Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Badan Pusat Statistik mencatat deflasi pada September 2024 secara bulanan sudah menyentuh level 0,12 persen. Angka ini naik 0,9 persen dibanding pada bulan sebelumnya.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan deflasi bisa berdampak buruk bagi petani hingga pedagang pasar di Indonesia. Sebab, harga beli produk yang menurun bisa membuat keuntungan petani dan pedagang turun.
LIMA bulan berturut-turut Indonesia mengalami deflasi atau penurunan harga secara umum. Badan Pusat Statistik mencatat deflasi pada September 2024 secara bulanan sudah menyentuh level 0,12 persen atau naik 0,9 persen dibanding pada bulan sebelumnya.
"Deflasi September 2024 merupakan deflasi terdalam dibanding pada bulan yang sama dalam lima tahun terakhir," ujar pelaksana tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Selasa, 1 Oktober 2024.
Deflasi bertubi-tubi ini dimulai pada Mei 2024 yang menginjak angka 0,03 persen. Besaran deflasi meningkat pada Juni menjadi 0,08 persen dan Juli 0,18 persen. Deflasi sempat melandai kembali ke angka 0,03 persen pada Agustus. Tapi kini tingkat deflasi kembali terpuruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amalia menyebutkan tren deflasi dipengaruhi oleh penurunan harga pangan bergejolak atau volatile food. Harga pangan bergejolak mengalami deflasi 1,34 persen. Komponen ini memiliki andil terhadap inflasi umum sebesar 0,21 persen pada September 2024.
Komoditas utama penyumbang deflasi antara lain cabai merah sebesar 0,09 persen, cabai rawit 0,08 persen, serta telur ayam ras dan daging ayam ras masing-masing 0,02 persen. Juga tomat, daun bawang, kentang, dan wortel masing-masing 0,01 persen.
Sementara itu, komponen yang harganya diatur pemerintah, seperti harga bahan bakar minyak bersubsidi dan tarif listrik, pada September 2024 mengalami deflasi secara bulanan sebesar 0,04 persen. Komponen yang harganya diatur pemerintah memberikan andil terhadap deflasi secara bulanan sebesar 0,01 persen.
Deflasi beruntun ditanggapi berbeda di pemerintahan. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan deflasi bisa berdampak buruk bagi petani dan pedagang pasar di Indonesia. Sebab, penurunan harga beli produk bisa membuat keuntungan petani dan pedagang turun.
Zulhas—sapaan akrab Zulkifli—berpandangan bahwa penurunan harga komoditas di lapangan cenderung kurang terkontrol. Dia mencontohkan cabai yang dipatok Rp 40 ribu per kilogram, di lapangan harganya bisa hanya Rp 15 ribu sehingga menyebabkan petani langsung bangkrut.
“Ini memang ada beberapa (komoditas) yang terlalu murah. Terlalu murah ini kan kita belum ada jalan untuk membantunya,” kata Zulhas di Istana Kepresidenan Jakarta pada Jumat, 4 Oktober 2024. Bila deflasi terjadi terus-menerus, petani dan pedagang bisa bangkrut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yakin deflasi yang telah terjadi selama lima bulan beruntun ini bukan sinyal negatif bagi perekonomian. Sebab, dengan deflasi pangan, ia menilai harga bahan pokok di pasar dalam kondisi stabil atau bahkan menurun. "Kalau deflasi dikontribusikan oleh penurunan harga pangan, menurut saya, merupakan perkembangan yang positif," ucap Sri Mulyani di Jakarta Pusat, Jumat, 4 Oktober 2024.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, deflasi terus berlanjut karena didorong oleh penurunan sebagian besar harga pangan dan bensin nonsubsidi. Ia mengklaim harga beras yang bergerak stabil dan panen komoditas hortikultura mendorong kembali terjadinya deflasi pada bulan kelima berturut-turut. Meski demikian, pemerintah tetap mewaspadai potensi terjadinya kelebihan pasokan.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengklaim deflasi merupakan hasil kerja ekstra pemerintah melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP/TPID) mengendalikan harga pangan. Salah satu upaya pemerintah, kata dia, adalah mengimpor beras untuk menjaga stok di dalam negeri.
Di samping itu, Airlangga menilai inflasi inti menjadi komponen yang lebih penting dibanding inflasi secara keseluruhan. Adapun komponen inti pada September 2024 mengalami inflasi sebesar 0,16 persen. Komponen ini berandil terhadap inflasi secara bulanan sebesar 0,10 persen. Apabila inflasi inti tetap naik, Airlangga berpandangan kondisi ini seakan-akan menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Jadi kami tidak khawatir itu (deflasi) karena kami juga melihat indikator lain terhadap ekonomi,” tuturnya, seperti dikutip dari Antara, di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024.
Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono menekankan bahwa daya beli masyarakat dapat dilihat dari komponen inflasi inti karena menunjukkan bahwa konsumen masih mampu membeli barang-barang tersebut meskipun harga sedikit naik.
Pedagang sayur-mayur di Pasar Tebet, Jakarta, 1 Oktober 2024. TEMPO/Tony Hartawan
BPS mencatat inflasi inti pada September 2024 sebesar 0,16 persen. Nilainya justru turun dibanding pada bulan sebelumnya yang sebesar 0,20 persen. Inflasi inti digunakan untuk mengukur kenaikan harga barang atau jasa selain harga pangan yang masuk volatile food dan harga komoditas lain yang masuk komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices), seperti BBM. Karena itu, komponen ini menjadi salah satu indikator yang mencerminkan daya beli masyarakat, terutama untuk barang-barang sekunder atau tersier. Artinya, turunnya inflasi inti pada September 2024 bisa dianggap sebagai salah satu indikator menurunnya daya beli masyarakat.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, berpendapat inflasi inti yang rendah makin menunjukkan pelemahan daya beli. Sebab, kemampuan masyarakat membeli barang dan jasa makin berkurang karena daya beli yang tertekan.
Penurunan daya beli masyarakat saat ini, menurut Nailul, banyak dipengaruhi oleh faktor domestik, bukan seperti deflasi yang terjadi sebelumnya akibat krisis global, misalnya pada 2008-2009 atau pandemi Covid-19 yang terjadi tiba-tiba. Dia menilai pelemahan daya beli kini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang kurang tepat, meskipun harga komoditas masih relatif stabil.
Pada kuartal kedua 2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen atau lebih rendah dibanding pada kuartal kedua 2023 yang sebesar 5,22 persen. Angka itu juga lebih kecil dibanding pertumbuhan pada kuartal yang sama pada 2022 yang sebesar 5,52 persen.
Peneliti dari Next Policy, Dwi Raihan, berpendapat deflasi yang terjadi selama lima bulan beruntun ini merupakan sinyal tidak aman bagi ekonomi. "Ini menjadi sinyal lesunya aktivitas perekonomian," ucapnya. Musababnya, deflasi yang terjadi saat ini disebabkan oleh pelemahan daya beli. Artinya, masyarakat mengurangi atau tidak mengkonsumsi karena tidak ada uang.
Deflasi bisa terjadi karena dua hal: pasokan barang yang berlimpah atau permintaan barang yang turun. Dwi melihat deflasi lima bulan beruntun ini terjadi akibat permintaan yang melemah karena turunnya daya beli masyarakat.
Penurunan jumlah masyarakat kelas menengah yang menjadi penopang perekonomian menjadi indikasi kuat pelemahan daya beli. BPS mencatat jumlah masyarakat kelas menengah per Agustus 2024 sebanyak 47,85 juta atau turun 9,48 juta dibanding saat pandemi yang mencapai 57,33 orang.
Secara mikro, Dwi mengatakan deflasi juga sangat merugikan pengusaha, seperti harga jual yang murah. Harga produk yang murah membuat pendapatan perusahaan turun. Dengan pendapatan yang turun, perusahaan bisa mengurangi beban operasional dengan mengurangi jumlah karyawan. Apalagi Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, hingga 1 Oktober 2024, sebanyak 52.993 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja. Karena itu, pemerintah perlu memperhatikan tingkat deflasi yang terus menurun secara beruntun ini, baik melalui instrumen fiskal maupun moneter.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menegaskan bahwa deflasi dalam periode panjang ini tidak normal. Terutama bagi negara dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen seperti Indonesia. Sebab, negara dengan pertumbuhan positif biasanya mengalami inflasi atau kenaikan harga, meskipun inflasi yang diinginkan adalah inflasi rendah yang dikendalikan dengan baik.
"Nah, yang terjadi malah bukan hanya inflasi yang rendah, melainkan juga deflasi lima bulan berturut-turut, dan ini menyerupai kondisi krisis," kata Faisal.
Petani memperlihatkan gabah seusai panen di Duren Sawit, Jakarta, 27 September 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Ia menilai deflasi ini sebagai indikasi lemahnya permintaan dan konsumsi dalam perekonomian. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pendapatan masyarakat, terutama dibanding sebelum pandemi merebak, dengan banyaknya orang yang sebelumnya bekerja kini belum kembali ke kondisi normal.
Jika konsumsi masyarakat lemah, perekonomian akan kesulitan bergerak. Apalagi selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Pada kuartal II 2024, misalnya, kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 54,53 persen terhadap produk domestik bruto. Sektor-sektor seperti industri manufaktur dan jasa juga akan terpengaruh.
Karena itu, Faisal berharap pemerintah merespons kondisi ini dengan cepat. Langkah yang diharapkan tidak hanya melalui kebijakan moneter seperti pelonggaran suku bunga, tapi juga lewat kebijakan fiskal dan insentif di sektor riil untuk mendorong pemulihan ekonomi.
Deflasi selama lima bulan berturut-turut juga dinilai sebagai sinyal bahaya oleh kalangan pengusaha. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani khawatir kondisi ini berhubungan dengan daya beli. Ia menyebutkan daya beli merupakan aspek penting untuk dicermati karena konsumsi domestik selama ini menjadi kunci utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Analis kebijakan ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, mengatakan seharusnya pemerintah mengkaji fenomena deflasi dari dua sudut pandang ekonomi, yaitu dari sisi permintaan dan suplai. Dengan demikian, kesimpulan yang diambil lebih komprehensif.
Dari sisi penawaran atau suplai, terlihat adanya tekanan berdasarkan data Purchasing Managers' Index (PMI). Data ini menjadi gambaran kondisi bisnis di sektor produksi barang. Sejak April 2024, PMI terus turun, bahkan mengalami kontraksi sejak Juli 2024 hingga di bawah 50.
Dari sisi permintaan, Ajib mengimbuhkan, indikator-indikator ekonomi menunjukkan penurunan daya beli masyarakat. Ia merujuk pada penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) pada Agustus 2024 yang menunjukkan lebih dari 8,5 juta penduduk Indonesia turun kelas sejak 2018. Bahkan Direktorat Jenderal Pajak menyatakan penerimaan pajak kelas menengah terus turun hingga hanya sekitar 1 persen dari penerimaan pajak secara agregat.
"Daya beli masyarakat yang menjadi faktor konsumsi ini menjadi penopang signifikan pertumbuhan ekonomi sehingga pemerintah harus cepat memberikan insentif tepat sasaran agar daya beli kembali terjaga," tutur Ajib.
Di tengah perbedaan pendapat itu, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa penyebab deflasi masih perlu dikaji lebih mendalam. Apakah terjadi karena adanya perbaikan rantai pasok atau karena kemampuan daya beli masyarakat menurun. Ia mengatakan deflasi ataupun inflasi yang tak terkendali akan merugikan semua pihak.
Karena itu, Kepala Negara meminta jajarannya memeriksa lebih lanjut penyebab deflasi selama lima bulan berturut-turut ini. "Apa pun yang namanya deflasi ataupun inflasi, itu dua-duanya memang harus dikendalikan sehingga harga stabil," ujar Jokowi pada Ahad, 6 Oktober 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Daniel Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.