SEBUAH megaproyek yang dibangun ketika ekonomi Indonesia sedang payah akhirnya rampung juga. Itulah Bandar Udara Soekarno-Hatta tahap II dengan terminal D, E, F. Kamis pekan lalu terminal F mulai dioperasikan Perum Angkasa Pura II (PAP II), khusus untuk pesawat Garuda penerbangan dalam negeri. Dan Kamis pekan ini, terminal D, yang direncanakan untuk penerbangan internasional bukan Garuda, juga akan diuji coba. Menurut Administrator Bandar Udara Soekarno-Hatta, Soehardono, pemindahan dari bandar yang lama tidaklah sekaligus. Baru 5 Maret depan, semua terminal difungsikan 100%. "Terminal D untuk semua penerbangan internasional bukan Garuda. Terminal E untuk penerbangan internasional Garuda, dan terminal F untuk semua penerbangan Garuda di dalam negeri," katanya lebih jauh. Tampaknya, pihak otorita tak ingin peristiwa buruk 1 April 1985 terulang. Ketika itu terjadi banyak kekacauan. Semua penerbangan domestik maupun internasional dari dua lokasi di Jakarta (Kemayoran dan Halim) dipindahkan sekaligus. Bagaikan Bandung Bandawasa, mereka harus memindahkan aktivitas kedua bandar udara itu dalam waktu singkat -- tepatnya dari pukul 9 malam (setelah pesawat terakhir mendarat) hingga pukul 4 pagi (menjelang penerbangan domestik mulai beroperasi). Tak heran bila pemindahan kali ini dilakukan bertahap. Sejak 1990, Departemen Perhubungan telah membentuk tim persiapan pemindahan, dengan Soehardono sebagai ketua tim. "Sejak 6 Juni 1991 tim ini sudah melakukan pengenalan medan, simulasi mekanisme, mengecek piranti-piranti, uji coba landasan, dan evaluasi," tutur Soehardono. Hasilnya tidak mengecewakan. Pemindahan empat rute Garuda dari terminal B ke terminal F berjalan lancar. Namun, Muhammad Buang dari Komisi V DPRRI pekan lalu mempertanyakan dana sebesar Rp 4,2 milyar untuk proyek itu. Menurut Buang, Oktober lalu Komisi V mendapat informasi bahwa kontraktor berhasil menyelesaikan proyek ini tiga bulan lebih cepat. Ternyata prestasi ini merugikan. Sebab, segala peralatan yang sudah dipasang memerlukan biaya operasi. Karena peralatan itu belum diserahkan kepada PAP, biaya tersebut ditanggung pihak pimpinan proyek. "Dana Rp 4,2 milyar itu kan besar sekali kalau hanya untuk biaya listrik. Itu sama dengan anggaran untuk empat program listrik masuk desa," kata anggota Fraksi Partai Persatuan dari Riau ini. Pembangunan terminal tahap II itu sendiri tak luput dari kritik. Proyek yang menelan biaya US$ 500 milyar atau sekitar Rp 1 trilyun itu dimulai tahun 1987, ketika Pemerintah lagi payah. Untuk proyek yang mendapatkan pinjaman luar negeri, Pemerintah harus menyediakan rupiah pendamping (equity). Karena itu, perlu dicari pinjaman khusus yang terkenal dengan sebutan special assistance loan. Namun, Menteri Perhubungan (ketika itu Rusmin Nuryadin) ternyata mempunyai perkiraan ke depan yang begitu masuk akal, hingga akhirnya Pemerintah memutuskan untuk membangun terminal II. Lagi pula, Prancis bermurah hati untuk menyiapkan kredit pembangunannya. Harian Asian Wall Street Journal yang mengutip Rusmin Nuryadin menyebutkan bahwa kredit Prancis itu sebesar 2,05 milyar franc. Sedangkan dana pendamping sekitar Rp 315 milyar, termasuk tanah seluas 900 ha. Bahwa peningkatan sektor pariwisata memerlukan sarana angkutan udara, hal itu terbukti benar. Menurut statistik PAP II, jumlah penumpang yang lewat di sana tahun 1989 mencapai 7,3 juta, atau naik 50% dibandingkan tahun 1985. Kenaikan tertinggi tercatat pada penumpang internasional 60%, menjadi 2,1 juta. Kenaikan angkutan kargo lebih dahsyat lagi. Tahun 1985 tercatat 60.000 ton, tapi tahun 1989 menjadi 137.000 ton. Itu belum termasuk jumlah kopor para penumpang (bagasi) yang menggelembung dari 45.000 ton menjadi 76.000 ton. Dalam realisasinya, kontraktor Prancis juga memperhitungkan lonjakan-lonjakan itu. Mereka membuat perubahan desain di sanasini, hingga bandar yang baru bisa lebih nyaman dari yang lama. Perubahan itu terlihat di terminal DEF: setiap boarding lounge dilengkapi belalai gajah delapan pasang (semuanya ada 48). Selain itu, ada pita berjalan yang menghubungkan kedua terminal, sehingga memudahkan penumpang transit. Juga ada lift, tempat khusus perawatan bayi dan orang cacat, ruangan pengantar/penjemput dilengkapi sistem pendingin. Pokoknya, berbagai fasilitas yang membuat Bandar Udara Soekarno-Hatta tak kalah gengsi dengan bandar internasional lainnya. Namun, biaya operasinya melonjak. Akibatnya, laba Perum Angkasa Pura II akan menyusut. Seperti dikatakan direktur utamanya, Soewarta, PAP II sudah melaba sekitar Rp 50 milyar pada tahun 1991. Laba tahun 1992 diperkirakan tinggal Rp 1 milyar, tapi naik lagi Rp 14 milyar tahun depan. Dengan pemindahan bandar ke terminal D-E-F, jelas terminal A dan B akan menganggur. "Pemerintah yang nanti akan menentukan penggunaannya. Bisa saja untuk terminal khusus, misalnya angkutan haji atau terminal sidang KTT," kata Soehardono. Ini berarti, sinyalemen Asian Wall Street Journal (edisi 12 Agustus 1988), yang menyebutkan bahwa terminal Soekarno-Hatta kebesaran, agaknya tidak meleset. Namun, bahwa terminal itu hampir dua kali lipat lebih besar, juga berlebihan. Masalahnya kini, mengapa hal-hal mubazir seperti itu tak bisa dihindarkan. Bukankah di saat keputusan diambil, jelasjelas Pemerintah lagi dihadang kesulitan karena harga minyak jatuh hingga Sumarlin terpaksa melakukan devaluasi 45% yang tersohor itu? Katakanlah sulit menampik kredit dari Prancis, tapi sebagian kredit semestinya bisa dialihkan ke proyek lain. Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang sulit dicarikan jawabannya. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini