Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah tengah mengupayakan pemerataan kualitas bongkar muat barang di pelabuhan kecil, seiring bertambahnya trayek tol laut. Pasalnya, tak sedikit lokasi persinggahan kapal dalam program tersebut yang belum memiliki fasilitas memadai, sehingga berpotensi memperlambat lalu lintas barang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Kepelabuhanan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Muhammad Tohir, mengatakan lembaganya menyiapkan dana hingga Rp 40 miliar untuk melengkapi peralatan bongkar muat pelabuhan kecil. "Kan itu dermaga perintis yang sebelumnya tidak didatangi peti kemas, wajar belum punya alat," ujarnya kepada Tempo, Senin 14 Januari 2019.
Menurut Tohir, pengadaan alat pelabuhan, seperti pengangkut peti kemas alias forklift hingga truk barang, dilakukan bertahap sesuai prioritas anggaran. Meski tak merincikan, dia mengakui dana pengadaan alat bongkar muat pelabuhan pada 2018 menurun, dibandingkan tahun sebelumnya. Saat ini, pemerintah mendahulukan pelabuhan perintis yang masuk rute tol laut.
"Pengadaannya sudah gencar pada 3 tahun pertama tol laut," tuturnya. "Ada pemekaran trayek, sehingga kami periksa lagi (pelabuhan yang belum optimal)."
Pemerintah memperluas trayek tol laut menjadi 18 rute pada awal September tahun lalu, terdiri dari tujuh trayek jarak jauh dan 11 trayek penghubung (feeder). Jumlahnya pun sempat diwacanakan bertambah hingga 21 trayek pada tahun ini.
Kendati begitu, kementerian masih mencatat hasil negatif pada muatan balik tol laut. Pada sebagian besar trayek yang mengarah ke Indonesia Timur, muatan balik hanya mencapai 10 - 15 persen. Di sepanjang 2017 pun, realisasi muatan balik hanya 20.274 ton, jauh dari target 517 ribu ton. Hal itu mendorong Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mematok target keterisian muatan balik hingga 30 persen, pada tahun ini.
Meski dikebut, Tohir melanjutkan, pengadaan alat yang umumnya berupa forklift memerlukan durasi 40 hari, dari pembukaan hingga hingga pengumuman pemenang tender. Menurut dia, pengiriman fasilitas ke pelabuhan daerah pun bisa berbulan-bulan.
Kepala Subdirektorat Pelayanan Jasa Dan Usaha Pelabuhan Direktorat Jenderal Perhubungan, Aries Wibowo, membenarkan unitnya telah memetakan kebutuhan alat bongkar muat di trayek tol laut. Merujuk data kementerian, saat ini terdapat tiga pelabuhan pangkal dan 58 pelabuhan singgah yang dimnfaatkan untuk program tol laut.
"Fasilitas bongkar muat sudah tersedia di 16 dermaga singgah, dan kami proses lagi pengadaan di 30 lokasi lainnya," katanya kepada Tempo.
Untuk 30 persinggahan kapal tol laut, seperti Pelabuhan Sarmi di Papua atau Pelabuhan Biu di Nusa Tenggara Timur, kementerian menyediakan hingga 48 unit forklift.
Adapun Kepala Seksi Pelayaran Rakyat Sub Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut, Hasan Sadili, mengatakan masing-masing kapal tol laut sudah diwajibkan memiliki minimal lima kontainer pendingin, untuk memperpanjang masa tahan komoditas mentah, khususnya ikan.
"Kami mengevaluasi jadwal yang selama ini tidak akurat. Harus lebih teratur untuk menambah kepercayaan pengguna jasa," katanya.
Corporate Secretary PT Pelayaran Tempuran Emas Tbk atau Temas Line, Marthalia Vigita, mengatakan kapal milik perseroan sudah dilengkapi perlengkapan bongkar muat portable. Temas kini melayani dua trayek, yakni T-9 rute Nabire-Serui-Wasior dan T-11 rute Timika-Agats-Merauke.
"Infrastruktur pelabuhan singgah kurang memadai, sehingga bongkar muatnya lama. Lokasj penumpukan kontainer juga belum ada, seperti di Agats, Papua," ujarnya.
Direktur Usaha Angkutan Barang dan Tol Laut PT Pelni (persero), Harry Boediarto, mengatakan durasi bongkar muat berpengaruh ke biaya tambat kapal. "Jadi kami upayakan tak bersandar lama. Saat ini kami masih butuh 20 hari untuk mengitari 6 trayek tol laut Pelni, lama sekali untuk kembali ke pelabuhan pangkal," kata dia.