KENGERIAN terhadap penyakit kelamin, terutama AIDS, telah meningkatkan permintaan kondom di seluruh dunia. Bahkan pabrik kondom Banjaran, Bandung, menurut Manajer R. Wahyu Sumintra, telah menerima pesanan dari Amerika Serikat, Australia, Filipina, Bangladesh, dan beberapa negara Eropa. "Pesanan untuk tahun ini saja mencapai 400.000 gros," tutur Wahyu kepada TEMPO, pekan lalu. Kondom Banjaran, menurut Wahyu, dinilai bermutu baik oleh pemakai. Pabrik yang dibangun dengan pinjaman dari pemerintah Jepang (OECF) sebesar 2,25 milyar yen itu memakai teknologi salah satu pabrik kondom terkemuka di Jepang. Maka, kondom Banjaran, yang dijual di Indonesia dengan harga Rp 75 per lembar itu, mutunya bisa bertanding dengan Kingtex dan Dua-Lima (25) buatan Korea Selatan, yang berharga sekitar Rp 200 per lembar. Adanya permintaan dari luar negeri akan kondom Banjaran jelas suatu peluang bagus bagi pabrik yang baru diresmikan dua bulan lalu itu. Sebab, BKKBN selaku distributor baru mampu menyerap sekitar 500.000 gros per tahun, sedangkan kemampuan pabrik memproduksi 1.100.000 gros (hampir 160 juta lembar). Ini berarti ada peluang cukup besar bagi Banjaran mencari devisa. Melonjaknya kebutuhan akan kondom sekaligus mengatrol permintaan lateks (karet bahan baku kondom). Pimpinan PT (Persero) Perkebunan I sampai dengan IX, pengelola perkebunan karet di Sumatera, Maret lalu, menerima informasi bahwa permintaan lateks di Eropa dan AS tahun ini bakal naik 20%-40%. Menurut Edward Sitorus, Ketua Badan Musyawarah Direksi PTP I-IX, penyebanya adalah negara-negara Eropa sedang ketakutan terhadap AIDS dan bahaya radiasi nuklir. Hubungannya permintaan lateks? Pria yang senang pelesiran kini membentengi dlrinya dengan kondom. Para wanita dan pelayan restoran yang ketakutan terhadap penularan virus AIDS melindungi tangan mereka dengan sarung tangan karet. Kabarnya, Soviet juga memesan lateks dalam jumlah besar guna menutup tanah di sekitar proyek nuklir Chernobyl, yang meledak tahun silam. Maka, harga lateks yang dihasilkan Malaysia, Indonesia, Muangthai, dan Pantai Gading terus meningkat. Tahun 1985 dan 1986, harganya berkisar pada US$ 0,71-0,78 per kg. Pada April lalu, menurut PTP III di Sumatera Utara, harganya mencapai Rp 1.500 per kg atau sekitar US$ 0,91 per kg. Ini sekaligus merupakan kesempatan bagi perusahaan perkebunan karet meningkatkan ekspor lateks. Tahun lalu, dari produksi sekitar 50.000 ton, tercatat 48.000 ton dilempar ke pasar internasional, dan menghasilkan US$ 37,4 juta. Malaysia, sebagai produsen karet alam terbesar dengan hasil 1,469 juta ton tahun silam, rupanya tidak terlalu berambisi meningkatkan produksi lateks. Menurut salah satu pengusaha karet terbesar di sana, Lee Seng Chai, produksi lateks Malaysia tahun ini tak akan banyak meningkat dibandingkan produksi tahun silam, yakni sekitar 250.000 ton. Masalahnya, kata Lee, tergantung para buruh penoreh getah karet. Keadaan di Malaysia itu juga merupakan peluang bagi perkebunan karet di Indonesia meningkatkan ekspor lateks. PTP V, produsen lateks terbesar, tahun ini, menurut Edward Sitorus, akan meningkatkan produksinya dari 20.000 ton menjadi 23.000 ton. Tidak berarti, kata Sitorus, semua produksi perkebunan karet akan dijadikan lateks, karena bahan baku kondom dan sarung tangan karet itu hanya sebagian kecil dari total produksi perkebunan karet. Ekspor karet hasil perkebunan pemerintah dan rakyat, sampai kini, paling banyak masih diekspor dalam bentuk bongkahan liat. Menurut catatan Bank Indonesia, ekspor karet total sepanjang tahun silam berjumlah 1,027 juta ton dan menghasilkan devisa US$ 706 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini