SEBUAH pesta yang dihadiri sekitar 700 tamu terpandang berlangsung semarak di Merchantile Club, yang terletak di lantai 18 gedung Bank Central Asia (BCA), Jakarta, Kamis siang pekan silam. Ada Itang Yunaz, perancang mode kelas wahid. Ada Dhany Dahlan, peragawati beken. Ada sejumlah tamu penting lainnya, seperti Nyonya Tuti Setiawati, istri KSAD Try Sutrisno Nyonya Haryati Subadio, Direktur Jenderal Kebudayaan dan Nyonya Ratmini, istri Rektor Universitas PBB Soedjatmoko. Ada apa orang-orang beken itu, yang hampir semuanya mengenakan pakaian keluaran butik, tumplek di sana? Mereka adalah tamu majalah wanita Femina, yang merayakan hari jadi ke-15 pada siang itu. Majalah Femina, yang lahir dari pertemuan sejumlah orang di garasi Pengusaha Sofyan Alisyahbana, pada pertengahan September 1972, adalah citra baru dalam dunia bacaan kaum wanita. Karena di awal 1970-an itu majalah wanita yang ada masih berkisah tentang kaum ibu di seputar rumah. Maka, sampul depan edisi perdana Femina memunculkan wajah seorang wanita cantik (diperankan oleh Aktris Tuti Indra Malaon) dengan seribu tangan: ada tangan yang menadah, dan ada tangan yang menggenggam mesin ketik, penggorengan, sampai papan cuci pakaian. Maknanya, wanita Indonesia masa kini dapat berperan ganda," ujar Pemimpin Redaksi Femina Widarti Goenawan. Isi majalah Femina memang berkisah tentang wanita di lingkup keluarga dan di luar tembok rumah tangga. Bahan tulisan dipetik dari berbagai majalah wanita luar negeri, antara lain Margriet atau Libelle dari Belanda, dan kemudian diolah agar sesuai dengan lingkungan pembaca yang dituju Femina, yakni kaum wanita dari kelas menengah atas. Ternyata, pilihan Redaksi pada nomor perdana itu tak seluruhnya cocok dengan selera pembaca. Kritik-kritik tajam mengalir ke meja Redaksi. Mereka menghendaki cerita-cerita lokal dan wajah yang lebih semarak. Lalu lahir rubrik yang menyajikan bermacam pola. "Waktu itu kami sampai seminggu tak berani keluar rumah," ujar Mirta Kartohadiprodjo, direktris PT Gaya Favorit Press, penerbit Femina. Setahun tumbuh tanpa saingan, datang majalah Kartini, menguntit Femina. Majalah baru itu diasuh oleh Lukman Umar, agen Femina yang melihat kekurangan majalah yang diageninya: isi Femina tak terjangkau oleh kaum ibu kelas bawah. Kartini dimaksudkan Lukman sebagai jawabannya. Ternyata, ia tak salah pilih, bahkan cukup berhasil ikut menggaet pembeli. Tak lama kemudian muncul Sarinah, lalu Pertiwi, yang dimaksudkan untuk para ibu-ibu. Tapi Femina tetap dicari orang. Rahasianya? Resep masakan Femina sejak terbit hingga sekarang belum tersaingi oleh resep masakan dari majalah-majalah sejenis. Strategi lain dari Femina, kata Widarti, adalah menampilkan rubrik-rubrik yang sesuai dengan keadaan, seperti rubrik Lingkup Sosial Anda dan Keuangan Anda. Tahun 1981, Femina mencoba berkelit dari persaingan dengan mengubah jadwal terbit: dari dua minggu menjadi seminggu sekali. Alasannya, "Kami ingin lebih aktual," ujar Widarti. Kini Femina, yang beroplah 100.000 eksemplar setiap minggu, tak lagi berkantor di garasi. Majalah ini sudah memiliki gedung mentereng berlantai tiga di daerah perkantoran Kuningan, Jakarta Selatan. Yang tak berubah dari Femina ddalah sasaran pembaca golongan menengah atas. Mengapa Femina tak mencoba menembus rumah tangga kelas yang lain? "Bagaimana kami bisa menyajikan berita untuk kalangan bawah tanpa berada di kalangan itu?" kata Widardi. Mereka yang bisa bekerja di Femina memang hanya mereka yang berasal dari golongan menengah atas. Prinsip yang dipakai Femina dalam menerima pegawai baru: "Latar belakang keluarga menentukan selera". Sebaliknya, majalah Kartini. "Sasaran kami adalah ibu rumah tangga semua golongan," ujar Pemimpin Umum, Lukman Umar. Karena itu, rubrik-rubrik yang ditampilkan majalah dwimingguan yang beroplah 180.000 eksemplar ini selalu diusahakan bersifat ringan, agar bisa ditangkap oleh ibu-ibu rumah tangga golongan bawah. Menurut Lukman, rubrik yang paling digemari pembaca Kartini adalah rubrik Oh Mama, Oh Papa, yang diasuh oleh Novelis Motinggo Busye. Rubrik Oh Mama, Oh Papa digariskan untuk menampung kisah-kisah sedih pembaca. Mengenai isi yang lain, Kartini, seperti juga Pertiwi dan Sarinah, tak jauh berbeda dari Femina. Mengapa? "Karena banyak idenya yang berasal dari saya," ujar Lukman. Lalu ia bercerita bagaimana Sofyan Alisyahbana sering mengajaknya berdiskusi tentang majalah wanita menjelang lahirnya Femina. Kecuali Femina, dua majalah wanita lain, Pertiwi dan Sarinah, memang terang-terangan "meniru" kisah yang paling digemari pembaca dari Kartini: rubrik Oh Mama, Oh Papa. Yang berbeda cuma rubriknya. Tapi itu bisa dimaklumi. Pertiwi diasuh oleh orang-orang bekas wartawan Kartini. Sedangkan Sarinah, selain ide, juga dananya, berasal dari Lukman. Strategi yang dipakai majalah wanita Famili, dwimingguan yang beroplah 90.000, untuk menggaet langganan lain lagi. Titie Said, bos Famili, memilih membentuk kelompok-kelompok pembaca untuk menarik mereka menjadi pelanggan tetap. Untuk menarik kelompok-kelompok pembaca itu, Titie menyelenggarakan kegiatan keterampilan, seperti menjahit, atau menata rambut. Dan sekali-sekali ia mengundang ratusan penggemarnya untuk makan bersama. Praginanto, Linda Djalil (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini