ROBBY Tjahyadi, 50 tahun, Sabtu pekan lalu berlinang air mata di atas mimbar DPR. Pengusaha tekstil ini sudah tak dapat lagi menahan emosi. Hal itu terjadi setelah Robby selama satu jam menceritakan sejarah bisnisnya kepada 20 anggota DPR Fraksi Karya Pembangunan. Peristiwa yang diliput oleh lebih dari 100 wartawan itu bermula dari rasa ingin tahu Bambang Warihkusuma, anggota DPR dari FKP, yang mempersoalkan kredit yang diterima Robby dari Bapindo. Pemberitaan seputar itu jadi merebak ke mana-mana, hingga melunturkan kepercayaan mitra bisnis terhadap Robby. Beberapa perusahaan yang memasok kapas, poliester, dan serat ke PT Kanindo dengan pembayaran mundur satu bulan tiba-tiba dua pekan terakhir mendesak minta dibayar tunai. Teman-temannya yang biasa memberikan pinjaman juga menghindar. "Setiap saya kontak, selalu dibilang tak ada," kata Robby sambil mengusap air mata. A. Baramuli, yang duduk di meja pimpinan rapat, rupanya tak enak hati. "Saya melihat, kalau Robby diisukan terus, bisnisnya bisa macet. Sekarang saya ingin tahu, berapa utang Anda. Terserah Anda mau jawab atau tidak," kata Baramuli. Robby kemudian merinci utang-utangnya di bank pemerintah. Katanya, pada tahun 1990 ia menerima kredit investasi Rp 124 miliar dari Bapindo. Kredit itu sudah dicicil sehingga utang pokoknya kini tinggal Rp 80 miliar. Selain itu, masih dari Bapindo, Robby menerima kredit modal kerja dalam bentuk usance L/C dengan baki tertinggi Rp 100 miliar (sekitar US$ 50 juta). Dari BBD, Robby memperoleh kredit investasi US$ 125 juta (Rp 250 miliar), selain modal kerja Rp 50 miliar. "Itu belum dicicil karena belum waktunya," katanya. Dengan demikian, posisi total kredit Kanindo dari bank pemerintah sekarang sekitar Rp 480 miliar. Dan Robby menegaskan, semuanya dalam status kredit lancar. "Kalau saya salah, saya siap dipenjara lagi," kata Robby. Ia memang pernah dipidanakan 2,5 tahun gara-gara menyelundupkan mobil mewah pada 1973. Bukan tidak terpikir oleh Robby untuk mendapatkan surat pernyataan lancar dari bankirnya. "Kontak bankir saya, Bapindo, lagi krisis. BI juga tak ada tanggapan. Terpaksa saya sendiri yang harus menjelaskan," ujarnya. Penjelasan Robby akhirnya diterima rapat tanpa tanya-jawab. Robby langsung keluar meninggalkan DPR. Menurut Ketua FKP, Usman Hasan, data kredit yang disampaikan Robby kurang lebih sama dengan data yang ada di FKP. "Kami mengerti mengapa Robby begitu emosi, karena usahanya nyaris jadi bala," ujar Usman. Katanya, nama Robby bisa muncul karena Pemerintah tengah menyidik kredit terbesar pada 50 pengusaha. Memang baru nama Eddy Tansil dan Robby yang mencuat. Nama 48 pengusaha lain sudah di tangan FKP, tapi belum diumumkan. Lalu, mengapa Bambang mengatakan Robby mempunyai kredit bermasalah sebesar Rp 1.500 miliar? "Saya tidak mengatakan demikian. Saya merasa ditohok dari belakang. Itu kan pembicaran intern FKP," kata Bambang, yang hari itu berkemeja merah jambu dan berdasi. Menurut Bambang, angka tersebut adalah hasil asumsi-asumsi perbandingan investasi industri tekstil, misalnya PT Texmaco. "Saya tidak bilang kreditnya bermasalah. Kami mengasumsikan bahwa dengan gaya Robby membangun industri tekstil, lalu melompat ke properti, lalu membeli Mayatex, bisnisnya riskan," ujar Bambang. Asumsi itu, menurut Robby, salah. Caranya membangun bisnis tak dapat disamakan dengan perusahaan lain. Perusahaan lain yang membangun pabrik pemintalan 30.000 spindel (mata pintal) perlu waktu tiga tahun. Tapi, dalam tempo yang sama, Robby dapat membangun 450.000 spindel. Bahwa investasinya bisa relatif murah, itu antara lain karena pinjaman dari bank pemerintah relatif kecil. Robby lebih memanfaatkan pinjaman luar negeri dengan bunga di bawah 7%. "Kami tidak kena dampak uang ketat, sedangkan pengusaha yang mengambil kredit rupiah dibelit bunga 35%," ujarnya. Ia juga mengakui adanya pinjaman rupiah untuk pembangunan Hotel Papandayan. Ternyata rugi, lalu langsung dijual. Dari penjelasan itu, FKP menyimpulkan bahwa Kanindo tak punya kredit bermasalah. Seusai acara Robby di DPR, bekas Pangkopkamtib Letjen (Purn.) Sumitro memberi penjelasan tersendiri. Sumitro memang sempat menduduki jabatan presiden komisaris di Kanindo selama dua bulan (September-Oktober 1990). Tapi itu bukan berarti ia punya keterkaitan dengan Kanindo. Mulanya, demikian Sumitro, ia ingin membantu rekan-rekan pensiunan yang jujur. Sumitro lalu berbicara dengan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Radius Prawiro serta beberapa bankir pemerintah. Permintaan itu ditanggapi Subekti Ismaun dari Bapindo. Waktu itu sudah enam orang yang disalurkannya menjadi komisaris di pabrik tekstil. Kemudian, datang tawaran lagi dari Subekti untuk posisi di Kanindo. "Saya lalu mencari orang yang jujur, kuat kepribadiannya," tutur Sumitro. Ketika kredit itu dicairkan, Sumitro belum juga mengajukan nama. Subekti lalu meminta Sumitro untuk duduk sementara. Setelah dua bulan, akhirnya ia menemukan calon yang pas, yakni Mayjen (Purn.) Tahir. Tahir adalah bekas Dirjen Bea Cukai, bekas Irjenbank, dan pernah menjabat Ketua Teperpu (team pemeriksa pusat) di masa awal Orde Baru.Max Wangkar, Diah Purnomowati, dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini