Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sebulan belakangan ini, ada kesibukan baru di lingkungan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. Begitu tiba di kantor, para karyawan ”asyik” bergunjing.
Gunjingan berputar di sekitar rencana pencopotan Arwin Rasyid sebagai orang nomor satu di Telkom. Adalah sepucuk surat resmi yang meminta penggantian Arwin telah dilayangkan seluruh anggota komisaris kepada Menteri BUMN Sugiharto, 31 Agustus lalu. Surat tiga lembar itu ditandatangani komisaris utama, Tanri Abeng, beserta empat komisaris: Gatot Trihargo, Anggito Abimanyu, Arif Arryman, dan P. Sartono.
Di situ disebutkan, meski Arwin memiliki kecakapan profesional, pola pendekatan kepemimpinannya tak bisa diterima jajaran direksi dan lingkungan organisasi Telkom. ”Sehingga komisaris menilai direktur utama tidak cocok memimpin Telkom,” demikian surat itu.
Surat juga memuat penilaian komisaris atas kegagalan Arwin selama menjabat direktur utama, sejak Juni tahun lalu. Meski kinerja keuangan perusahaan hingga Juli 2006 menunjukkan realisasi lebih tinggi dari yang ditargetkan (laba operasi 117 persen, dan laba bersih 140 persen), secara fundamental operasional perusahaan dinilai mengkhawatirkan.
Salah satu tolok ukurnya adalah rendahnya penyerapan capital expenditure, alias belanja modal, yang tahun lalu cuma 53,75 persen—bahkan hingga Juli tahun ini baru 15 persen. Sebabnya, antara lain, tertundanya proyek pembangunan menara base transceiver station (BTS) Telkom Flexi.
Kepada Menteri Sugiharto, komisaris juga mengadukan buruknya hubungan mereka dan para direksi dengan Arwin. Bekas Wakil Direktur Utama Bank BNI itu dinilai tak mengindahkan permintaan komisaris untuk perbaikan perusahaan, termasuk membagi tugas dan wewenang tiap-tiap anggota direksi.
Arwin juga dinilai menyalahi prosedur karena telah mengangkat kepala internal auditor dan kepala divisi regional yang baru tanpa berkonsultasi dengan komisaris. ”Dosa” lainnya adalah, Arwin dianggap tak bisa mempercayai para anggota direksi bawahannya dan sering mengambil keputusan sendiri. ”Gaya one-man show inilah yang menjadi pangkal semua persoalan ini,” kata seorang petinggi Telkom.
Baik Tanri, Anggito, maupun Arif Arryman tak membantah keberadaan surat itu. Namun, mereka kompak tak mau bicara. Alasannya sama: ini dokumen internal. ”Tidak etis diungkap, karena prosesnya masih berjalan,” kata Arif. Tanri menimpali, ”Ini persoalan manajemen yang terkait politik.”
Menanggapi surat Dewan Komisaris, Sugiharto tak serta-merta menyetujuinya. Ia meminta konflik di antara para petinggi Telkom diselesaikan. ”Sebaiknya mencoba islah, apalagi sekarang bulan Ramadan,” katanya, Jumat lalu. Karena itu, pemerintah pun belum akan mengadakan rapat umum pemegang saham luar biasa. ”Ini perusahaan publik, jangan hanya karena ada keluhan dari satu pihak, lantas melaksanakan aksi korporasi.”
Buat kalangan investor, kisruh ini boleh dibilang masih berselimut teka-teki. Karena itu, seorang analis saham mempertanyakan belum adanya langkah otoritas pasar modal untuk meminta Telkom segera menjernihkan persoalan ini. ”Bagaimanapun, Telkom merupakan perusahaan publik,” katanya.
Semua pemegang saham berhak mendapat perlakuan sama untuk memperoleh informasi yang akurat. Tapi Direktur Utama Bursa Efek Jakarta, Erry Firmansyah, mengaku belum tahu persis duduk persoalan. ”Akan saya cek dulu,” ujarnya, Kamis lalu.
Arwin sendiri memilih tak mau berpolemik. Namun, ditegaskannya bahwa keputusannya membatalkan tender menara BTS, yang ujung-ujungnya membuat realisasi belanja modal Telkom tak mencapai target, semata-mata untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Untuk soal ini, sumber Tempo membisikkan, kisruh tender menara BTS yang dibatalkan Arwin, 15 Agustus lalu, memang menjadi pemantik nyala api keributan di antara para petinggi Telkom.
Kisruh ini pun tak lepas dari pertarungan sengit tiga perusahaan telekomunikasi peserta tender, yaitu Samsung (Korea) serta dua raksasa telekomunikasi Cina, ZTE (milik pemerintah) dan Huawei Technologies (swasta), yang menyeret para petinggi Telkom saling bersilang pendapat.
Ceritanya begini. Pada Februari 2006, direksi sepakat menggelar tender BTS tahap dua untuk Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Kalimantan. Namun, tiga bulan kemudian muncul rekomendasi dari Wakil Dirut Telkom, Garuda Sugardo, agar dilakukan negosiasi langsung dengan Samsung untuk divisi regional II (Jakarta, Bekasi, Bogor, Tangerang) dan divre III (Bandung dan Cirebon).
Khawatir menyalahi asas transparansi, Arwin meminta konsultan A.T. Kearney mengkaji usulan itu. Hasilnya, Arwin tak keberatan asalkan ada penegasan usulan itu rekomendasi dari Garuda. Tapi, Garuda surut langkah dan mencabut kembali rekomendasinya. Keruan saja Arwin jengkel. Ia meminta kasus serupa tak terulang. ”Sebab, ini membuang waktu, tenaga, dan biaya,” katanya mengutip Arwin.
Tender kembali dilanjutkan. Namun, menjelang e-auction yang dijadwalkan 15 Agustus, kembali muncul usulan dari beberapa direksi agar proyek pembangunan menara BTS dibagi per vendor, atawa per kontraktor proyek.
Muncul pula pandangan dari seorang direktur yang mengkhawatirkan, bila harga proyek terlalu rendah, vendor tidak akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Silang pendapat sekali lagi meruyak. Arwin berkukuh bahwa harga terendah, bagaimanapun, merupakan yang terbaik buat Telkom, sepanjang para vendor lolos tender.
Selang seminggu menjelang tender, eh, muncul surat kaleng berlogo ZTE yang ditulis oleh orang yang mengaku pegawai perusahaan itu. Surat dikirimkan ke Menteri BUMN, komisaris, direksi, dan para vendor peserta tender. Isinya gawat: ZTE telah mengirim informasi yang tidak benar, sehingga layak didiskualifikasi dari proses tender.
Dewan komisaris langsung melayangkan surat kepada direksi pada 10 Agustus. Untuk mengklarifikasi itu, panitia tender dan A.T. Kearney pun langsung bergerak. Hasil investigasi menyimpulkan, ZTE tak layak didiskualifikasi. ZTE pun menegaskan kop surat itu palsu.
Dari sinilah muncul suasana saling curiga. Arwin disebut-sebut dekat dengan ZTE, Tanri dicurigai kepanjangan tangan Huawei, sedangkan Garuda mewakili kepentingan Samsung. Namun, Garuda membantah keras sinyalemen ini. ”Demi Allah, saya tidak ikut dalam proses tender,” ujarnya kepada Tempo, Kamis lalu.
Persoalan kian ruwet karena Samsung memilih mengundurkan diri. Huawei juga meminta tender ditunda. Dengan begitu, tinggal ZTE satu-satunya peserta tender. Arwin pun akhirnya memutuskan tender diulang.
Akibat pembatalan ini, dugaan adanya penyimpangan dalam proses tender langsung meruap. Untuk menyelidikinya, Kementerian BUMN telah membentuk tim khusus, akhir Agustus lalu.
Jika dirunut ke belakang, cikal-bakal akan adanya ketakcocokan Arwin dengan jajaran komisaris dan direksi lainnya sesungguhnya sudah mulai tumbuh saat ia diangkat sebagai dirut, menggantikan Kristiono, Juni tahun lalu. Pengalamannya malang-melintang di dunia perbankan dianggap tak cocok untuk memimpin Telkom.
Tanri Abeng, selaku komisaris utama, pun terang-terangan menyatakan syarat direksi baru Telkom harus berpengalaman 20 tahun di industri telekomunikasi. Karena itu, Garuda Sugardo, yang telah berkarier 30 tahun di Telkom, saat itu lebih dijagokan.
Namun, langkah Arwin tak terbendung. Ia disebut-sebut disokong penuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jalan tengahnya, Garuda menempati pos yang baru dibentuk: wakil dirut. Karena itu, ketika Arwin kini menjadi sasaran tembak, tudingan langsung mengarah pada Garuda. Ia dianggap berambisi menggantikan Arwin dan mendapat sokongan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kolega Tanri.
Garuda membantah. Ia mengaku tak lagi punya ambisi. Soal JK? ”Selama hidup ini baru dua kali saya ketemu Pak Jusuf Kalla.” Lagi pula, katanya, ”Saat pemilu, saya lebih banyak aktif membantu pengembangan teknologi informasi Partai Demokrat.”
Metta Dharmasaputra, Danto, Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo