HANYA dua minggu setelah Indonesia menaikkan harga minyaknya
dari $ 16,15 menjadi $18,25 perbarrel, OPEC memutuskan untuk
menaikkan harga dasar minyak dari $ 14,55 menjadi $ 18 per
barrel. Dalam keputusan sidangnya di Jenewa, ke-13 anggota
negara pengekspor minyak itu pekan lalu juga mengizinkan suatu
pungutan tambahan (surcharge) dengan $ 2 per barrel.
Maka harga rata-rata untuk segala jenis minyak sejak 1 Juli ini
diperkirakan menjadi sekitar $ 20 per barrel, atau tambahan
penerimaan sebanyak $ 6 juta sehari buat OPEC. Tapi dalam
harga-harga baru yang akan berlaku sampai September 1979 ini --
atau mungkin sampai akhir tahun ini kalau desakan Menteri Minyak
Arab Saudi Sheik Zaki Yamani diterima -- sidang juga membolehkan
para anggotanya memasang harga plafon setinggi $ 23,50 per
barrel.
Harga minyak di dunia telah kacau sejak pecahnya revolusi di
Iran. Akibat kekurangan sekitar 1 atau 2 juta barrel sehari,
harga minyak di pasaran tunai (spot market) telah melonjak jauh
di atas harga dasar yang diteapkan OPEC. Indonesia sendiri
antara April dan Juni ini telah menaikkan harga minyaknya sampai
tiga kali. Sekarang ini harga minyak jenis Minas, sudah sedikit
di atasharga dasar yang baru saja ditetapkan OPEC. Diperkirakan
sampai September nanti, Indonesia juga akan mengikuti beberapa
anggota seperti Aljazair, Lybia, Nigeria dan Equador yang
kabarnya akan memasang plafon $ 23,50 untuk sebarrel minyaknya
dalam waktu dekat ini.
Kuwait, Irak, Iran, Venezuela dan Gabon, yang kesemuanya
mewakili 50% dari ekspor OPEC, diperkirakan akan memasang harga
antara $ 20 dan sedikit di atas $22 untuk sebarrel minyaknya,
tergantung kwalitasnya. Tapi Arab Saudi bersama dua sobatnya
yang setia, Persatuan Emirat Arab dan Qatar, yang memprodusir
sepertiga dari hampir 30 juta barrel yang dihasilkan kelompok
OPEC seharinya, akan mematuhi harga dasar baru $ 18 per barrel
itu. Dengan patokan yang terendah itupun, sudah berarti
kenaikan $ 5,30 per barrel bila dibandingkan dengan harga yang
berlaku akhir tahun lalu.
Tiga Harga
Bagaimana pun, adanya semacam tiga harea sekarang, merupakan
suatu jalan keluar yang oleh banyak pengamat dianggap jauh
lebih teratur daripada kekacauan harga yang timbul setelah
revolusi di Iran. Seberapa jauh harga minyak itu masih akan
merayap ke atas, itupun tergantung dari cepat tidaknya
negara-negara maju memperoleh bahan pengganti energi minyak.
Atau seberapa jauh mereka berhasil menghemat pemakaian bahan
bakarnya, tanpa harus mengorbankan produksinya. Tapi dalam waktu
dekat ini, mungkin tahun depan, anggapan Menteri Minyak Lybia
Ezzidin Mabruk, bahwa harga minyak yang "layak" sekarang adalah
$ 27 per barrel, mungkin menjadi kenyataan.
Bagi negara-negara industri yang pasti paling terpukul dengan
keputusan di Jenewa itu, Sheik Yamani, yang selalu prihatin
dengan kenaikan harga, menawarkan jalan keluar begini: "Sebanyak
2 juta barrel minyak harus bisa dihemat negara-negara industri
sekarang juga." Suatu usul yang sesungguhnya merupakan keputusan
Badan Energi Internasional yang berpusat di Paris, agar bisa
tercapai pada akhir tahun ini.
Kurang Adil
Usul BEI yang kembali dilontarkan dalam KTT di Tokyo sesaat
setelah sidang OPEC itu, memang menjadi tekad kelompok
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Adalah MEE yang ingin membekukan
impor minyak pada tingkat 1978 untuk selama lima tahun. Tapi
rupanya AS dan Jepang masih ragu, apakah pembekuan itu bisa
tercapai tanpa harus membuat mundur pertumbuhan ekonomi, yang
dengan sendirinya akan menyulut tingkat pengangguran yang
sekarang sudah dianggap serius itu. Lagipula Jepang, yang
seperti halnya AS, juga belum pulih benar dari resesi, merasa
keberatan mengingat seluruh kebutuhan bahan bakarnya yang hampir
7 juta barrel sehari -- 13% berasal dari Indonesia -- tergantung
dari luar. Sedang Presiden Carter beranggapan, gagasan MEE itu
"kurang adil" mengingat produksi minyak mulai meningkat di
Eropa, tapi cenderung menurun di AS.
Akan halnya usul Yamani, itu memang lebih masuk akal daripada
melansir suatu pembekuan selama 5 tahun. Tapi, pemimpin Arab
Saudi itu memperingatkan, agar pengurangan yang 2 juta barrel
sehari itu, kalaupun diterima negara-negara industri kaya,
sekali-kali jangan mengurangi jatah negara berkembang yang tak
punya minyak. Kalau itu sampai terjadi, maka "OPEC akan memotong
suplai dari negara industri masing-masing untuk menyalurkannya
kepada negara berkembang yang dirugikan," katanya.
Ucapannya yang jumawa itu tampaknya bukan gertak sambal. Paling
tidak, itu bisa dipraktekkannya terhadap Amerika dan Jepang, dua
negara industri paling kaya yang amat tergantung dari minyak
Arab Saudi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini