Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tiada Guna, Ganti Saja

Para pejabat tinggi pemerintah menongkrongi jabatan empuk komisaris perusahaan negara. Layakkah dipertahankan?

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sapu bersih. Barangkali begitulah gambaran penggusuran para pejabat tinggi dari kursi empuk di perusahaan negara. Tak lama lagi, pejabat yang selama ini menikmati gaji sampingan sebagai "pengurus" badan usaha milik negara (BUMN) itu akan disapu habis.

Mengapa? "Mereka tak berguna," kata Zulfan Lindan, anggota Fraksi PDI Perjuangan, ketika menyampaikan kajian terhadap organisasi perusahaan negara, Rabu lalu. Zulfan malah punya usul agar posisi komisaris BUMN dihapus.

Penggusuran masal ini tak bisa dihindari lantaran rekrutmen komisaris BUMN selama ini mengabaikan profesionalisme. Mereka dipilih hanya karena menjadi pejabat pemerintah atau pensiunan tentara. Akibatnya, BUMN tak efisien dan malah terjebak utang macet.

Untuk merespons kajian itu, Kantor Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN tengah menyiapkan sistem rekrutmen komisaris perusahaan pelat merah. Kelak, calon pengurus BUMN harus melalui uji kelayakan (fit and proper test). "Uji kelayakan ini sudah bisa dimulai Agustus nanti," kata Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Aset Strategis, Benny Pasaribu.

Bisa ditebak, sistem baru ini akan membuat banyak pejabat terjungkal dari posisi empuknya di BUMN. Dan sebaliknya, kita sudah bisa mulai berharap, para profesional akan duduk menggantikan mereka.

Kepala Badan Kepegawaian Negara, Prijono Tjiptoherijanto, mengakui bahwa penunjukan pejabat sebagai pengurus BUMN selama ini dilakukan karena pemerintah belum sanggup menggaji mereka dengan jumlah pantas. "Daripada korupsi, mereka diberi jabatan rangkap," katanya.

Pada awal Orde Baru, jabatan komisaris ini selalu menjadi jatah tentara. "Baru pada zaman Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, banyak tentara diganti," kata Wahjudi Prakarsa, seorang pengamat manajemen. Dia memberi contoh dirinya diangkat menjadi komisaris Krakatau Steel menggantikan mertua Aburizal Bakrie yang berasal dari militer.

Mudah ditebak, dengan situasi tanpa kriteria seperti itu, jabatan komisaris perusahaan negara selalu menjadi lahan rebutan dan cakar-cakaran. Ketika urusan BUMN dikuasai Departemen Keuangan, misalnya, semua jajaran komisaris perusahaan negara dipenuhi pejabat departemen tersebut, mulai dari menteri sampai para direkturnya.

Tapi, begitu Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN naik kelas menjadi Kantor Menteri Negara, pos-pos komisaris dikuasai kantor baru ini. Contoh paling anyar adalah Mawardi Simatupang. Bekas Dirjen Departemen Transmigrasi itu kini diangkat menjadi komisaris Indosat karena posisinya sebagai Deputi Menteri Negara BUMN.

Bagaimanapun, posisi komisaris perusahaan negara memang bisa membuat ngiler. Menurut Wahjudi, gaji mereka biasanya 30-40 persen gaji direksi atau Rp 6 juta sampai Rp 10 juta. Di luar gaji, mereka menjala pula pelbagai fasilitas wah seperti pulsa telepon genggam gratis, kartu kredit tanpa batas, sampai mobil. Mereka juga bisa menggaet "uang hadir", baik hadir dalam rapat rutin maupun rapat umum pemegang saham. Seorang pejabat di kantor Menteri Negara BUMN mengaku terkejut ketika disodori amplop berisi cek Rp 100 juta saat menghadiri rapat umum pemegang saham sebuah BUMN telekomunikasi.

Ini jelas menjadi biang sejumlah masalah. Mereka banyak yang tak pernah hadir, sehingga perannya nol besar. Juga banyak yang posisinya tidak pas lantaran tak sesuai dengan keahlian atau pengalamannya. Selain itu, bukan tak mungkin muncul konflik kepentingan. Ini bisa terjadi karena mereka yang berasal dari departemen teknis justru menjadi komisaris perusahaan di bawah binaannya. "Ada kerancuan," kata Benny. Sebagai dirjen, mereka mestinya berfungsi sebagai regulator, eh, kini malah duduk sebagai pelaku.

Karena itu, pemerintah kemudian mencoba mengubah pola yang puluhan tahun tak pernah diperbarui itu. Selain ada uji kelayakan, pemerintah juga mencoba menaikkan gaji pejabat. "Jika gajinya memadai, semua jabatan rangkap akan dicopot," kata Dirjen Anggaran Departemen Keuangan, Anshari Ritonga, yang juga komisaris Indosat.

Menteri Negara BUMN Rozy Munir juga sepakat. "Pola-pola lama itu tak akan dipertahankan," katanya. Persoalannya, apakah semua itu bisa dilakukan dengan cara yang sehat dan terbuka di tengah partai-partai berebut pengaruh di BUMN. Tampaknya sulit.

M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung, Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus