Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Manajemen kuno, produksi merosot

Michael d. shelby dari business advisory limited mengatakan bahwa masalah likuiditas yang dihadapi bentoel bermula dari manajemen kuno. produksi ro- kok sampoerna dan djarum merosot.

27 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah Bentoel diincar Humpuss, Sampoerna konon diincar Bob Hasan. Djaroem bagaimana? Benarkah raksasa kretek sedang dihadapkan pada ujian berat? ULANG tahun ke-61 Bentoel, yang akan jatuh pada 29 Juli 1991 (Senin depan) tampaknya tidak akan dirayakan besar-besaran. Pesta meriah sudah terlaksana tahun lalu, dan kini yang tersisa adalah keharusan memperbaiki diri. Pilihan lain tidak ada. Seperti diberitakan TEMPO nomor terdahulu, raksasa kretek nomor tiga itu terancam kesulitan likuiditas. Akibatnya, Bentoel tak mampu membayar utangnya US$ 325 juta, yang US$ 220 juta di antaranya merupakan utang valuta asing. Manajemen Bentoel, lewat perusahaan konsultan Business Ad- visory Ltd., telah meminta restrukturisasi utang tersebut. Serentak dengan itu, bos Humpuss, Hutomo Mandala Putera, diberitakan telah menawarkan bantuan modal Rp 200 milyar. Uluran ini sudah diajukan pada pihak Bentoel sejak Maret lalu, ketika Tommy sebagai Ketua Badan Penyangga dan Pemasaran Ceng- keh (BPPC) berkunjung ke pabrik Bentoel. Tommy memang belum secara terus terang menawarkan niatnya membeli saham Bentoel. "Waktu itu Tommy baru mengutarakan niatnya untuk terjun ke pasar rokok kretek. Pihak Bentoel ber- sikap welcome, pada penawaran Tommy," tutur eksekutif dari Business Advisory, Michael D. Shelby, dalam wawancara dengan TEMPO di Jakarta Jumat pekan lalu. Menurut Shelby, ketika itu Tommy sebenarnya belum mengetahui kesulitan likuiditas yang dihadapi Bentoel. "Secara resmi kami menasihatkan agar Tommy menunggu dulu, sampai ada restrukturisasi. Setelah itu, silakan masuk, jika masih berminat. Tidak masuk di akal kalau Tommy mengajukan penawaran sebelum Bentoel berbenah," kata Shelby lagi. (PT) Business Advisory Limited adalah perusahaan konsultan yang didirikan di Jakarta tahun 1980 oleh seorang Indonesia dan seorang warga asing. Kini perusahaan itu dimiliki 9 orang (6 Amerika, 1 Indonesia, 1 Australia, dan 1 Singapura) dengan dua kantor pusat, di Jakarta dan Singapura. Sejauh ini tak kurang dari 30 perusahaan telah menjadi nasabahnya. Masalah likuiditas yang dihadapi Bentoel, menurut Shelby, berpangkal dari manajemen yang sudah ketinggalan zaman. Sistem yang dipakai masih gaya tahun 1960-1970-an. "Gaya manajemen Bentoel masih berpikir menghadapi hari ini, tanpa memperhatikan hari esok," tutur Shelby. Kelemahan Bentoel terletak pada absennya pola perencanaan finansial. Perusahaan berani mengambil pinjaman jangka pendek yang melebihi kemampuannya untuk membayar bunga. Akibatnya, utang terus membengkak karena bunga berbunga. Lagi pula, Bentoel meminjam dalam valuta asing, sedangkan pendapatannya dalam rupiah. "Biarpun penjualan rupiah naik katakanlah dalam dua tahun, kalah tinggi dibandingkan kenaikan kurs. Utang dalam rupiah cuma naik 10%, tapi utang dolar melonjak sampai 70%," kata Shelby. Puncak bencana terjadi ketika Pemerintah melakukan devaluasi di tahun 1986. Utang pokok, yang tadinya hanya Rp 100 milyar, kini menggelembung hingga Rp 725 milyar," ujar Shelby. Itu berarti, bunga yang harus dibayar kini mencapai Rp 10 milyar per bulan. Akhirnya, Bentoel terpaksa meminta penjad- walan kembali utang-utangnya. Namun, Shelby tidak meragukan kemampuan Bentoel untuk melunasi utangnya. Konsultan asing itu pun tak percaya bahwa kasus Bentoel telah memupus kepercayaan bank-bank asing ter- hadap perusahaan-perusahaan di Indonesia. "Sebenarnya, Busi- ness Advisory, atas nama Bentoel, yang meminta bank-bank meng- hentikan pinjaman, agar Bentoel dapat melancarkan restruk- turisasi," tutur Shelby. Salah satu bentuk restrukturisasi untuk Bentoel adalah melakukan penilaian kembali aset perusahaan. Shelby menjelaskan bahwa dampak devaluasi 1986 menyebabkan jumlah utang lebih bes- ar dari aset perusahaan. Padahal, jika dilihat produktivitas dan harga pasar, aset Bentoel sebenarnya masih lebih tinggi dibandingkan jumlah pinjaman. Tawaran Business Advisory Ltd. itu tampaknya masih akan diteliti oleh bank-bank pemberi kredit. BRI, yang menjadi kreditur terbesar, Senin pekan lalu mengirim tim ke markas Bentoel di Malang. Sehari penuh, direksi Bentoel terlibat dalam pembicaraan tertutup yang disusul peninjauan ke pabrik kretek. "Kalau hasil pemeriksaan selesai, TEMPO akan saya beri tahu," ujar Dirut Kamardy Arief, yang ditemui di Yogyakarta, pekan lalu. Sampai pekan ini Kamardy belum bicara. Pada hari itu, menurut buku tamu Bentoel, juga datang utusan dari Bank of Tokyo yang disebut-sebut sebagai kreditur luar negeri terbesar. Tapi eksekutif Bank of Tokyo yang dikontak di Jakarta juga masih bungkam. Dewasa ini, kegiatan sehari-hari di Bentoel berjalan seperti biasa. Para karyawan tampak giat. Seorang resepsionis merasa heran mengapa berita tentang Bentoel begitu ramai, sementara mereka sendiri tak merasa ada perubahan. Yang pasti, manajemen Bentoel berani unjuk dada, sampai kelihatan borok-borok utangnya. Keberanian seperti ini belum tentu bisa ditiru oleh banyak perusahaan lain, baik swasta apalagi BUMN. Seandainya Bentoel go public tahun lalu, belum tentu utang besar itu diungkapkan. Mungkin sekali para pemegang sahamlah yang tertimpa beban menyehatkan keuangan Bentoel. Dan bila dikaji ekspansi yang dilakukan para raksasa kretek, tidak mustahil kasus likuiditas yang menimpa Bentoel dapat juga menimpa perusahaan kretek yang lain. Tak mengherankan jika pekan lalu beredar isu tentang PT HM Sampoerna. Perusahaan yang sudah go public tahun lalu ini dikabarkan akan dipersunting oleh Bob Hasan. Tapi, raja kayu lapis itu menyangkal keras isu tersebut. "Apa? Saya mau masuk ke Sampoerna? Mana bisa. Itu kan pabrik rokok.... Yang benar, Sampoerna yang masuk PASI (Persatuan At- letik Seluruh Indonesia)," kata Bob, setengah bercanda. Hal ini diutarakannya seusai RUPS Bank Umum Nasional Senin pekan ini. Sebuah sumber dari kalangan cukai tembakau mengungkapkan bahwa produksi Sampoerna dan Djarum tahun lalu tampak merosot. Tapi ia menilai, Sampoerna sebenarnya lebih lincah. Juni lalu, Sampoerna berhasil mendapatkan pinjaman US$ 80 juta (sekitar Rp 160 milyar) dari sindikasi 11 bank yang dipimpin Chase Manhat- tan Bank cabang Jakarta. Pinjaman dolar itu akan dipakai untuk menggenjot ekspor. Tahun lalu juga, Sampoerna membeli pabrik rokok di Malaysia untuk mengembangkan ekspor. Perusahaan ini sudah pula meneken kontrak penjualan dengan mitra bisnisnya di Singapura untuk mengekspor rokok. Besarnya sekitar 1 milyar batang setiap bulan. Bentoel pun Maret lalu melakukan investasi baru di sek- tor putih: Challenger. Tapi, investasi Rp 5,8 milyar itu belum memperlihatkan prospek baik. Djarum Kudus juga dikabarkan berjuang keras mempertahankan pasar. Awal Mei lalu, Wakil Direktur PT Djarum Kudus Budi Santoso mengakui bahwa pasar melorot tahun lalu. Kendati setoran cukainya tahun lalu mencapai Rp 518,6 milyar, naik Rp 38 milyar dibandingkan tahun 1989, produksinya tahun 1990 (36,55 milyar batang) sebenarnya turun 7,5% dibandingkan produksi tahun 1989. Kebijaksanaan baru Pemerintah (kemasan baru, cukai lebih tinggi, serta naiknya harga cengkeh dari BPPC) akan memaksa Djarum, misalnya, banting harga. Itu juga perlu, untuk mempertahankan kelancaran cashflow di musim uang ketat sekarang ini. Selain itu, Djarum juga melepaskan aset-aset yang dinilai kurang produktif, seperti tanah dan bangunan. "Pokoknya, utang bank dapat dibayar," kata sumber dari Djarum yang tak mau dis- ebut namanya. Langkah tersebut rupanya cukup berhasil. Seorang pejabat dari Djarum Senin lalu mengungkapkan bahwa pasarnya sudah terangkat lagi. Para pekerja yang dahulu sempat dirumahkan kini masuk kembali. Bahkan, di bagian sigaret kretek mesin, dalam sepekan ini sudah diadakan lembur. Namun, ia tak yakin, apakah target bisa tercapai, minimal seperti tahun lalu. Tahun ini barangkali tahun cengkeh melambai, bukan tahun kretek mengepul. Barang- kali. Max Wangkar, Moebanoe Moera, Indrawan, Jalil Hakim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus