Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN antara Bank Indonesia dan pemerintah itu sebenarnya rutin saja. Lebaran yang tinggal tiga hari lagi pun tak membuat pertemuan menjadi istimewa. Tapi, kehadiran jajaran lengkap tim pemerintah dan BI siang itu menyiratkan sesuatu yang penting sedang dibahas di forum itu.
Itu sebabnya, Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie datang dengan para pembantu utamanya: Menteri Keuangan Jusuf Anwar, Menteri Negara BUMN Sugiharto, Menteri Perdagangan Mari E. Pangestu, dan Menteri Perencanaan Nasional Sri Mulyani Indrawati. Tak ketinggalan dua penasihat ekonomi pemerintah, M. Ikhsan dan M. Chatib Basri.
Salah seorang peserta rapat menuturkan kepada Tempo, sejuknya Ramadan agaknya tak mampu meredakan aura ketegangan selama pertemuan yang membahas inflasi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak pada 1 Oktober lalu itu. Ada perbedaan cukup tajam dalam perhitungan yang dibawa tiap pihak.
Di luar sana, publik telanjur memegang patokan perkiraan inflasi yang dibuat pemerintah di kisaran 12 persen. Angka itu pun sebenarnya sudah jauh lebih tinggi dari yang pernah dijanjikan ketika pemerintah ngotot menaikkan harga minyak hingga rata-rata 126 persen, yakni sekitar 10 persen.
Tapi, hari itu BI punya angka sendiri yang ternyata jauh di atas prediksi pemerintah. Berdasarkan survei di 43 kota yang dilakukan pada awal Oktober lalu, BI melaporkan inflasi bisa mencapai 17 persen.
Tak mau membuat pelaku pasar senewen, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah di Bursa Efek Jakarta, pada 24 Oktober lalu, cuma menyodorkan angka perkiraan paling optimistis: 14 persen. Tapi, yang jelas, kata sumber Tempo di bank sentral, ”Saat itu dirasakan sudah tidak mungkin lagi inflasi 12 persen, seperti disebut pemerintah.”
Perhitungan BI itu didasarkan pada harga BBM di pasar—saat penghitungan dilakukan—yang sudah lebih tinggi dari harga patokan pemerintah. Minyak tanah, misalnya. Meski resminya pemerintah menaikkan harga dari Rp 700 menjadi Rp 2.000 per liter, harga yang dipakai dalam perhitungan inflasi adalah Rp 2.500—sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Begitu juga untuk sektor transportasi. Hasil survei dari 43 pemerintah daerah menunjukkan kenaikan tarif transportasi mencapai rata-rata 55 persen. Jauh di atas perkiraan yang hanya 30-40 persen. Mendapati kenyataan itu, pemerintah tetap bergeming dengan mengatakan inflasi hanya 12 persen.
Baru sehari kemudian, tepatnya 1 November lalu, pemerintah dipaksa mengakui kekeliruannya. Badan Pusat Statistik (BPS), yang meneliti di 45 kota, hari itu melansir angka lebih fantastis.
Inflasi pada Oktober saja mencapai 8,7 persen. Akibatnya, angka inflasi tahun kalender Januari-Oktober tahun ini mencapai 15,65 persen, dan angka inflasi dari tahun ke tahun (year on year) sebesar 17,89 persen. ”Ini tertinggi sejak 2001,” kata Kepala BPS, Choiril Maksum.
Banyak yang terhenyak. Tapi, menurut ekonom senior Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, angka BPS itu mestinya tak terlalu mengejutkan. Dalam perhitungan lembaganya, setiap kenaikan harga BBM rata-rata 10 persen akan memberikan inflasi tambahan sekitar 0,7 persen.
Karena itu, dengan kenaikan harga BBM awal Oktober lalu yang mencapai 126 persen, tambahan inflasinya 8,8 persen. ”Kami sudah ingatkan soal ini waktu kenaikan harga minyak masih dalam perencanaan,” kata Purbaya.
Pertanyaannya sekarang: masih layakkah perhitungan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja 2006, yang mematok inflasi 8 persen, itu dipercaya? Menteri Koordinator Aburizal Bakrie masih sangat percaya diri dan berjanji inflasi pada akhir 2006 tak akan menembus level 10 persen. ”Tren inflasi tahun depan akan rendah,” katanya.
Memang, hasil pertemuan BI dan pemerintah pun sepakat, inflasi pada akhir tahun depan diprediksi bisa dipertahankan di kisaran 7-8 persen. Meski begitu, target itu tentu saja masih harus diwaspadai. Sebab, tahun depan masih banyak faktor pendongkrak inflasi, misalnya rencana kenaikan tarif listrik yang diperkirakan mencapai 30 persen.
Belum lagi kenaikan harga yang, menurut Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman seluruh Indonesia, Thomas Darmawan, kebanyakan baru akan terjadi mulai Januari mendatang. ”Besarannya 2-10 persen,” katanya.
Kenaikan yang agak tertunda itu, menurut Thomas, karena produsen memperkirakan daya beli konsumen sudah terpuruk pada bulan-bulan awal setelah kenaikan harga minyak. Apalagi kebutuhan cukup tinggi akibat Lebaran. ”Kalau dipaksa naik sekarang, barang tak laku dan akan kedaluwarsa,” ujarnya.
Industri juga akan mulai percaya diri tahun depan, karena saat itu akan ada kenaikan gaji pegawai negeri 20 persen dan kenaikan upah buruh di beberapa daerah. ”Tentunya daya beli akan kembali meningkat,” kata Thomas.
Dengan kenaikan harga itu, menurut kalkulasi Danareksa, laju inflasi baru akan berangsur turun di kuartal kedua tahun depan. Itu berarti baru pada sekitar Maret laju inflasi tahunan diperkirakan menurun ke sekitar 14,7 persen. Itu pun jika BI tetap menjalankan kebijakan uang ketat.
Tingkat inflasi akan bertahan di kisaran itu hingga September. Dan baru setelah itu turun signifikan, hingga pada akhir 2006 bisa mencapai posisi sekitar 5,7 persen. ”Meski untuk rata-rata tahunan masih sulit untuk tak tembus dua digit seperti janji pemerintah,” kata Purbaya.
Seorang pejabat pemerintah juga mengingatkan, instrumen moneter BI tahun depan tampaknya tak akan punya cukup tenaga untuk mengerem laju inflasi. Sebab, inflasi sekarang ini lebih disebabkan kenaikan ongkos produksi alias costpushed inflation. ”Bukan karena faktor meningkatnya permintaan barang.”
Karena itulah, ketimbang pengetatan likuiditas, yang lebih dibutuhkan adalah sejumlah kebijakan pemerintah untuk menekan ekonomi biaya tinggi dan memperlancar distribusi barang. Misalnya saja berupa insentif pajak dan pemberantasan pungli.
Dengan begitu, harga jual barang bisa ditekan dan inflasi diredam. ”Itu pun dengan syarat pemerintah bisa kembali mendapat kepercayaan pasar yang hilang,” katanya.
MD, Y. Tomi Aryanto, Yura Syahrul, Indriani Dyah S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo