Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari Jenewa, Dengan Jumawa

Sidang OPEC minyak per barel dan mengizinkan pungutan tambahan. MEE ingin membekukan impor minyak pada tingkat 1978 selama 5 tahun. (eb)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA dua minggu setelah Indonesia menaikkan harga minyaknya dari $ 16,15 menjadi $18,25 perbarrel, OPEC memutuskan untuk menaikkan harga dasar minyak dari $ 14,55 menjadi $ 18 per barrel. Dalam keputusan sidangnya di Jenewa, ke-13 anggota negara pengekspor minyak itu pekan lalu juga mengizinkan suatu pungutan tambahan (surcharge) dengan $ 2 per barrel. Maka harga rata-rata untuk segala jenis minyak sejak 1 Juli ini diperkirakan menjadi sekitar $ 20 per barrel, atau tambahan penerimaan sebanyak $ 6 juta sehari buat OPEC. Tapi dalam harga-harga baru yang akan berlaku sampai September 1979 ini -- atau mungkin sampai akhir tahun ini kalau desakan Menteri Minyak Arab Saudi Sheik Zaki Yamani diterima -- sidang juga membolehkan para anggotanya memasang harga plafon setinggi $ 23,50 per barrel. Harga minyak di dunia telah kacau sejak pecahnya revolusi di Iran. Akibat kekurangan sekitar 1 atau 2 juta barrel sehari, harga minyak di pasaran tunai (spot market) telah melonjak jauh di atas harga dasar yang diteapkan OPEC. Indonesia sendiri antara April dan Juni ini telah menaikkan harga minyaknya sampai tiga kali. Sekarang ini harga minyak jenis Minas, sudah sedikit di atasharga dasar yang baru saja ditetapkan OPEC. Diperkirakan sampai September nanti, Indonesia juga akan mengikuti beberapa anggota seperti Aljazair, Lybia, Nigeria dan Equador yang kabarnya akan memasang plafon $ 23,50 untuk sebarrel minyaknya dalam waktu dekat ini. Kuwait, Irak, Iran, Venezuela dan Gabon, yang kesemuanya mewakili 50% dari ekspor OPEC, diperkirakan akan memasang harga antara $ 20 dan sedikit di atas $22 untuk sebarrel minyaknya, tergantung kwalitasnya. Tapi Arab Saudi bersama dua sobatnya yang setia, Persatuan Emirat Arab dan Qatar, yang memprodusir sepertiga dari hampir 30 juta barrel yang dihasilkan kelompok OPEC seharinya, akan mematuhi harga dasar baru $ 18 per barrel itu. Dengan patokan yang terendah itupun, sudah berarti kenaikan $ 5,30 per barrel bila dibandingkan dengan harga yang berlaku akhir tahun lalu. Tiga Harga Bagaimana pun, adanya semacam tiga harea sekarang, merupakan suatu jalan keluar yang oleh banyak pengamat dianggap jauh lebih teratur daripada kekacauan harga yang timbul setelah revolusi di Iran. Seberapa jauh harga minyak itu masih akan merayap ke atas, itupun tergantung dari cepat tidaknya negara-negara maju memperoleh bahan pengganti energi minyak. Atau seberapa jauh mereka berhasil menghemat pemakaian bahan bakarnya, tanpa harus mengorbankan produksinya. Tapi dalam waktu dekat ini, mungkin tahun depan, anggapan Menteri Minyak Lybia Ezzidin Mabruk, bahwa harga minyak yang "layak" sekarang adalah $ 27 per barrel, mungkin menjadi kenyataan. Bagi negara-negara industri yang pasti paling terpukul dengan keputusan di Jenewa itu, Sheik Yamani, yang selalu prihatin dengan kenaikan harga, menawarkan jalan keluar begini: "Sebanyak 2 juta barrel minyak harus bisa dihemat negara-negara industri sekarang juga." Suatu usul yang sesungguhnya merupakan keputusan Badan Energi Internasional yang berpusat di Paris, agar bisa tercapai pada akhir tahun ini. Kurang Adil Usul BEI yang kembali dilontarkan dalam KTT di Tokyo sesaat setelah sidang OPEC itu, memang menjadi tekad kelompok Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Adalah MEE yang ingin membekukan impor minyak pada tingkat 1978 untuk selama lima tahun. Tapi rupanya AS dan Jepang masih ragu, apakah pembekuan itu bisa tercapai tanpa harus membuat mundur pertumbuhan ekonomi, yang dengan sendirinya akan menyulut tingkat pengangguran yang sekarang sudah dianggap serius itu. Lagipula Jepang, yang seperti halnya AS, juga belum pulih benar dari resesi, merasa keberatan mengingat seluruh kebutuhan bahan bakarnya yang hampir 7 juta barrel sehari -- 13% berasal dari Indonesia -- tergantung dari luar. Sedang Presiden Carter beranggapan, gagasan MEE itu "kurang adil" mengingat produksi minyak mulai meningkat di Eropa, tapi cenderung menurun di AS. Akan halnya usul Yamani, itu memang lebih masuk akal daripada melansir suatu pembekuan selama 5 tahun. Tapi, pemimpin Arab Saudi itu memperingatkan, agar pengurangan yang 2 juta barrel sehari itu, kalaupun diterima negara-negara industri kaya, sekali-kali jangan mengurangi jatah negara berkembang yang tak punya minyak. Kalau itu sampai terjadi, maka "OPEC akan memotong suplai dari negara industri masing-masing untuk menyalurkannya kepada negara berkembang yang dirugikan," katanya. Ucapannya yang jumawa itu tampaknya bukan gertak sambal. Paling tidak, itu bisa dipraktekkannya terhadap Amerika dan Jepang, dua negara industri paling kaya yang amat tergantung dari minyak Arab Saudi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus