Tapi sebagai "orang kayu", Bob Hasan tak sependapat. Menurut Bob, plafon biaya pembukaan lahan HTI yang Rp 2 juta itu terlalu rendah. Soalnya, tak semua kondisi lahan yang berupa tanah datar mudah digarap. "Saya kira, kalau Rp 3 juta per hektare barulah memadai," ujar raja kayu ini. Memadai atau tidak, Bob Hasan sendiri siap membuka 300 ribu hektare lahan di Kalimantan Timur. Di atas lahan itu kelak akan dibangun HTI yang bisa menyediakan bahan baku pulp dan akan menyerap puluhan ribu transmigran. Budi Kusumah, Max Wangkar, Moebanoe Moera, dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini