Sejumlah tokoh pemerintah dan swasta membentuk YIF. Salah satu misinya: menjembatani pengusaha dan pemerintah. KENDATI sejumlah penasihat dan pengurusnya adalah para mantan, yayasan yang diresmikan di Hotel Borobudur Jakarta, Kamis pekan lalu, bukanlah yayasan dana pensiun. Jika ditilik struktur kepengurusannya, Yayasan Indonesia Forum (YIF), demikian namanya, jauh dari dana pensiun. Struktur paling atas diisi oleh badan penasihat dengan empat senior yang mantan (dari 13 anggota) yakni Prof. Widjojo Nitisastro, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, Prof. Ali Wardhana, dan Drs. Rachmat Saleh. Setingkat di bawahnya adalah badan pem- bina, dengan ketua Prof. J.B. Sumarlin dan wakil ketua Tanri Abeng, M.B.A., sementara anggotanya merupakan campuran pakar dan pengusaha. Motor yayasan tentu ada pada badan pengurus yang diketuai Prof. M. Sadli dengan empat wakil ketua, di antaranya Harun Al- rasyid (Dirut Caltex) dan bos Pembangunan Jaya, Ciputra. Sementara itu, jabatan sekretaris dipercayakan pada Robby Djohan, Dirut Bank Niaga. Semua nama itu sudah menunjuk pada kepiawaian, baik dalam ilmu ekonomi, birokrasi, maupun dunia usaha. Tak kurang penting ialah, wadah yang luar biasa ini diperkuat oleh enam menteri yang masih aktif, yakni Radius Prawiro, J.B. Sumarlin, Saleh Afiff, Arifin Siregar, Emil Salim, dan Soedradjad Djiwandono. Dalam pidatonya ketika peresmian YIF, Sumarlin antara lain menyatakan bahwa yayasan itu dimaksudkan, selain untuk memper- luas wawasan bagi para pelaku ekonomi, juga akan menjalin hubungan bisnis dengan peserta dari negara lain. Namun, dalam wawancara khusus dengan TEMPO pekan lalu, Sumar- lin menambahkan bahwa YIF pun bertujuan membantu Pemerintah. Hanya belum jelas, dalam hal apa dan sejauh mana bantuan itu diberikan. "Ya, memberi semacam masukan. Soal diterima atau tidak, itu tergantung Pemerintah," kata Sumarlin. Dalam mencapai tujuan itu, yayasan ini merancang beberapa kegiatan. Pada akta pendirian disebutkan, YIF bisa menyeleng- garakan forum diskusi, seminar, penerbitan buku, dan majalah. Untuk seminar, yayasan akan mengadakan pertemuan baik yang berskala nasional maupun internasional. Paling tidak setahun sekali. Materi yang menjadi pembahasan adalah isu-isu "besar" seperti bagaimana mengembangkan kerja sama antara pengusaha kecil dan konglomerat. Sejauh yang menyangkut dana, YIF tampaknya tidak perlu repot. Pada malam peresmian itu saja, dalam 30 menit YIF berhasil mengumpulkan modal Rp 3 milyar. Modal inilah yang menjadi bensin kegiatan YIF. "Supaya tidak habis, modal itu akan didepositokan. Nah, bunganya yang dipakai," kata Sumarlin. Sebenarnya, pendirian YIF diilhami oleh World Economic Forum yang secara periodik mengadakan pertemuan di Davos, Swiss. Dalam konperensi internasional itu, si peserta, selain mendapat pengetahuan baru, juga bisa menjalin bisnis dengan peserta dari negara lain. Beberapa negara berkembang sering juga mengadakan konperensi semacam ini untuk mempromosikan kepentingan bisnis- nya, seperti Turk's Forum atau Spain Forum. Sumarlin berpendapat, tidak ada salahnya bila Indonesia meniru forum-forum tadi. Apalagi, kalangan bisnis asing masih sulit membedakan antara Jakarta dan Bali. Maka, Juli tahun lalu, ISEI beserta 30 pengusaha mencoba mengadakan "Indonesia Forum". Seminar yang membahas masalah ekonomi, politik, dan dunia usaha itu dihadiri oleh bekas Menlu Jenderal Alexander Haig dari AS dan B.J. Lee dari Singapura. Dalam pertemuan anggota ISEI dengan beberapa pengusaha, kemudian tercetus ide, agar forum ini dilembagakan. Waktu itu, masing-masing menyumbang Rp 50 juta, sebagai modal awal. Maka, berdirilah YIF. Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini