PEKAN lalu, Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Direktur Utama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) B.J. Habibie merebut perhatian khalayak ramai yang menghadiri Asian Air Show di Singapura. Bersama Wakil Perdana Menteri Lee Hsien Loong, Habibie meninjau pesawat-pesawat yang dipamerkan, dan seperti biasa bicara menggebu tentang industri pesawat terbang -- topik yang selalu membuat matanya berbinar-binar. Namun, seperti biasa, Habibie juga membingungkan. Mengapa? Karena ia menggebu dengan impian yang selalu melompat ke depan lebih dahulu. Hal yang sama juga terjadi di depan puluhan wartawan dari berbagai negara Asia di pameran dirgantara Singapura itu. Mereka bingung. Soalnya, ketika perhatian mereka masih terpusat pada proyek ANS yang disebut-sebut Habibie, tiba-tiba saja Dirut IPTN ini sudah bicara soal lain. Seperti diketahui, ANS adalah sebuah satelit navigasi dirgantara canggih yang oleh Habibie dikatakan mampu memonitor semua pesawat yang lalu lalang di semua bandara di Indonesia, 24 jam sehari. Tapi, bincang-bincang tentang ANS belum tuntas, Habibie "melompat" ke impian lain. Ia langsung menyita perhatian ketika menampilkan rencana pembangunan industri perakitan pesawat komuter (antarkota) N-250 yang 100% produksi Indonesia. Dan masih ada kejutan lain: proyek itu akan dibangun di negara pengekspor pesawat terbang terbesar di dunia, Amerika Serikat. Kalau industri itu berdiri nanti, ini akan menjadi pabrik IPTN pertama di luar negeri. Di samping itu, implikasi finansialnya tentu luar biasa. Mengapa? Tenaga kerja di AS tak dapat dibayar murah, dan belum lagi yang lain-lain. Padahal, yang sekarang dicari pengusaha adalah negara yang paling murah untuk investasi sehingga produknya dapat kompetitif. Memang, itulah tuntutan globalisasi, juga tuntutan pasar bebas GATT. Tak salah kalau investor berpaling ke negara- negara miskin yang tanah dan tenaga kerjanya melimpah. Tapi lain Menteri Habibie. Dirut IPTN ini mengaku nekat masuk ke AS lantaran tak punya pilihan. "Betul, AS memang membuka pasarnya. Tapi mereka menjerat dengan begitu banyak peraturan hingga saya tak dapat menjual satu pun pesawat ke sana," katanya kepada wartawan Business Times. Dan ia tak hanya sekadar bicara. Wartawan TEMPO di AS, Bambang Harymurti, menemukan, dua tahun lalu diam-diam Habibie sudah membangun IPTN North America (IPTNNA). Perusahaan yang berkantor di Seattle ini telah merekrut seorang direktur utama, yang dibantu 13 staf. Kabarnya, IPTNNA kini sedang berunding dengan dua calon pembeli dari perusahaan penerbangan lokal. Tapi Direktur Utama IPTNNA, Heru Santoso, enggan merinci hasil pembicaraan itu. Katanya, masih terlalu dini. Yang jelas, oleh Habibie, IPTNNA diharapkan membereskan dua pekerjaan: menjual N-250 di AS, dan mempercepat sertifikasi FAA (Lembaga Penerbangan Federal AS), yang jadi "visa" pesawat untuk beroperasi di AS. Apakah itu mungkin? Sepintas, AS memang pasar yang menggiurkan. Kawasannya luas, membentang hampir sama panjangnya dengan Indonesia, tapi penuh kota dengan fasilitas pelabuhan udara. Perusahaan penerbangan komersial sangat banyak jumlahnya, terutama yang kecil. Mereka melayani penumpang antarkota, dengan pesawat berdaya jelajah pendek. Anehnya, industri pesawat terbang AS justru tak menyuplai kebutuhan penerbangan lokal ini. Mereka melulu berkonsentrasi pada pesawat tempur, kapal terbang besar macam jet jumbo dan megatop, serta pesawat luks untuk penerbangan carter atau "mobil terbang" mewah milik pribadi. Inilah celah terlemah yang tampaknya hendak dibidik Habibie dengan pesawat N-250. Dengan keunggulan pesawat baling-baling kebanggaannya ini, ia optimistis. N-250 diklaim dapat terbang lebih cepat dengan bahan bakar irit. Dan yang terpenting, inilah pesawat komuter pertama yang menggunakan teknologi fly by wire (memanfaatkan kemudi elektronik yang cepat merespons perintah pilot). Kapasitas penumpangnya yang tak besar, hanya 68 tempat duduk, ditambah daya jelajahnya yang tak begitu jauh (dua jam nonstop), dianggap tepat dengan karakter kebutuhan penerbangan antarkota di AS. Tapi jangan cepat berbesar hati. Analis penerbangan internasional menyebut pasar pesawat AS sudah senja. Begitu berjubelnya perusahaan penerbangan sehingga pasar yang besar terasa sesak. Kini banyak yang menunggu lonceng kebangkrutan. Agar tak terpuruk, mereka bertahan dengan armada yang sudah tua, rata-rata 11 tahun. "Mereka cuma mengganti pesawat kalau mau terbang ke luar Amerika," katanya. Selain itu, pengamat penerbangan lainnya menyayangkan pemakaian fly by wire yang justru dianggap sebagai "jimat" N-250 itu. "Apa perlunya fly by wire bagi pesawat komersial yang terbang satu-dua jam?" ia bertanya. Pengamat ini mempersoalkan berapa besar pemborosan yang harus dibayar untuk secuil teknologi power steering yang pasti mempengaruhi harga jual. Hingga saat ini, memang belum ada kepastian, pada harga berapa N-250 akan dipatok. Tapi pengamat itu menghitung tak akan kurang dari US$ 13 juta. Berarti, sebanding dengan harga ATP buatan British Aerospace, yang -- kendati tak memakai fly by wire -- sudah lebih berpengalaman dan matang dalam industri antariksa. Pesaing tak hanya datang dari ATP. Selain diramaikan pesawat yang sudah diproduksi pabrik ternama, seperti Dash-8 (De Havilland), Saab-2000 (Swedia), Foker-50 (Belanda), dan ATR (kongsi Italia-Prancis), dunia kini sedang diguncang bangkitnya industri pesawat terbang di Asia. Dalam kelas N-250, Jepang merangkul Boeing, ATR, Saab, dan AVIC (Cina) membuat pesawat 80 tempat duduk bernama YSX. Lalu, Shanghai Aviation (Cina) menggandeng Mc-Donnell Douglas memproduksi MD-80, dan Samsung (Korea) mengajak Cina serta Lockheed, perusahaan pembuat jet tempur yang hampir bangkrut dari Amerika, dalam proyek pesawat komersial turbopropelar. Aliansi semacam ini tentu akan unggul dalam pemasaran dibanding IPTN yang berkiprah sendirian. Ancaman aliansi sebenarnya sudah diingatkan World Bank khusus kepada IPTN yang berkeras membikin N-250 itu. "Kerja sama industri penerbangan akan menyingkat proses produksi dan desain," begitu pesan Bank Dunia. Jadi, jangan kaget jika pada tahun 1996, saat N-250 yang pertama mengudara, ternyata sudah ada pesawat lain yang lebih modern. Padahal, secara konsep, N-250-lah pesawat yang paling canggih dalam kelasnya saat ini. Karena berbagai soal itu, seorang sumber di IPTN mengaku ragu dengan ambisi Habibie menembus pasar AS. Ia berharap, tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan IPTN yang akan meninjau IPTNNA Maret ini bisa memberi rekomendasi kepada Habibie. "Kalau bisa, biar tak jadi saja," katanya sambil mengingatkan sulitnya mencari dana untuk modal industri perakitan itu. Tapi, kalau bukan ke AS, ke mana IPTN harus memasarkan N-250? Pasar yang secara riil sedang tumbuh pesat pastilah Asia dan Pasifik. Tapi di sini IPTN harus bertarung melawan kekuatan industri raksasa yang bekerja sama dengan perusahaan lokal seperti tersebut di atas. Karena itu, satu-satunya tempat yang aman adalah pasar domestik. Di sini, IPTN mengaku sudah mendapat pesanan 167 pesawat, yang belum tersedia hingga tahun 1996. Pemesan itu adalah Merpati (65 pesawat), Bouraq (62), FFV/Bleinheim dari Swedia (24), dan Sempati (16 pesawat). Kalau daftar itu benar, tentulah ada hal yang salah. Mengapa? Untuk membeli 65 pesawat, Merpati setidaknya mesti menyediakan dana hampir Rp 2 triliun. Begitu pula Bouraq. Bagaimana mungkin? Seluruh total asetnya saja tak sampai setengah angka itu. Jadi, betulkah daftar itu? Dengan berbisik hati-hati, seorang pejabat di Departemen Perhubungan mengatakan, semua itu sedang dalam tahap studi. Kecuali dari Bleinheim, tampaknya belum ada angka pasti berapa N-250 yang sudah dipesan. Jika ini benar, berarti masih jauh jarak yang harus ditempuh N-250 untuk mencapai titik impas dengan penjualan 250 pesawat. Lalu, bagaimana nasib proyek N-250 yang akan menelan investasi Rp 1 triliun lebih itu? Sebaiknya jangan khawatir karena Menteri Habibie tentu siap dengan sebuah jawaban dan, mungkin juga, rekayasa.Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini