Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sabotase? Itulah gambaran kasar betapa serunya pertarungan memperebutkan posisi puncak bank-bank pemerintah itu. Bekali-kali nama kandidat datang dan pergi. Bukan karena terhalang kriteria, bukan pula terjegal uji kelayakan, tapi, kata seorang bankir senior, "Karena Bos Sini lebih suka si Itu, sedangkan Bos Sana lebih suka yang lain." Walhasil, sulit diperoleh daftar yang final.
Setelah berganti penghuni berkali-kali, sebuah daftar "semifinal" memunculkan nama-nama kandidat yang, sebenarnya, tak asing bagi dunia perbankan. Bekas Direktur Bank Dagang Negara (BDN) Eddy Neloe, misalnya, akan menggantikan Robby Djohan di Bank Mandiri. Lalu, bekas Direktur Utama Bank Bumi Daya (BBD) Abdul Hadi akan menggeser posisi Djoko Santoso Mulyono di BRI. Dan di BTN, Tito Sutalaksana akan digantikan oleh Kodradi, anggota eksekutif Bank Mandiri yang juga bekas Direktur Utama Bank Exim. Tapi, sekali lagi, itu semua daftar "semifinal". Hasil akhirnya harus kita tunggu sampai tikungan terakhir, pekan ini.
Dalam tikungan terakhir itu, Presiden Abdurrahman Wahid kabarnya masih mau "menawar". Gus Dur ingin jagonya, Prijadi Praptosuhardjo, ditempatkan menjadi orang nomor satu di BRI. Sayangnya, Direktur BRI dan anggota Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN) itu tak lulus uji kelayakan dan kepantasan, yang sudah digelar April lalu.
Tapi Gus Dur konon tak mau tahu. Ketika Menteri Bambang melaporkan hasil tes itu, Presiden minta agar ujian Prijadi diulang terus sampai lulus. "Bambang jadi bingung," kata sumber TEMPO. Menurut peraturan, kewenangan melakukan uji kepantasan pejabat bank ada di tangan Bank Indonesia (BI). Dan berdasarkan undang-undang, BI merupakan lembaga independen yang tak bisa didikte pemerintah.
Menghadapi permintaan yang sulit itu, tak ada jalan lagi bagi Bambang selain berkonsultasi dengan Gubernur BI Syahril Sabirin. Akhirnya, her bagi Prijadi digelar pekan lalu. "Mau apa lagi jika Presiden yang minta?" kata Menteri Bambang seperti ditirukan sumber TEMPO. Prijadi, lelaki kelahiran Klaten, Jawa Tengah, kenal baik dengan Gus Dur ketika menjadi Kepala Cabang BRI Jember, pada 1980-an. "Mereka kawan lama," kata sumber TEMPO.
Bagaimana hasil tes ulang itu, belum lagi jelas. Yang pasti, rekomendasi Dewan Komisaris BRI tampaknya tak bisa goyah. Rekomendasi itu mengatakan, dari seluruh jajaran direksi BRI yang ada saat ini (satu direktur utama dan enam direksi, termasuk Prijadi), tak satu pun yang lulus uji kelayakan dan kepantasan. Kalau melihat gelagat ini, agaknya Abdul Hadi tetap calon "jadi" untuk BRI.
Persoalannya: apakah kualitas para calon "jadi" yang sudah "lolos" fit and proper test itu memang bisa diandalkan? Sudah menjadi rahasia umum, penyakit laten bank pelat merah adalah pemberian kredit yang serampangan. Di masa lalu, bank-bank negara malah dianggap sebagai kasir mereka yang dekat dengan kekuasaan. Akibatnya, kredit cuma mengalir ke tempat itu-itu saja. Aturan kehati-hatian bank yang melarang pemberian kredit secara berlebihan ke satu tempat tertentu diterjang tanpa malu-malu.
Nah, sayangnya, para bankir kawakan yang mengisi daftar jadi tersebut, harus diakui, tak bersih dari praktek seperti itu. "Reputasi mereka tak jelas," kata Goei Siauw Hong, Kepala Riset Nomura Securities. Siauw Hong mungkin tak enak hati untuk berbicara terus terang. Tapi maksudnya jelas: mereka memang bukan bankir yang harum namanya.
Eddy Neloe, misalnya. Bankir gaek ini selalu dikaitkan dengan kredit BDN kepada Kelompok Delapan dalam pembangunan Hotel Regent. Kredit US$ 136 juta yang kemudian macet itu memang sudah diserahkan untuk diurusi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tapi Neloe dinilai tak bisa lepas tangan begitu saja.
Selain untuk Regent, Neloe juga dinilai punya peran penting dalam mengegolkan kredit BDN kepada megaproyek lainnya, pusat petrokimia Chandra Asri. Kredit senilai Rp 2,9 triliun itu, bisa ditebak, kini juga macet dan lagi-lagi terpaksa dikandangkan ke BPPN.
Bagaimana dengan Kodradi? Kawan seangkatannya di Bank Exim, yakni Djoko Santoso, menilai Kodradi sebagai pekerja keras yang jujur. Sayangnya, saat ia menduduki kursi nomor satu, Bank Exim kena bom permainan valuta asing. Gara-gara patgulipat mata uang itu, pemerintah harus menyuntik Bank Exim modal baru Rp 20 triliun.
Hedi Salmun, Direktur Bank Exim yang mengurusi transaksi valas, sempat diseret ke ruang pemeriksaan Markas Besar Kepolisian RI. Tapi Kodradi tak pernah tersentuh jari hukum satu inci pun. "Itu kan pekerjaan Shalahudin," kata Djoko Santoso seperti membela Kodradi. Yang dimaksud Djoko adalah Shalahudin Nyak Koi, Direktur Utama Bank Exim sebelum digantikan Kodradi.
Yang jejaknya dipandang paling kelabu adalah Abdul Hadi. Bankir stok lawas ini dianggap paling bertanggung jawab atas kredit di sejumlah perusahaan milik Keluarga Cendana. Di delapan perusahaan milik Tommy Soeharto saja, kredit macetnya mencapai Rp 4,4 triliun. Tak aneh jika di kalangan perbankan Abdul Hadi sering dicibir sebagai kasir Cendana. "Hebat sekali dia itu," kata Djoko Santoso, "Dari kroninya Soeharto ke Habibie, eh, sama Gus Dur dipakai lagi."
Dengan catatan yang begitu belepotan, tak salah jika dugaan praktek kolusi dan koncoisme dalam pemilihan kursi pertama bank BUMN begitu santer. Dari ketiga nama itu, tak ada satu pun yang "jauh" dari kalangan dalam istana. Satu orang lagi malah punya nilai tambah lebih yahud: juga punya lobi kuat dengan pejabat BI. Walhasil, "Kriteria pemilihan," kata Siauw Hong, "lebih banyak pada kalkulasi politik untuk sapi perah ketimbang pada profesionalisme." Kali ini, Siauw Hong berani berbicara lebih terus terang.
Toh, Deputi Senior Gubernur BI Anwar Nasution membantah adanya peluang untuk main patgulipat semacam itu. "Tidak bisa. Bank sentral kan sudah independen," katanya. Anwar memberikan jaminan, siapa saja yang tak lulus uji kelayakan dan kepantasan mustahil duduk di kursi direktur utama bank pemerintah.
Kendati demikian, ia mengakui, mencari bankir yang benar-benar bersih juga tak mungkin. Kalau mau dicari yang benar-benar bersih, katanya, tak ada orang Indonesia yang bisa menjadi bankir lagi. "Tak ada yang pantas," katanya sambil tertawa.
Nugroho Dewanto, Dwi Arjanto, Leanika Tanjung, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo