CERITANYA bermula ketika Januar Imam, kepala Kantor Lelang
Negara (KLN) Jakarta suatu hari omong-omong dengan seorang
kenalannya dari Kedubes Belanda. Sang kenalan, di tengah suatu
pesta koktil, bicara tentang satu hal yang rupanya belum pernah
didengar oleh kepala KLN itu: garage sale, yakni penjualan
barang bekas yang sejak lama dilakukan orang asing -- umumnya
dari Barat -- sebelum mereka meninggalkan Indonesia.
Januar pun melakukan pengecekan. Kesimpulannya: garage sale
ternyata memenuhi semua unsur untuk disebut lelang. Ada usaha
menarik peminat, ada unsur persaingan di antara peminat, dan
harga yang dipasang juga masih bisa ditawar.
Maka akhir Oktober lalu, lewat iklan ukuran seperempat halaman
di beberapa koran, Ditjen Pajak memperingatkan agar garage sale
tak lagi dilakukan. Dengan kata lain, penjualan macam itu harus
lewat kantor lelang.
Adakah pengumuman Ditjen Pajak itu akan dipatuhi oleh orang
asing, seteah sejak dulu dengan aman mereka melakukan garage
sale? Sarnpai pekan lalu ternyata masi ada 'lelang' barang
bekas itu. Sebuah rumah orang Amerika di Kebayoran Baru, yang
rupanya biasa digunakan sebagai tempat menjual barang bekas itu,
ramai dikunjungi orang. Mobil banyak diparkir di pelataran. Para
ibu bersama anaknya yang baru pulang sekolah, atau diantar sang
suami, tampaknya merasa betah di situ. Apa saja yang tak mereka
tawar dan beli. Mulai dari kulkas, mesin cuci otomatis,
proyektor film, barang pecah-belah, tape recorder, mainan
anak-anak sampai pun sepatu bekas.
Pungli
Pemandangan seperti itu juga terdapat di kediaman seorang Jerman
Barat di Jl. Jambu, Jakarta. Mereka umumnya masih santai menjual
barang-barang bekas yang digemari orang-orang Indonesia itu.
"Kami tak mengetahui ada pengumuman seperti itu," kata orang
asing yang di Kebayoran itu. Apa bayar pajak? "Memang ada
petugas pajak yang mencatat harga barang-barang kami dan kami
harus membayar 155 dari harga penjualan," jawabnya kesal. Tapi
setelah dicek, tesnyata-tak ada petugas pajak yang ditugaskan
memungut dari situ. Pungli, rupanya.
Menurut peraturan, pembeli barang lelang diwajibkan membayar bea
9% dan uang 'miskin' 0,1%. Penjualnya hanya dikenakan bea 3%
dari harga penjualan.
KLN sendiri sudah mengirim surat ke Sekjen Deplu, minta agar
pengumuman dari Ditjen Pajak itu disebar-luaskan. Tapi Januar
tak tahu apakah itu sudah sampai pada warga asing di Indonesia.
"Ini kan masih masa transisi," katanya. Tapi ada juga seorang
asing yang, menurut Januar, datang sendiri ke kantornya dan
mengaku telah membuat pelanggaran. Maka kepala KLN itu menilpun
pihak Kejaksaan. Kompromi akhirnya tercapai. Orang asing itu
diminta memperinci sendiri berapa besar penjualannya. Pajak pun
ia bayar. Cuma Rp 11 ribu. Lho, kok sedikit amat? "Habis,
penjualnya mengaku yang terjual hanya bajubaju bekas," kata
Januar.
Satu stel jas buatan Jerman yang masih baik, biasanya dihargai
antara Rp 8.000 sampai Rp 10 ribu. Tapi kalau minta dikurangi Rp
2.000 barang dilepas. Sepatu wanita bertumit tinggi mintanya Rp
500. Mesin tik Olivetti standar Rp 35.000. Dan sebuah buku saku
ternyata harganya sama dengan sepotong celana dalam wanita -
bekas tentu saja Rp 500. Seorang wanita Jerman di Jl. Jambu
bahkan memasang harga Rp 300 untuk sepasang sandal wanita yang
tampak kumal.
Tak semua orang rupanya tertarik untuk main beli pakaian bekas
itu. Seorang wanita Indonesia yang membantu meladeni suatu
garage sale di Jl. Prapanca Buntu, Kebayoran Baru berkomentar:
"Saya saja yang nggak punya risih untuk membeli baju bekas.
Apalagi celana dalam."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini