Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH dua tahun terakhir Guntur Pribadi dibikin pening oleh bau menyengat dari peternakan sapi miliknya. Bayangkan, ada 20 ribu ekor sapi menghuni ranch seluas 70 hektare di Lampung itu. Dan kotoran yang diproduksi gerombolan sapi itu, alamak…, baunya tak tertahankan. ”Banyak tamu yang berkunjung ke peternakan saya mengeluh,” kata Guntur, 40 tahun.
Tapi, sebentar lagi Guntur bisa tersenyum. Dia sudah menandatangani kerja sama dengan Ecosecurities, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan sertifikat emisi karbon, untuk mengolah limbah itu. Perusahaan yang berbasis di Inggris itu sanggup menanamkan investasi US$ 1 juta (Rp 9,1 miliar) untuk penerapan teknologi biogas yang akan mengolah gas karbon kotoran sapi menjadi karbon dioksida.
Bau menyengat bakal raib dari peternakan, dan gas hasil olahan bisa digunakan untuk menggerakkan listrik berdaya 1,2 megawatt per hari. Adapun Ecosecurities diperkirakan bakal menangguk uang sekitar Rp 3,3 miliar per tahun. Bagaimana bisa?
Menurut Agus P. Sari, Country Director Ecosecurities Indonesia, total kandungan gas karbon kotoran sapi itu mencapai 25 ribu ton per tahun. Setiap ton emisi karbon yang bisa diubah akan diganjar selembar sertifikat (certified emission reductions—CER) dari Badan PBB untuk Urusan Perubahan Iklim (UNFCCC).
Di pasar internasional, satu sertifikat itu laku dijual seharga 11,5 euro (Rp 133 ribu). ”Dari situlah Ecosecurities diperkirakan bakal mendulang Rp 3,3 miliar per tahun,” kata Agus Sari, yang juga mantan direktur eksekutif LSM Pelangi, kepada Tempo pekan lalu.
Adalah Protokol Kyoto (1997) yang memungkinkan terjadinya jual-beli sertifikat CER itu. Protokol Kyoto ialah perjanjian negara di seluruh dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satu isi kesepakatan protokol itu adalah, negara maju wajib mengurangi emisi gas mereka.
Karena padatnya aktivitas industri mereka, tak mudah bagi negara-negara yang dijuluki Annex 1 itu memenuhi kewajiban. Sebagai gantinya, mereka diizinkan membeli sertifikat emisi karbon dari negara berkembang—yang notabene tak memiliki kewajiban sejenis. ”Jadi, ini memang semacam memindahkan tanggung jawab,” kata Agus. Menurut dia, sudah ada sekitar 15 juta sertifikat yang dirilis UNFCCC. ”Hampir semuanya laku dijual ke negara-negara maju.”
Di Indonesia, jual-beli sertifikat emisi karbon itu dilegalkan dengan Undang-Undang No.17/2004 tentang Ratifikasi Protokol Kyoto. Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 206/2005 juga mengukuhkan hal itu. Maka, sejak tahun lalu pemerintah Indonesia meneken kesepakatan jual-beli sertifikat CER dengan pemerintah Belanda—yang bersedia membeli sertifikat Indonesia seharga US$ 10 juta.
Tetapi ”lahan emisi karbon” ternyata masih melimpah. Menurut Agus, Indonesia menghasilkan 125 juta ton karbon per tahun, yang berasal dari sektor biogas, biomassa, dan biofuel. ”Jika diuangkan, nilainya mencapai 1,4 miliar euro atau Rp 16,2 triliun.”
Tak aneh jika gemerincing rupiah itu menarik swasta semacam Ecosecurities untuk ikut main. Selain dengan peternakan sapi, mereka juga menekan kerja sama dengan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), dua pekan lalu.
Dalam kesepakatan itu memang belum dinyatakan nilai investasi yang ditanamkan Ecosecurities. Yang jelas, saban hari PT RNI mengolah 400 ribu liter limbah pabrik tebu di Palimanan, Cirebon. Limbah itu, kata Noegroho Soetardjo, Wakil Direktur Riset dan Sistem Informasi, diubah menjadi energi listrik dengan sistem co-generation.
Menurut Marc Stuart, Direktur Pengembangan Bisnis Ecosecurities, mereka sudah menangani 213 proyek emisi karbon di 26 negara, termasuk Indonesia. Di negeri ini mereka membiayai proyeknya dengan pola build, own, operate, and transfer (BOOT) untuk jangka waktu 10 tahun. Setelah masa itu, hasil penjualan akan menjadi milik Guntur.
Pengamat bisnis Rhenald Kasali menilai bisnis ini memiliki potensi besar. Tetapi tak berarti semuanya mulus. Gunardi, Ketua Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) Kementerian Lingkungan Hidup, mewanti-wanti agar jangan hanya sisi bisnisnya yang jadi rujukan. ”Tetapi teknologi yang digunakan juga harus jelas,” katanya.
Danto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo