Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Di DPR, Pertamina Jelaskan 3 Penyebab Rugi Rp 11,13 T Semester I 2020

Di DPR, Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini menjelaskan tiga penyebab kerugian perseroan yang mencapai Rp 11,13 triliun pada semester I.

31 Agustus 2020 | 16.33 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero) Emma Sri Martini mengatakan perseroan mendapat tiga pukulan saat pandemi Covid-19 yang membuat mereka rugi pada semester I 2020.

"Pertama, karena penurunan penjualan Pertamina," kata Emma dalam rapat dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, Senin, 31 Agustus 2020. Pada semester I 2020, Pertamina tercatat mengalami kerugian Rp 11,13 triliun.

Dia menuturkan volume penjualan bahan bakar minyak (BBM) atau bahan bakar khusus turun hingga 26 persen dari Juli 2019 yang berpengaruh terhadap pendapatan perseroan.

Pada kuartal II, kata dia, penurunan permintaan terdalam terjadi pada April 2020. Namun dari sisi penjualan, April menuju Mei sudah ada peningkatan dan dari Mei ke Juni meningkat 7 persen. Sedangkan pada Juli meningkat 5 persen.

Penyebab kedua, kata dia, adalah nilai tukar rupiah yang bergerak sangat fluktuatif. Hal itu memberikan tekanan pada keuangan perseroan. Sebab, pendapatan Pertamina sebagian besar dalam rupiah, namun pembelian minyak mentah dalam dolar Amerika Serikat.

Pada Desember 2019, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah Rp 13.900 sedangkan pada Maret 2020 berada di kisaran Rp 16.367. "Ini secara buku, selisih yang sangat tajam," ujarnya.

Dan penyebab ketiga kerugian Pertamina, yaitu tertekannya Indonesia Crude Price (ICP) hingga level yang terendah pada April 2020 menjadi US$ 21 per barel. Hal ini berdampak pada kinerja keuangan Pertamina yang mempertahankan produksi lifting minyak dan gas. Pelemahan ICP itu berdampak pada inventory cost atau menumpuknya stok bahan bakar seperti avtur dan solar di Pertamina.

Kondisi itu, kata itu, memberatkan Pertamina karena di kilang yang dimiliki masih mengonsumsi harga crude yang sebesar US$ 57 dolar per barel. "Ini secara pembukuan kita masih harga pokok masih mahal tapi harga jual sudah agak rendah. Karena harga jual mengikuti harga ICP yang terkini. Ada selisih dari lagging waktu," ujar dia.

HENDARTYO HANGGI

Baca juga: Dirut: Kerugian Pertamina Lebih Kecil Dibanding Perusahaan Migas Lain

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus