MASALAH kredit macet dalam perbankan Indonesia dewasa ini sungguh memprihatinkan. Macet di sini berarti uangnya benar- benar tidak berputar. Dan jumlahnya sungguh dahsyat: Rp 6 triliun, yang terdiri dari kredit macet ebesar Rp 3,73 triliun dari bank pemerintah serta Rp 2,34 triliun dari bank swasta. Itu angka per Oktober 1993. Tragisnya, dana Rp 6 triliun itu berada di tangan segelintir pengusaha. Jika kreditnya macet, berarti janji mereka untuk membuka lapangan kerja palsu belaka. Tak heran jika Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad menyatakan, kredit macet sekarang sudah rawan, hingga terasa seakan memukul Pemerintah. Hal itu dikatakannya Sabtu dua pekan lalu, dalam rapat kerja dengan Komisi APBN DPR. Keprihatinan Mari'ie terutama berkisar pada kredit macet dari tujuh bank pemerintah yang terus membengkak. Apalagi, di samping kredit macet, ada kredit yang kurang lancar (debitur membayar melewati waktu) serta kredit diragukan (debitur tak mampu membayar bunga dan cicilan lebih dari tiga kali). Kalau tiga jenis kredit bermasalah itu dijumlahkan, angkanya melesat ke Rp 14,9 triliun. Dari sektor bank swasta, biarpun sedikit lebih kecil, kredit bermasalah juga ada. Total jumlah kredit bermasalah di bank pemerintah dan bank swasta menjadi Rp 26,7 triliun per Oktober 1993. Kalau melihat pembengkakan begitu besar, tak salah lagi, kredit bermasalah tidak cuma mengganggu likuiditas bank, tapi juga bisa menghambat perekonomian negara. Dihadapkan oleh kenyataan itu, Pemerintah mungkin baru sepenuhnya menyadari bahwa manajemen di bank-bank milik negara sungguh tidak profesional. Lebih buruk lagi, sering melanggar ketentuan Pemerintah. Selain itu, menurut Mar'ie, kredit sering diberikan tanpa pengecekan yang matang, khususnya tentang kelaikan proyek. Bahkan pengusaha yang diberi kredit tidak menyetorkan modal pendamping. "Itu bisa terjadi karena kolusi antara peminjam dan pejabat bank," kata Menteri Mar'ie tanpa berusaha menutup-nutupi. Bahkan, ditambahkannya, pejabat bank terkadang terpaksa melanggar ketentuan yang ada karena mendapat tekanan dari pejabat senior pemerintah. Menurut Sekjen Perbanas Thomas Suyatno, faktor lain yang menyebabkan kredit bermasalah di bank-bank pemerintah ialah sikap kurang hati-hati dari para bankirnya. Thomas, yang juga anggota DPR itu, melihat bahwa bank-bank telah dimanja dengan berbagai fasilitas dana murah dari Pemerintah. Mereka menjadi penyalur kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI), menerima titipan anggaran belanja dan pembangunan, serta titipan dana dari BUMN-BUMN plus dana pensiun. Karena bunganya murah dan jumlahnya besar, maka berlombalah bank-bank pemerintah melemparkan kredit. "Tujuannya untuk meningkatkan rentabilitas (memperbesar laba)," ujar Thomas lagi. Ketika KLBI berangsur ditarik Pemerintah, lalu ada gebrakan Departemen Keuangan dan BI (dana BUMN di bank pemerintah disandera dalam bentuk sertifikat BI), mulailah bank-bank pemerintah sempoyongan. Kreditnya pun tersendat-sendat. Untuk menangkal rongrongan itu, Pemerintah akan membenahi manajemen bank pemerintah dengan upaya konsolidasi. Inilah yang akan diutamakan selama lima tahun ke depan, seperti dikatakan Mar'ie. Pemerintah juga akan mengintensifkan proses penyeliaan dengan melibatkan dewan komisaris bank-bank bersangkutan. Sampai kini, upaya mengatasi masalah kredit macet adalah pendekatan kasus per kasus. Akibatnya, bisa makan waktu lama sekali. Lihat saja, sekarang Pemerintah begitu terserap dengan kasus kredit macet Grup Golden Key sebesar Rp 1,3 triliun. Padahal, menurut tim supervisi yang dibentuk BI dan Departemen Keuangan, masih ada 50 nasabah kakap di bank pemerintah yang perlu diusut kredit bermasalahnya. Cara menagih kredit bermasalah di bank pemerintah setidaknya ada lima macam. Pertama, diberi peringatan. Kalau debiturnya bandel, bisa diambil langkah kedua, dengan menyerahkan upaya penagihan lewat BUPLN (Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara). Langkah ketiga berupa pencekalan lewat instansi imigrasi. Langkah keempat meminta bantuan kejaksaan. Langkah kelima menyeret debitur ke pengadilan. Namun, kelima langkah tersebut agaknya belum memadai, karena dalam enam bulan saja (Maret-Oktober 1993), kredit macet bank pemerintah sudah membengkak sebesar Rp 1,2 triliun. Lalu, bagaimana bank swasta menagih kredit macet mereka yang kini berjumlah Rp 2,3 triliun? Pilihannya hanya satu, yaitu ke pengadilan. Dan biasanya, proses ini dihindarkan. Hanya 10% bank swasta yang ke pengadilan, dan mereka rugi. Soalnya, proses itu lama. Paling cepat 8 tahun, bahkan ada yang 13 tahun. "Anda bayangkan, kalau inflasi 10% per tahun, berarti selama 13 tahun itu piutang sudah digerogoti inflasi 130%. Artinya, kita tidak dapat apa-apa lagi," kata Thomas pula. Belakangan memang ada janji Pemerintah bahwa proses penyelesaian kredit macet di pengadilan paling lama 18 bulan: 6 bulan di pengadilan negeri, 6 bulan di pengadilan tinggi, dan 6 bulan di Mahkamah Agung. Meski kemudahan itu sudah ditawarkan BI dan Departemen Keuangan sejak awal tahun ini, belum terdengar ada bank swasta yang menuntut kredit macetnya. Cara yang biasa dipilih bank swasta adalah menghapus (write off) kredit macet dan menganggapnya sebagai kerugian bank. Itu memang harus lewat pengadilan, tapi tanpa gembar-gembor mendakwa si debitur. Alternatif ini dibolehkan oleh BI untuk kredit macet yang telah melampaui dua tahun dan telah diusahakan mengatasinya dengan berbagai cara. Tapi, cara tersebut merugikan negara, karena dampaknya pada perolehan pajak. "Dalam pertemuan dengan Mahkamah Agung, BI, Depkeu, BUPLN, Kehakiman, dan Jaksa Agung, saya katakan bank swasta seperti anak tiri," kata Thomas. Alasannya, bank pemerintah mempunyai banyak jalur untuk menagih kredit macet, tapi bank swasta tidak. Bank swasta tidak bisa minta bantuan BUPLN, imigrasi, dan kejaksaan untuk menagih kredit macet karena dana mereka dianggap bukan kekayaan negara. "Diskriminasi itu harus dihilangkan. UU Perbankan (No. 7 Tahun 1992) kan tidak memperbedakan bank milik negara maupun swasta. Perlakukan kami sebagai anak kandung juga," ujar Thomas mengimbau. Menurut Menteri Keuangan, timbulnya kredit bermasalah adalah karena oknum-oknum pejabat bank. "Sistem perbankan kita sudah baik," katanya menegaskan. Tapi Thomas berpendapat, masih ada kelemahan dalam UU Perbankan kita, yakni ketentuan yang menyangkut kerahasiaan bank. Dengan pasal itu, apa pun yang terjadi, pihak luar tidak boleh mengetahui. Akibatnya, di Indonesia tak mungkin terbentuk badan yang khusus menangani kredit bermasalah, sebagaimana di Jepang. "Kalau mau dibentuk badan (usaha) khusus kredit macet, UU itu perlu diubah," kata anggota DPR ini, yang juga ikut menyusun UU Perbankan tersebut.Max Wangkar dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini