PETANI mengeluh, dan Presiden menanggapi. Kontan. Seperti ada gelombang yang sama antara orang-orang udik itu dan kepala negara mereka, siang itu, pekan lalu, di Desa Margalaksana, Tasikmalaya. Keluhan petani teh dari Gunung Galunggung adalah bahwa mereka tak mampu mengembalikan kredit karena tanamannya dilanda lahar. Langsung Presiden memutuskan, 70% utang mereka akan dibayar pemerintah, 25% ditanggung bank yang memberi kredit dan 5% akan dibantu oleh Bank Indonesia. Seperti saur burung suara petani dari Galungggung itu menyambut keputusan itu, "Terima kasih, Pak. Terima kasih...." Ucapan terima kasih serentak diucapkan pula oleh puluhan petani teh lain dari Kabupaten Tasikmalaya, Sukabumi, Garut, dan Cianjur yang berkumpul di pelataran pabrik teh PT Tehnusamba Indah di Margalaksana, Selasa pekan lalu, menyambut paket dari Presiden. Memang bukan hanya petani Galunggung yang menerima paket. Hari itu Kepala Negara membuka empat pabrik pengolahan Tehnusamba di keempat kabupaten. Dengan begitu, petani teh di Jawa Barat kini punya pembeli yang baik: mau membayar Rp 160 untuk setiap kilo pucuk teh. Para tengkulak boleh merasa pahit bila masih menekan harga Rp 60 seperti sebelum-sebelumnya. Tidak berarti petani teken kontrak dengan Tehnusamba. Kata Pak Harto, petani tetap bebas menjual, kalau memang ketemu pembeli yang berani menawar leblh tinggi dari harga Tehnusamba. Tapi, masih dengan tertawanya yang renyah, Presiden mengingatkan bahwa pabrik teh yang diresmikan itu merupakan jawaban atas permintaan para petani sendiri, tiga tahun lalu, ketika pabrik teh di Panglejar dan Pasir Yunghun diresmikan. Malah yang dibutuhkan, menurut Presiden, sebenarnya sekitar 20 pabrik. "Tapi saya putuskan empat dulu saja," katanya, karena petani sendiri belum siap. Produksi teh rakyat, yang baru sekitar 700 kilo teh per hektar setahun, belum separuhnya yang bisa dihasilkan perkebunan negara. Investasi Tehnusamba, yang besarnya lebih dari Rp 14 milyar, dananya 75% bersumber dari Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, dan Yayasan Dana Abdi Karya Bakti -- yang ketiganya diketuai Pak Harto sendiri. Selebihnya dipikul Grup Nusamba (Nusantara Ampera Bakti). Grup itu, menurut Presiden Direktur Tehnusamba, Sofyan memang ditugasi mengelola bisnis ketiga yayasan itu. Tehnusamba, yang bekerja di atas tanah hak guna usaha PTP XII dan PTP XIII, sebelumnya -- antara tahun 1984 dan 1985 sudah mempelajari kemungkinan membangun pabrik-pabrik di Jawa Barat. Tanah Priangan telah lama memang dikenal sebagai gudang teh. Tapi yang makmur bergelimang teh hanya para tengkulak dan pengijon. Itulah sebabnya Tehnusamba dihadirkan di situ. "Saya berharap," kata Presiden, "Agar kerja sama antara pabrik dan petani yang dilaksanakan di sini dapat menjadi contoh bagi pabrik lain dan kegiatan ekonomi lainnya." Kelak, bila perusahaan sudah menguntungkan, petani -- melalui koperasi -- boleh ikut memiliki saham sampai 40%. Begitu janji Kepala Negara. "Tentunya dengan cara membeli," katanya. Yang penting, sekarang ini, petani harus membuktikan: bisa memasok daun teh ke Tehnusamba lebih banyak. Karena keempat pabrik itu, yang masing-masing punya kapasitas mengolah 150.000 ton teh hitam per tahun membutuhkan sekitar 88 ton pucuk daun teh basah seharinya. Itu mesti dipenuhi dari kebun teh rakyat, karena Tehnusamba tak punya kebun sendiri -- berbeda dengan pola PIR. Tentu saja, produktivitas teh itu masih bisa ditingkatkan. Misalnya, mengatur kembali kerapatan tanamannya, pemeliharaannya. Dalam waktu dekat agaknya hal itu sulit dipenuhi. Februari lalu saja, contohnya, tidak sampai 43 ton yang masuk ke pabrik meskipun Tehnusamba baru mulai produksi komersial antara Mei dan Juni lalu. Mungkin musim hujan yang amat basah penyebabnya. Mungkin juga ada yang berani menawar lebih tinggi. Konon, ada pabrik swasta lain yang mau membeli dengan harga Rp 190 per kilo. Pucuk daun teh milik Oding, yang dipanen dari satu hektar kebunnya di Tasikmalaya, dihargai Rp 160 per kilo oleh seorang bandar alias tengkulak yang datang ke kampung. Patokan harga PTP, kabarnya, juga tidak rendah: Rp 175. Petani seperti Mang Oding lalu berpikir: apakah ia bisa mendapat harga yang sama tanpa mengeluarkan ongkos angkut ke pabrik yang jaraknya puluhan kilometer dari kebunnya? Kalau tidak, euy, Tehnusamba bisa ripuh atuh. Tapi pihak Tehnusamba agaknya tak perlu khawatir. Kelangsungan pemasokan teh tentu terjamin, selama mampu bersaing, dan aparat pemerintahan yang ada ikut menjaga suplai itu. Dan ini terbukti. Tidak sembarangan yang bisa membeli teh dari kebun yang dianggap dalam jangkauan pabrik. April lalu, hampir 67 ton pucuk masuk ke Tehnusamba, hampir 25 ton lebih banyak ketimbang dari dua bulan sebelumnya. Dari produksi teh hitam sekitar tiga ribu ton, bulan-bulan lalu, sekitar 1.700 ton dipasarkan di dalam negeri. Selebihnya dijual antara lain ke Mesir, Belanda, Amerika dan Pakistan dengan harga sekitar tiga dolar per kilo. Tehnusamba diharapkan ikut mengumpulkan dcvisa sctidaknya 7,3 juta dolar per tahun. Yang ada dalam benak petani barangkali bukan soal devisa. Tapi semacam jaminan: bila harga teh di pasar anjlok, Tehnusamba sebagai faktor penyangga harga teh rakyat seperti yang diminta Pak Harto -- tetap mampu menjaga stabilisasi kantung petani. Suhardjo Hs., Laporan Biro Jakatra & Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini