Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Di Balik Layar Geliat Bank Digital di Tanah Air

Pertumbuhan bank digital di Indonesia cukup pesat. Risiko kebocoran data hingga celah dalam sistem keamanan teknologi harus terus diantisipasi.

17 April 2022 | 19.00 WIB

Ilustrasi bank digital. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi bank digital. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Lima tahun lalu, bank digital masih sangat minim peminat. Namun hal itu tak mengendurkan Jenny Juwita untuk membuka rekening di Jenius, aplikasi bank digital milik PT Bank BTPN Tbk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Perempuan berusia 31 tahun ini bercerita awalnya tergiur dengan bunga yang lumayan tinggi saat itu. Bunga yang ditawarkan Jenius pada tahun 2017 sebesar 7 persen, tergolong tinggi ketimbang bank-bank pada umumnya. Tak hanya itu, tabungan Jenius bebas biaya administrasi dan potongan pajak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal lain yang menarik bagi Jenny, Jenius memiliki fitur bernama dream saver dan flexi saver dengan bunga simpanan yang sama besarnya dengan bunga deposito. Di dream saver, nasabah bisa menabung sesuai dengan keinginan.

Misalnya, nasabah ingin menabung untuk membeli ponsel baru dengan anggaran Rp 3 juta atau ingin liburan dengan bujet Rp 5 juta, maka nasabah tersebut bisa mengatur ingin menabung berapa banyak dalam sehari, seminggu atau per bulannya. 

“Akan ada autodebet otomatis di tabungan kita," ujar Jenny pada Tempo.

Setelah nominal saldo yang diinginkan tercapai, dan nasabah belum mau menggunakan dananya untuk kepentingan membeli ponsel, kata Jenny, tidak masalah. "Karena bunganya tinggi, bisa diambil kapan saja dan tidak akan kena penalti (tidak seperti deposito, yang bunganya bisa hangus),” tuturnya.

Hingga kini, ia sangat puas menabung di bank digital karena sifatnya anti-ribet. Semua transaksi dilakukan dengan sangat mudah, hanya dengan satu klik via ponsel pintar atau komputer (PC). Transaksi keuangan juga bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja.

“Tidak perlu antre, tidak membuang waktu karena harus menunggu petugas customer service melayani nasabah lain yang enggak kelar-kelar. Fiturnya juga lebih beragam dibanding bank kovensional dan lebih

Di Balik Layar Bank Digital  

Bank digital di Indonesia mengalami pertumbuhan yang masif. Apalagi di tengah pandemi Covid-19, semakin banyak nasabah memanfaatkan bank digital karena memungkinkan transaksi perbankan dilakukan tanpa harus keluar rumah.

Berbeda dengan mobile banking, bank digital menawarkan berbagai produk perbankan, seperti pembukaan rekening hingga pengajuan kredit atau pinjaman. Semuanya dilakukan secara online cukup melalui aplikasi.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Juni 2021 menunjukkan bahwa Indonesia sudah memiliki 14 bank digital, 10 sudah beroperasi, dan sisanya sedang mempersiapkan diri.

Adapun pertumbuhan jumlah bank digital ini diawali dengan aksi akuisisi bank-bank kecil. Di antaranya BCA yang mengakuisisi Bank Royal, lalu membuat bank BCA Digital yang melayani nasabah lewat aplikasi Blu.

Direktur Utama BCA Digital, Lanny Budiati, menjelaskan saat ini kepemilikan saham PT Bank Digital BCA adalah PT Bank Central Asia Tbk 99,99997 persen, dan PT BCA Finance 0,00003 persen. BCA Digital sudah memiliki rencana untuk IPO, namun masih wacana karena IPO memiliki banyak pertimbangan, antara lain fundamental bisnis, rekam jejak kinerja, tingkat permodalan, kebutuhan pendanaan, dinamika pasar modal dan sebagainya.

“Saat ini fokus kami bukan di IPO, tapi fokus ke mengembangkan bisnis Perusahaan. Sebab posisi permodalan dan likuiditas BCA Digital cukup pada saat ini,” kata Lanny.  

Dalam mengembangkan bisnis, BCA Digital akan selalu mendengarkan suara konsumen dalam membangun fitur-fitur Blu sesuai dengan kebutuhan finansial nasabah, sekaligus meningkatkan kualitas produk, serta layanan Blu. BCA Digital juga ingin mengembangkan dan memperluas skala ekosistem digital Blu dengan menggandeng dan berkolaborasi dengan bisnis partners.

Menurut Lanny, tren bank digital telah menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan, termasuk karena adanya perubahan gaya hidup generasi muda maupun masyarakat modern. Para digital savvy ini menginginkan adanya layanan perbankan yang praktis.

Tren ini diyakini memiliki potensi pasar yang besar sekaligus mendorong kemunculan sejumlah bank digital di Indonesia. Dengan banyaknya bank digital yang hadir di Indonesia, maka industrinya juga akan tumbuh dengan subur.

Persaingan pun menjadi lebih ketat antar bank digital tersebut untuk berlomba menyediakan produk dan layanan yang berkualitas sesuai kebutuhan. Per akhir Maret ini tercatat sekitar hampir 650.000 nasabah BCA Digital.

Berbeda dengan BCA Digital dari aspek kepemilikan saham, susunan pemegang saham Bank Jago saat ini adalah pemegang saham atau investor dalam negeri mencapai 61,5 persen dan 38,5 persen adalah investor asing.

Bicara soal investor asing, Direktur Kepatuhan/Sekretaris Perusahaan Bank Jago Tjit Siat Fun menjelaskan GIC masuk menjadi pemegang saham minoritas saat Bank Jago melaksanakan penawaran umum terbatas II (rights issue II) pada April 2021. GIC adalah perusahaan investasi asal Singapura.

“Latar belakang investor minoritas masuk menjadi pemegang saham, merupakan keputusan dari masing-masing investor. Maka kami tidak bisa berkomentar lebih lanjut terkait dengan keputusan investor,” kata Tjit kepada Tempo.

Lalu, sebesar apa campur tangan investor asing terhadap pengambilan keputusan?

Tjit menjelaskan, sesuai dengan peraturan regulator, seluruh investor, baik asing dan dalam negeri, memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan di Rapat Umum Pemegang Saham. Ia pun menegaskan pemegang saham pengendali dari Bank Jago merupakan investor lokal.

Menurut Tjit, dengan masuknya investor asing sebagai pemegang saham Bank Jago, ini merupakan bentuk kepercayaan terhadap prospek dan kinerja Bank Jago. Kehadiran investor, baik asing dan dalam negeri, juga bakal memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan industri perbankan nasional yang merupakan industri padat modal.

“Investor asing itu, tidak hanya berinvestasi di bank berbasis teknologi, namun juga ada di perbankan umumnya (konvensional) dan sektor-sektor ekonomi lainnya di Indonesia. Kami melihat kehadiran investor tentu memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan industri perbankan nasional dan juga perekonomian nasional secara umum,” kata Tjit.

Selain Bank Jago, bank digital lainnya, yakni Bank Neo Commerce juga mengundang masuknya investor asing dengan melakukan IPO pada 13 Januari 2015. Dikutip dari bankneocommerce.co.id, pada 2019, Akulaku Silvrr Indonesia telah resmi sebagai pemegang saham baru di Bank Neo Commerce melalui Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD). Salah satu pemilik Akulaku adalah investor asal Cina.

Deputi Direktur Basel dan Perbankan Internasional, Pelaksana Tugas Deputi Direktur Arsitektur Perbankan Indonesia Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, Tony, menanggapi soal keberadaan investor asing di bank-bank digital di Indonesia.

Menurut Tony, masuknya perusahaan-perusahaan investasi raksasa ke bank-bank digital Indonesia, seperti induknya Gojek dan Sophee - lalu para investor raksasa tersebut mendapatkan kue keuntungan yang lebih besar, itu terjadi karena memang bagian dari teori ekonomi dan hal yang biasa dalam bisnis.

Gambaran sederhananya, ketika Sergey Brin mendirikan Google pada 1998. Saat itu, Google masih kecil sehingga tidak ada yang mau membeli perusahaan itu, termasuk Yahoo. Sekarang, Yahoo malah tenggelam.

Seiring berjalannya waktu, Google pada akhirnya mendulang sukses karena melakuan investasi yang tidak murah, bahkan untuk bisa impas pun membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Mereka lalu berinvestasi ke Google Cloud, yang juga tidak murah.

“Mereka (investor) adalah korporasi, yang tentu memikirkan return of investment sehingga pada akhirnya semua akan dibebankan ke konsumen. Inilah bisnis, mereka bukan NGO, ada share holders yang harus dibayar. Itulah bisnis,” ujar Tony.

Keamanan Bank Digital

Keamanan adalah faktor yang tidak bisa dikesampingkan dalam bisnis perbankan. Sebagai nasabah bank digital, Jenny menceritakan pernah punya pengalaman tak enak.

Pada tahun lalu, ada sejumlah nasabah Bank Jenius yang mendapat telepon dari orang yang diyakini Jenny sebagai penipu. Oknum tersebut mengaku dari customer service Bank Jenius, yang menginformasikan ada pergantian kartu.

“Saya curiga, sudah ada kebocoran data. Sebab semua (nasabah) yang ditelponin itu, anehnya dari provider telepon yang sama,” kata Jenny.

Communications & Daya Head Bank BTPN Andrie Darusman menyatakan, seiring dengan perkembangan teknologi, menurut Andrie, tindak kejahatan digital juga ikut berkembang. Dengan begitu, pengguna dan penyedia layanan harus terus menjaga kerahasiaan informasi pada produk yang digunakan.

Hingga saat ini, Jenius memastikan tidak ada kebocoran data maupun kesalahan sistem. Kalaupun ada kebocoran data, kejadian muncul adalah murni upaya dari oknum yang tidak bertanggung jawab dan berusaha memanfaatkan teknologi serta kesempatan.  

"Kami di Bank BTPN memastikan data nasabah selalu aman dengan senantiasa menambahkan sistem keamanan perbankan digital mengikuti perkembangan teknologi dan zaman," kata Andrie pada Tempo

Sesuai dengan standar keamanan Bank Indonesia & OJK, Andrie menjelaskan, Jenius menerapkan keamanan berlapis menggunakan PIN, password, OTP, pindai kode biometrik untuk akses aplikasi dan transaksi. Supaya keamanan semakin maksimal, Jenius melakukan kolaborasi dengan beberapa partner salah satu di antaranya adalah Visa yang memiliki lapisan keamanan tersendiri dengan sistem 3-D Secure. 

Hal serupa disampaikan oleh Bank Jago. Tjit memastikan bahwa keamanan bertransaksi adalah salah satu fokus utama Bank Jago. Bank tersebut bahkan sudah menggelontorkan nilai investasi dalam yang cukup besar untuk mengembangkan sistem teknologi informasi terkini demi mewujudkan transaksi perbankan yang aman, mudah, inovatif dan kolaboratif.

Senada dengan Bank Jago, BCA Digital juga meyakini trust atau kepercayaan adalah kunci untuk dapat meyakinkan nasabah agar mereka merasa nyaman untuk menabung dan bertransaksi di bank digital.

Sebagai bagian dari Grup BCA, BCA Digital pun bersinergi dengan BCA untuk menerapkan standar kualitas produk perbankan yang secure dan reliable, dengan tujuan agar nasabah dapat melakukan aktifitas perbankan dengan lancar dan nyaman cukup lewat ponsel. Hal ini adalah hal yang dicari oleh para pengguna layanan perbankan digital.

Soal ini, OJK mengakui ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh perbankan digital. Di antaranya perlindungan data pribadi, di mana bank harus bisa memastikan adanya perlindungan data para nasabah mengingat perlindungan data pribadi masih berbentuk RUU, belum menjadi Undang-undang.

Tantangan lainnya adalah risiko strategis, dimana investasi bidang IT harus sesuai dengan strategi bisnis si bank. Berikutnya, ada risiko serangan siber yang terus meningkat seiring dengan proses digitalisasi.

Yang tidak kalah penting adalah kesiapan dari bank untuk mendukung transformasi digital, baik dari talent SDM-nya, digital culture-nya, dan desain organisasi perbankannya seperti apa. Ada juga risiko kebocoran data, penyalahgunaan artificial intelligence dan rangka pengaturan yang belum kondusif.  

Commonwealth Bank

Presiden Direktur Commonwealth Bank, Lauren Sulistiawati, menyatakan pihaknya sebetulnya memiliki sejumlah rencana pengembangan sebelum adanya pandemi Covid-19. Namun akhirnya rencana pengembangan di antaranya membuka kantor cabang di wilayah tertentu harus dievaluasi kembali.

Lalu apakah dengan kondisi saat ini akan jadi momentum Commonwealth Bank mengembangkan bank digital?

Meski belum punya bank digital, namun layanan yang dinamai CommBank Mobile sudah berkembang. Lauren mengakui digitalisasi perbankan akan sangat memudahkan bank menjangkau nasabah individu, maupun nasabah korporat. Sejumlah kemudahan pun ditawarkan hingga proses KPR pun bisa didigitalkan meski belum bisa 100 persen karena masih perlu tanda tangan basah di depan notaris.

Dengan adanya digitalisasi, Lauren berharap gerakan menabung di bank akan kembali ramai dilakukan. Lewat CommBank Mobile inilah, Lauren ingin membuat kegiatan menabung menjadi hal yang menyenangkan. 

Tapi ada juga hal lain yang juga disoroti oleh Lauren dalam perbankan digital adalah pembangunan sistem keamanan yang tidak bisa dilakukan dengan tambal sulam. Sebab, walaupun menggunakan sistem teknologi dengan canggih, jika masih ada celah di lapisan bawah, maka risikonya masih cukup besar.

Apalagi dengan berkembangnya digitalisasi, kejahatan siber dan fraud juga semakin canggih. Maka yang diperlukan adalah pertahanan di bagian dalam bank harus kuat terlebih dulu. Dengan begitu, para pencuri dari luar tidak masuk ke dalam sistem bank. Hal ini pula yang mendasari mayoritas atau hampir 70 persen investasi Bank Commonwealth ditanamkan di sektor teknologi.

Lauren menyebutkan pembuatan bank digital itu memakan waktu dan investasi biaya yang cukup besar. "Sebab membutuhkan evaluasi dan membangun teknologi canggih apakah sistem perbankan tersebut sudah cukup kuat untuk menawarkan bank digital yang aman bagi nasabah."

 

 

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.  

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus