Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gadjah Tunggal Berganda di Cina

Sjamsul Nursalim, yang ngemplang utang puluhan triliun itu, membiakkan perusahaannya di Cina. Kok, pemerintah diam saja?

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKNYA Softlove. Tapi desain produk pembalut wanita di sebuah toko di Beijing itu begitu familiar. Benar saja: di sudut kemasan tertera huruf GT yang membentuk gambar kepala gajah dengan belalainya. Itulah simbol kelompok usaha Gadjah Tunggal, yang dimiliki Sjamsul Nursalim. Sjamsul buka bisnis di Beijing? Begitulah kira-kira. Seorang bankir Singapura memastikan, konglomerat asal Lampung itu sedang bersiap-siap membedol semua usahanya ke Cina. "Dia sudah kelojotan di Indonesia," katanya. Di Negeri Tirai Bambu itu, Sjamsul telah membangun pabrik ban, kertas tisu, dan pembalut wanita—produk yang semula juga dibuatnya di sini. Ekspansi Sjamsul ke Cina mestinya menggemaskan. Soalnya, pendiri Grup Gadjah Tunggal itu sedang terjerat kredit puluhan triliun rupiah. Kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga pemerintah yang mengurusi utang bankir, ia punya tunggakan Rp 28,4 triliun. Ini merupakan pinjaman Grup Gadjah Tunggal kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul, yang ditutup pemerintah. Sebelum dibredel, BDNI sudah melahap dana bantuan dari pemerintah sampai Rp 27,6 triliun. Celakanya, utang sebesar itu tak bisa dilunasi sesuai dengan jadwal. Menurut perjanjian, Sjamsul mestinya harus membayar cicilan pokok dan bunga Rp 16,2 triliun, November tahun lalu. Namun, menurut Kepala Divisi Penjualan Aset BPPN, Dasa Sutanto, hingga hari ini Sjamsul baru bisa mencicil Rp 350 miliar. Dengan memperhitungkan tunggakan bunga, posisi utang konglomerat papan atas itu kepada pemerintah saat ini diperkirakan sekitar Rp 35,5 triliun. Betul, selain membayar kontan, Sjamsul juga menyerahkan 11 perusahaan yang tergabung dalam PT Tunas Sepadan Investama sebagai jaminan. Aset yang dinilai Rp 27,4 triliun itu diserahkan kepada pemerintah untuk dijual. Salah satu aset andalan Tunas adalah perusahaan tambak udang PT Dipasena Citra Darmaja. Menurut Credit Suisse First Boston, konsultan keuangan yang disewa Sjamsul, nilai Dipasena mencapai Rp 20 triliun. Tapi sayang, hingga hari ini tak ada satu pun dari aset-aset itu yang bisa dijadikan duit alias laku dijual. Kelambanan pencairan aset Sjamsul agaknya tak terlepas dari kisruh perihal penilaian perusahaan-perusahaan itu. Setelah diaudit ulang, nilai aset Sjamsul jauh dari taksiran semula. Aset Dipasena, misalnya, diperkirakan cuma sepersepuluh dari penilaian Credit Suisse. "Mau diperas-peras bagaimanapun, nilainya tak lebih dari Rp 2 triliun," kata Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Kwik Kian Gie. Lalu, mengapa Sjamsul dibiarkan membangun imperium bisnis baru sebelum bisa membayar utang? Dasa mengaku, BPPN sudah lama mencium manuver Sjamsul ini, tapi ia tak bisa bertindak gegabah. Untuk melakukan penyitaan, katanya, BPPN membutuhkan pembuktian hukum yang tidak mudah. Bisa jadi, kata Dasa, perusahaan itu didaftarkan atas nama orang lain. "Salah-salah, kita yang kejeblos," katanya. Cina tentu saja ingin melindungi investasi yang ditanam di sana. Tapi, Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto tak ingin merisaukan jurus bedol pabrik ini. BPPN, katanya, sudah membangun sejumlah pagar pengaman sehingga mustahil Sjamsul bisa "meloloskan" diri. Pagar itu berupa perjanjian: Sjamsul harus melunasi seluruh kewajiban, bagaimanapun caranya. Jika penjualan aset-aset yang dijaminkan itu ternyata tak mampu menutupi seluruh utangnya, kata Cacuk, "Ia harus nombok lagi." Baguslah. Tapi, persoalannya, masalah yang ditimbulkan oleh bedol usaha ala Sjamsul bukan sekadar pelunasan utang belaka. Menurut Dasa, perjanjian pelunasan utang itu juga melarang Sjamsul membangun usaha yang punya peluang menyaingi Gadjah Tunggal, di mana pun. Jadi, dengan ekspansi ini, konglomerat papan atas ini sebenarnya sudah "cedera" janji. Apa pun alasannya, boyongan Sjamsul ke Cina harus dicermati secara khusus. Setidaknya, BPPN mesti mendapat jawaban pertanyaan sepele ini: dari mana sumber duit Sjamsul? Menurut bekas Menteri Keuangan Fuad Bawazier dalam laporannya kepada DPR, awal Februari lalu, Sjamsul memanfaatkan hampir 91 persen kredit BDNI untuk Grup Gadjah Tunggal. Bahkan, pada awal masa krisis, Mei sampai Oktober 1997, Gadjah Tunggal masih menerima pinjaman US$ 600 juta. Bukan mustahil, pabrik-pabrik di Cina itu juga dibangun dari duit rakyat yang masuk ke BDNI. Nugroho Dewanto, Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus