Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUNTUT kenaikan harga bahan bakar minyak mulai menyenggol industri perbankan. Menjelang libur Lebaran pekan lalu, Bank Indonesia memperkirakan laju inflasi tahunan akan mencapai 14 persen—jauh di atas perhitungan awal yang sekitar 7 persen. ”Tahun ini inflasi tak mungkin di bawah satu digit,” kata Gubernur BI, Burhanudin Abdullah.
Sulit membantah bahwa kenaikan harga BBM mendongkrak harga barang dan jasa. Inflasi semacam ini biasa disebut cost push inflation. Di atas kertas, obat inflasi jenis ini hanyalah kebijakan uang ketat.
Resep itu sebetulnya sudah dimainkan BI sepanjang tahun ini. Suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka satu bulan, yang pada awal tahun masih 7,42 persen, awal bulan ini sudah mencapai 12,25 persen.
Akselerasi kenaikan suku bunga mulai terasa setelah US$ 1 melampaui Rp 10 ribu. Suara para pelaku bisnis maupun pemegang uang nyaris sama. Suku bunga rupiah tak seseksi dolar.
BI tak hanya mengetatkan moneter dengan satu jurus. Selain mengerek suku bunga setinggi langit, bank sentral juga memberlakukan aturan main baru tentang nilai minimal giro wajib yang harus dipenuhi setiap bank. Tujuannya menyedot uang tak terpakai yang ada di brankas setiap bank.
Dengan dua kebijakan kontraksi moneter itu, ajang persaingan para bankir pun terfokus di soal likuiditas. Jika diperhatikan, sejak September silam, bank-bank semakin gencar mempromosikan produk tabungan mereka.
Untuk masyarakat yang uangnya pas-pasan, biasanya jurus yang dipakai oleh bank adalah mengadakan undian. Iming-iming hadiahnya mulai dari telepon genggam hingga mobil, bahkan rumah.
Namun insentif untung-untungan semacam itu tentu tak mempan menggoda pemilik uang kelas kakap. Mereka biasanya lebih tergoda oleh uang. Untuk memuaskan selera para nasabah kelas kakap inilah muncul beragam produk deposito, seperti deposito yang modelnya mirip transaksi swap (lihat Tempo, 12 September 2005).
Ada juga bank yang merancang pembayaran suku bunganya menjadi lebih atraktif. Bank Mandiri, misalnya, menawarkan pembayaran satu persen dari suku bunga yang akan diterima nasabah di depan. Iming-iming bunga di muka ini hanya berlaku untuk nasabah yang menaruh uang di atas Rp 500 juta.
Siasat semacam itu muncul karena bank-bank tak mungkin mengandalkan suku bunga tinggi saja. Jangan lupa, sejak aturan penjaminan dana nasabah bank diberlakukan enam tahun lalu, pemerintah membatasi besaran suku bunga yang boleh dipatok bank.
Pemerintah akan menolak menalangi dana pihak ketiga jika suku bunganya di atas bunga penjaminan. Pekan lalu, suku bunga yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebesar 13 persen.
Untung bagi para bankir, pada saat BI mengetatkan likuiditas, uang menganggur di sistem perbankan bisa dibilang berlimpah, terutama datang dari industri reksadana. Tahun ini reksadana, yang sempat menjadi surga para pemilik uang dalam membiakkan harta, mengalami penurunan nilai aktiva bersih dalam jumlah besar.
Para pengelola reksadana pun harus gigit jari melihat dana kelolaan mereka amblas hingga lebih dari Rp 50 triliun. Sebagian uang itu kini berpindah ke brankas perbankan. Selama triwulan ketiga tahun ini, BI mencatat simpanan masyarakat di bank meningkat Rp 35,8 triliun, naik sekitar 19,4 persen dari triwulan sebelumnya.
Memang, harga yang harus dibayar oleh bank untuk menyerap dana sebesar itu tidaklah murah. Tambahan dana pihak ketiga itu kebanyakan berupa simpanan dolar. Sementara dana pihak ketiga yang berbentuk rupiah kebanyakan berupa deposito berjangka satu bulan.
Semakin meningkatnya porsi deposito dalam porfotolio dana pihak ketiga bank tentu akan memperbesar ongkos pendanaan bank. Ini tak akan menjadi masalah selama kualitas kredit yang ada di bank tak merosot.
Yang mengkhawatirkan, sepanjang tahun ini angka kredit seret perbankan terus meningkat. Laporan Kinerja Sektor Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III tahun 2005 yang diterbitkan oleh BI memperlihatkan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perbankan nasional terus merambat naik sejak triwulan pertama 2005.
Hasil kalkulasi BI rasio kredit bermasalah (NPL) kotor pada triwulan ketiga tahun ini sebesar 8,9 persen, atau naik 1 persen dibanding triwulan sebelumnya. Rasio NPL kotor didapat dari membandingkan seluruh kredit seret (kualitas 3 hingga 5) dengan total kredit yang telah disalurkan.
Jika kredit seret itu telah dikurangi dengan beban penyisihan, angka yang akan didapat adalah rasio NPL bersih. Untuk triwulan ketiga tahun ini, rasio NPL bersih naik menjadi 5 persen dari sebelumnya 3,7 persen. ”Itu merupakan peringatan dini bagi industri perbankan,” ujar Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Muliaman D. Hadad.
Kredit jeblok itu kebanyakan kredit investasi. Sektor manufaktur merupakan penyumbang debitor pengemplang terbanyak. ”Yang mengalami penurunan kualitas itu bukan penyaluran kredit baru, tetapi yang lama,” kata Muliaman. ”Salah satunya adalah kredit untuk pembelian aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional.” Tahun ini, bank sentral telah mengeluarkan aturan penilaian kualitas kredit yang lebih ketat.
Bank Mandiri bisa dijadikan sebagai contoh bank yang menderita karena merosotnya kualitas kredit yang digunakan untuk membeli aset BPPN. Pada akhir semester pertama tahun ini, rasio NPL Mandiri mencapai 24,6 persen, melonjak tiga kali dari tahun sebelumnya.
Beberapa bulan mendatang, kredit-kredit yang baru bukan tak mungkin akan sama jebloknya. Ancaman datang dari kenaikan suku bunga pinjaman. BI memperkirakan, kenaikan suku bunga pinjaman akan terus berlangsung selama 3 hingga 6 bulan mendatang.
Beberapa bank telah menaikkan suku bunga pinjaman menjadi 16 hingga 18 persen. Untuk kredit konsumsi, suku bunga yang dipatok lebih tinggi lagi, yaitu di atas 20 persen.
Satu sumber Tempo memperkirakan suku bunga kredit yang dapat ditanggung mayoritas debitor sebesar 18 persen. Andai inflasi terus berpacu, perkiraan BI, beban bunga tertinggi yang dapat ditanggung debitor itu akan terlewati selambat-lambatnya pada awal 2006.
Perhitungannya, BI akan menaikkan suku bunga BI, yang merupakan patokan untuk suku bunga tabungan, hingga setidaknya satu persen di atas inflasi, menjadi 15 persen. Margin bunga terkecil yang dipetik oleh bank-bank lokal saat ini adalah 4 persen. Itu artinya suku bunga kredit akan mencapai 19 persen.
Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh para bankir agar debitornya tak mengemplang tentulah memotong margin bersih bunga mereka. Saat ini, rata-rata margin bunga bersih bank adalah 5 persen.
Kemungkinan penurunan laba bank itu sudah terlihat di perdagangan Bursa Efek Jakarta, pekan lalu. Para investor ramai-ramai melepas saham perbankan mereka. ”Investor mencemaskan kenaikan suku bunga kredit tidak akan secepat suku bunga deposito,” kata Fauzi Ichsan, ekonom Standard Chartered.
Andai suku bunga pinjaman terus berlari meninggalkan suku bunga kredit, margin bank lama-lama akan habis, bahkan negatif, seperti delapan tahun lalu. Saat krisis moneter menerpa, suku bunga tabungan di bank pernah lebih dari 50 persen.
Saat ini prospek sesuram krismon memang belum tercium. ”Likuiditas zaman dulu jauh lebih ketat dibandingkan sekarang,” kata Pramukti Surjaudjaja, Presiden Direktur Bank NISP. Modal perbankan saat ini pun lebih tebal dibanding dulu. Rata-rata kecukupan modal bank di Indonesia saat ini sekitar 18 persen, termasuk tinggi untuk wilayah Asia Tenggara.
Statistik bank secara nasional juga memperlihatkan bank masih sanggup menjalankan uang sebagai lembaga perantara bagi nasabah dan debitor. Nilai kredit yang disalurkan oleh bank selama triwulan ketiga tahun ini meningkat Rp 37,9 triliun.
Rasio penyaluran kredit terhadap dana pihak ketiga, yang sering dijadikan ukuran macet atau tidaknya penyaluran kredit, juga mencatat kenaikan menjadi 67,1 persen dari periode sebelumnya, 65,7 persen.
Angka-angka itu bisa jadi tinggal kenangan jika inflasi tak dapat direm dalam dua bulan terakhir, seperti janji pemerintah. ”Kalau tahun depan bunga tidak turun, itu pertanda suram bagi perbankan,” ujar Aviliani, komisaris independen BRI. Tetapi, jika hantu inflasi tak lagi gentayangan, industri perbankan diperkirakan kembali bernapas lega pada triwulan kedua tahun depan.
Thomas Hadiwinata, Astri Wahyuni, R.R. Ariyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo