Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Di Priok, Masih Ada Tanri

Tudingan bahwa Tanri Abeng menilap hasil penjualan Pelabuhan Tanjungpriok berdering kembali. Benarkah Tanri tak bersih?

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama Tanri Abeng agaknya sulit hilang dari telinga Indonesia. Manajer satu miliar itu harus menjalani antiklimaks justru di puncak karirnya. Sebagai Menteri Negara Pendayagunaan BUMN, Tanri kesenggol dua kasus yang bisa menjatuhkan nasib dan reputasinya: skandal Bank Bali dan penjualan saham Pelabuhan Tanjungpriok. Pada kasus pertama, Tanri resmi jadi tersangka. Pemeriksaan masih berlangsung. Pada yang kedua, baranya memang mulai padam. Tapi jangan harap menjadi beku. Senin pekan depan, skandal yang menyeret Tanri ini akan meledak kembali. Para buruh seluruh pelabuhan milik PT Pelindo II (yang mengelola Tanjungpriok) siap-siap mogok. Tuntutan mereka cuma satu: Direktur Utama Pelindo II, Herman Prayitno, mesti dicopot. Herman dan Tanri adalah duo yang dianggap bertanggung jawab atas penjualan saham pelabuhan Tanjungpriok yang penuh misteri itu. Dosa yang dituduhkan kepada duet ini adalah menjual saham terminal peti kemas Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan harga terlampau murah. Pada Maret 1999, Pelindo II melepas 51 persen saham JICT kepada Grosbeak (anak usaha Hutchison Whampoa, Hong Kong) dengan harga US$ 215 juta. Dengan kata lain, seluruh JITC cuma dihargai US$ 422 juta. Dilihat dari sisi kapasitas produksinya, harga Priok memang tampak amat murah. Dengan kapsitas 1,4 juta Teu's setahun, harga JITC cuma US$ 301 per Teu's. Padahal, hari-hari ini Hutchison juga sedang menawar Terminal Petikemas Koja pada US$ 766 per Teu's. Dan operator pelabuhan Australia, P&O, bersedia membayar US$ 409 per Teu's untuk Terminal Peti Kemas Surabaya (lihat infografik). Berdasarkan perbandingan ini, Lembaga Advokasi Reformasi Indonesia (LARI), yang meneliti kasus itu, memberi patokan: harga wajar Tanjungpriok setidaknya Rp 2,85 juta per Teu's atau US$ 356 per Teu's. Jika benchmark ini dipakai, harga JITC seharusnya US$ 498 juta, dan bukannya US$ 422 juta seperti hasil penjualan yang diperoleh Tanri. Namun, menurut Tanri, harga pelabuhan tak bisa cuma dihitung berdasarkan kapasitas produksi. Kalau cuma itu, ia punya pembanding lain. Pelabuhan Rotterdam, Belanda, misalnya, cuma laku US$ 400 juta. "Padahal, kapasitasnya dua kali Priok," katanya. Selain dari kapasitas produksi, menurut Tanri, banyak faktor yang dilihat dalam penjualan pelabuhan, misalnya bagaimana termin dan kondisinya. Di Priok, contohnya, Hutchison cuma punya konsesi 20 tahun, sedangkan di Belanda pembelian itu bersifat permanen. Selain itu, di Priok, Hutchison harus menyuntikkan investasi US$ 28 juta guna membeli peralatan, memperpanjang dermaga, dan memperluas lapangan penumpukan. Senada dengan Tanri, Asisten Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN Bidang Komunikasi dan Media, Riza Primadi, juga punya sejumlah argumen. Perbandingan dengan Surabaya, katanya, kurang tepat. Soalnya, penjualan terminal Surabaya bersifat final, sementara di Priok masih disertai embel-embel: setoran royalti dan biaya sewa tanah 15 persen dari pendapatan kotor. Kendati demikian, Ketua LARI Eddy Sumarsono tak bisa menerima pelbagai argumen itu. Ia melihat upaya Tanri mengobral BUMN bukan pertama kali ini saja. Ia menyebut percobaan penjualan saham Krakatau Steel dengan harga amat murah kepada Ispat International NV. Padahal, Broken Hill Proprietary sudah menawar dua setengah kali lebih mahal. Selain itu, katanya, masih ada penjualan 898 juta lembar saham Telkom tanpa setahu manajemen, dan beberapa kasus yang lain. Pendek kata, kecenderungan itu, "Tak bisa dianggap biasa saja." Celakanya, bukan cuma harga rendah itu yang jadi persoalan. Hilangnya pendapatan potensial Pelindo II jika terminal itu tak dijual juga harus jadi pertimbangan. Di atas kertas, terminal itu menyumbang Rp 670 miliar setahun kepada Pelindo II. Jika dikurangi biaya operasional Rp 225 miliar, sumbangan bersih terminal itu masih Rp 400 miliar. Selain mencurigai harga yang murah dan mengkhawatirkan nasib Pelindo, Eddy juga menduga duet Tanri-Herman telah menilap duit hasil penjualan Priok. Menurut Eddy, dari US$ 215 juta nilai transaksi itu, yang sampai ke rekening Menteri Keuangan cuma US$ 190 juta. Yang lain? Dalam surat Tanri kepada Menkeu disebutkan bahwa dana itu merupakan hak PT Pelindo II dan Koperasi Pegawai Maritim (Kopegmar), koperasi milik karyawan Pelindo II, yang juga ikut menjual sahamnya di JITC. Namun, menurut Eddy, uang itu tak pernah sampai ke tangan yang berhak. Dana milik Kopegmar itu, misalnya. Dari US$ 3,8 juta hasil penjualan 0,9 persen saham JITC milik Kopegmar, cuma Rp 13 miliar yang sampai. Sisanya? "Katanya untuk membayar pajak capital gain," kata Eddy. Ternyata, setelah dicek ke kantor pajak, tak ada satu pun bukti setoran atas nama Kopegmar. Atas berbagai temuan itu, LARI mengendus adanya korupsi. Eddy bahkan menduga ada duit yang masuk ke kantong Tanri dan Herman. Sebab, atas jasa mereka berdualah transaksi ini berjalan mulus. "Saya yakin," katanya, "pembayaran kepada Tanri merupakan kombinasi antara pembayaran tunai dan komisi dalam bentuk saham." Barangkali itu sebabnya, tersiar gosip kepemilikan Tanri di Grosbeak. Tanri, tentu saja, mati-matian membantah soal itu. Menurut dia, seluruh proses penjualan saham itu berjalan terbuka dan transparan. "Ada 21 prosedur yang harus dilewati dan saya tak pernah memutuskan sesuatu sendirian," katanya. Semua keputusan dibuat Tim Privatisasi yang dipimpin Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan/Penertiban Aparatur Negara (kala itu) Hartarto. Jadi, siapa yang benar? Entahlah. Yang jelas, menurut sumber di Kantor Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN, kasus ini sebetulnya sudah diperiksa Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. "Dan tak ditemukan indikasi korupsi," katanya. Namun, dia mengaku masih menyelidiki kemungkinan Tanri atau pejabat Indonesia lain punya saham di Grosbeak atau di Hutchison. Agaknya, nama Tanri memang masih akan berdering. M. Taufiqurohman, Edy Budiyarso, Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus