Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menjelang deadline car

Car beberapa bank pemerintah masih dibawah 5%, karena itu masih memerlukan suntikan dana agar tercapai car 5%. berdasarkan uu perbankan yang baru, kedudukan bank pemerintah sama dengan bank umum.

29 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANK-BANK pemerintah kini tengah menanti bulan gawat: Maret 1992. Menurut ketentuan Bank Sentral, bulan depan semua bank harus sudah memiliki CAR (capital adequacy ratio atau perbandingan antara aset berisiko dan modalnya) minimal 5%. Keharusan itu untuk memenuhi persyaratan Bank for International Settlements (BIS), yang mewajibkan semua bank di dunia pada akhir 1993 memiliki CAR 8%. Sesuai dengan UU Perbankan yang baru disahkan DPR RI Senin pekan silam, bank pemerintah kedudukannya sama dengan bank umum yang lain. Bagi mereka tak lagi ada keistimewaan seperti yang selama ini diterimanya dari otoritas moneter. Jadi, bila tak sanggup memenuhi CAR, mereka harus siap dicap sebagai bank tak sehat. Yang disebut keistimewaan misalnya berupa kemudahan untuk mengembangkan aset, tanpa perlu menghiraukan adakah modalnya solid atau tidak. Aset tiaptiap bank pemerintah saat ini sudah mencapai trilyun rupiah, tapi modal disetor ratarata sangat kecil, hanya Rp 200 juta sampai Rp 500 juta. Keberanian untuk mengembangkan aset semacam itu tentu tak lepas dari sejumlah fasilitas yang mereka terima. Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) adalah salah satu dari kemudahan itu -- biasanya tertuang dalam bentuk Bimas, KIK, ataupun KMKP. Yang juga menonjol adalah kemudahan memperoleh dana pihak ketiga berupa deposito BUMN. Perkembangannya kemudian telah menyebabkan leverage (dampak penggunaan utang terhadap modal sendiri) bank-bank pemerintah rata-rata 48 kali. Sementara leverage bank-bank devisa swasta rata-rata 15 kali. Bahkan General Manager Capital Information Service, Philippe F. Delhaise, pernah mengatakan kepada TEMPO bahwa leverage BBD dan BNI sampai 70 kali. "Mengerikan," katanya serius. Capital Information Service (CIS) adalah sebuah lembaga penilai perbankan international yang antara lain bekerja untuk kepentingan ratusan bank di Eropa, Amerika, dan Jepang. Tentang lembaga ini, Philippe Delhaise berkomentar, "Mereka ingin tahu apa risikonya jika berhubungan dengan bank di Indonesia." CAR bank-bank pemerintah sampai saat ini mayoritas masih di bawah 5%. BRI, misalnya, baru memiliki CAR 2,8%, dan BBD 2,3%. Kekecualian barangkali bisa diberikan kepada Bank Exim, yang sudah melampaui angka itu (sekitar 7%), lalu BTN dan Bapindo (tak jauh dari 5%). Untuk mengatasi ketertinggalan CAR, tak ada jalan lain kecuali menambah modal disetor. Direktur Utama BRI Kamardy Arief mengatakan, banknya memerlukan injeksi modal Rp 400 milyar untuk memenuhi CAR 5%. Tapi kalau jatuh temponya sudah begitu mendesak, dari mana BRI bisa mengumpulkan Rp 400 milyar? Untuk go public, misalnya, tentu tak sempat. Namun, seorang pejabat di Departemen Keuangan tidak melihat masalah CAR ini sebagai hal yang teramat gawat. "Itu bukan merupakan persoalan sulit dan bisa diselesaikan dalam waktu singkat," katanya. Ia pun menyebutkan jalan keluar, yakni dengan mengubah pinjaman Bank Dunia yang tersimpan di bank-bank pemerintah (berbentuk two step loan) menjadi pinjaman subordinasi (pinjaman pemegang saham). Dalam hal ini, Pemerintah (sebagai pemegang saham bank-bank BUMN) mengambil alih utang itu. Jelas, gampang sekali. Saat ini hampir semua bank pemerintah punya utang ke Bank Dunia. Utang BRI paling besar, tak kurang dari Rp 500 milyar. Kalau dana two step loan ini dimanfaatkan sebagai pinjaman subordinasi, kekurangan modal BRI yang Rp 400 milyar bisa langsung ditutup. Jika cara ini ditempuh, BRI harus membayar bunga kepada pihak pemegang saham (Pemerintah) sebanyak 17% setahun bunga setinggi ini memang wajar mengingat Pemerintah harus menanggung risiko perubahan kurs. Selama ini, bank pemerintah menjual dana dari Bank Dunia ke debiturnya dengan bunga 19%. Menteri Keuangan Sumarlin pernah menyinggung soal pinjaman Bank Dunia tersebut. Tampaknya ia tidak begitu setuju bila seluruh dana Bank Dunia disalurkan ke sebuah bank pemerintah. Lagipula, pemanfaatan pinjaman lunak berjangka lebih dari 10 tahun itu (menurut seorang bankir jumlah totalnya sekitar Rp 2 trilyun) baru sampai pada tahap pembicaraan. Dana itu mungkin akan dicampur dengan dana cadangan anggaran pembangunan, sebagai penyertaan modal pemerintah (dengan bunga 0%). Atau bisa ditambah dengan revaluasi aset. Pokoknya, injeksi tidak datang dari satu sumber. Tapi, sampai akhir pekan silam, hal itu masih belum final. Sumarlin mengatakan, departemennya sedang menghitung berapa jumlah aset terimbang menurut risiko (ATMR) di bank-bank pemerintah. "Kami belum mengetahui berapa persis modal yang diperlukan," katanya. Sementara itu, ada bankir yang mangaitkan keadaan ini dengan penundaan rencana pencairan SBI (Rp 6,2 trilyun) dari dana BUMN, yang jatuh tempo 21 Februari berselang. Andaikata dana hasil Gebrakan Sumarlin itu cair, sebagian besar tentu tersalur ke bank-bank pemerintah, hingga akan merepotkan perhitungan ATMR mereka. Menurut para bankir pemerintah, apa pun solusi yang dipilih, RUU Perbankan yang baru telah mengharuskan bank-bank pemerintah menjadi lebih tangguh dalam persaingan melawan bank-bank swasta. Menurut mereka, hal itu sudah dikondisikan sejak deregulasi perbankan 1983, disusul Pakto 1988. Bahkan kesempatan bank pemerintah untuk berkembang pasti lebih banyak, mengingat mereka kini boleh go public. Kamardy Arief terus terang menegaskan, "Kami siap bersaing sekarang. Dulu kan ibarat apel bersaing dengan duren, sekarang ini sudah duren lawan duren." Untuk menuju ke sana, selain tambahan modal tentu bank-bank pemerintah harus lebih efisien, dan kalau bisa mengurangi biaya overhead. Kelak dalam pelaksanaanya antara lain akan berupa perampingan jumlah karyawan. Dan kata Kamardy, di BRI perampingan tidak berarti harus PHK. "Mereka bisa disalurkan ke anak-anak perusahaan," ujarnya dalam gaya ringan. Mohamad Cholid, Bambang Aji, dan Iwan Qodar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus