Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ancang-ancang Sebelum Tekor

Tugas melayani publik terus menggandoli beberapa perusahaan milik negara. Dana subsidi tak pernah sebanding dengan biaya produksi.

14 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PALU di tangan Ahmad Hafiz Zawawi menggebrak meja, menutup rapat Panitia Kerja B Dewan Perwakilan Rakyat yang membahas Anggaran Belanja Negara 2006 di pengujung Oktober lalu. Satu di antara beberapa hasil rapat adalah persetujuan subsidi pupuk sebesar Rp 3 triliun untuk tahun depan.

Meski naik Rp 500 miliar dibandingkan alokasi dalam rancangan anggaran sebelumnya, keputusan itu jauh di bawah harapan pemerintah dan produsen pupuk. Beberapa hari sebelum rapat, Menteri Pertanian Anton Apriyantono masih optimistis DPR bakal merestui dana subsidi Rp 6 triliun. Dengan begitu, harga jual pupuk tak perlu dinaikkan sebagai konsekuensi kenaikan harga gas dan tarif transportasi.

Apa lacur, kondisi keuangan negara hanya mengizinkan setengah dari yang diinginkan. Pemerintah kemudian mengusulkan kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk mulai awal tahun depan. Kenaikannya 10 hingga 20 persen. Lagi-lagi, DPR belum bisa meluluskan permintaan itu. ”Pembahasan mengenai itu akan dilakukan di komisi terkait,” kata Ahmad Hafiz.

Tentu tak mudah menaikkan harga jual pupuk begitu saja di tengah kondisi sulit saat ini. Anton mengatakan, pemerintah menetapkan harga jual pupuk berdasarkan selisih antara biaya produksi dan alokasi jumlah subsidi. Harga jual eceran pupuk urea—ini jenis pupuk yang paling besar subsidinya—sekarang Rp 1.050 per kilogram. Padahal, biaya produksi terus membengkak hingga Rp 1.800.

Biaya produksi itu memang hitunghi-tungan di atas kertas. Sebelum memutuskan kenaikan harga jual eceran, Anton minta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggelar audit khusus biaya produksi pupuk. Ada empat perusahaan pupuk pelat merah yang menyalurkan pupuk bersubsidi, yaitu PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Sriwidjaja, PT Petrokimia Gresik, dan PT Pupuk Kujang.

Keterlibatan Kementerian BUMN dalam penentuan harga jual dan nilai subsidi pupuk merupakan terobosan baru. ”Selama ini, kami tidak pernah diajak bicara mengenai jumlah subsidi dan penetapan harga,” kata Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, kepada Tempo, pekan lalu.

Kementerian BUMN tentu punya kepentingan besar agar perusahaan yang dibinanya tak terus merugi gara-gara mengemban misi mulia: menyediakan pupuk lebih murah dari harga pasar untuk petani. Selain berorientasi bisnis, belasan perusahaan negara memang masih digandoli tugas melayani kepentingan publik, di antaranya Pertamina, Bulog, Perusahaan Listrik Negara, dan perusahaan pupuk.

Ada lagi perusahaan berstatus pelayanan publik atau public service obligation (PSO) yang harga jual produknya ditetapkan pemerintah, seperti PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), dan PT Pos. ”Harus dibedakan secara tegas, mana BUMN subsidi dan mana yang PSO,” kata Said.

PLN membukukan kerugian Rp 4,5 triliun sepanjang paruh pertama tahun ini. Angka itu bakal terus membengkak karena nilai subsidi yang diberikan pemerintah tak sebanding dengan kenaikan harga bahan bakar minyak. Tak ada istilah jalur gemuk bagi Pelni. Perusahaan itu mesti menyinggahi 80 pelabuhan di seantero Indonesia meski terkadang hanya mengangkut satu penumpang.

Said berandai-andai, ”Orang sekaliber Bill Gates pun tidak mampu membuat perusahaan PSO untung.” Agar tak selalu jadi kambing hitam, Kementerian BUMN menyodorkan konsep baru. Caranya dengan memasukkan komponen margin keuntungan dalam formula penghitungan harga pokok penjualan. ”Jadi, dia bisa untung meski disubsidi,” kata Said.

Selain itu, subsidi di masa datang hanya diberikan pada perbedaan harga jual dengan harga pasar. Bahkan Said punya obsesi, subsidi kepada petani diberikan sekali saja melalui satu pintu sehingga produsen pupuk dan benih diberikan keleluasaan menjual produk sesuai dengan harga pasar. ”Subsidi pupuk, bunga kredit, dan bibit disatukan di Bulog sebagai badan penyangga,” katanya.

Yura Syahrul, Ewo Raswa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus