HUJAN bom di negeri orang, hujan emas di negeri sendiri -- lebih enak di negeri sendiri. Ini pepatah modern, yang telah dengan tepat menggambarkan kontras antara perang yang terjadi di Teluk dan "rezeki" perang yang kini dinikmati oleh banyak perusahaan pers di Indonesia. Apalagi setelah nyata-nyata terlihat bahwa masyarakat begitu haus akan berita perang. Luar biasa. Bahkan pada hari-hari pertama Perang Teluk, mereka memonitornya dari jam ke jam, malah dari menit ke menit. Mereka memantau lewat media elektronik seperti siaran CNN (bagi yang memiliki parabola), acara Dunia Dalam Berita di TVRI, siaran radio, tak terkecuali melalui media cetak. Ternyata, mereka itu penonton perang yang setia. "Seperti mengikuti jalannya kompetisi perserikatan," kata seorang pemirsa di Jakarta. Ada pula yang berkomentar bahwa perang antara Irak dan Sekutu -- yang dipimpin Amerika Serikat -- tak ubahnya pertandingan tinju kelas akbar. Bedanya, "Pertandingan ini berlangsung dalam ronde yang panjang," begitu pendapat seorang sopir taksi. Ia praktis hafal jumlah rudal baik yang ditembakkan Irak maupun Sekutu. "Seru, Pak, masa Amerika cuma nembak kapal bohongan yang dibuat Irak," ujarnya lagi, mengutip berita dari sebuah koran. Suka atau tidak suka, Perang Teluk telah menciptakan peluang untuk mencetak nama besar (bagi wartawan yang ditugasi ke medan perang) atau mencetak oplah besar (bagi pengusaha pers). Dalam perlombaan menyuplai informasi perang, TVRI, yang dahulu tidak begitu menghiraukan aktualitas, belakangan ini mulai gesit. Media elektronik milik pemerintah itu tak segan-segan membayar Rp 20 juta kepada Vis News (Stasiun TV di London) agar dapat menayangkan Perang Teluk pada pukul 06.30 -- tatkala banyak koran belum sampai di tangan pembaca. Pengusaha surat kabar -- dengan biaya yang barangkali lebih kecil -- justru bisa menangguk laba lebih besar. Di Jakarta, misalnya, Suara Pembaruan yang terbit sore laku keras. Di hari-hari pertama perang, harian yang harga ecerannya semula Rp 400 tiba-tiba diperebutkan dengan harga Rp 500-Rp 1.000. Oplah Pembaruan meroket ke 600 ribu eksemplar per hari -- hampir tiga kali dari oplahnya yang biasa. Harian Terbit, yang juga koran sore di Jakarta, menaikkan harga jualnya menjadi Rp 300 per eksemplar (semula Rp 250). "Kami memang kecipratan rezeki dari Teluk," kata H.R.S. Hadikamadjaya, pemimpin redaksi Terbit, yang oplahnya naik dari 180 ribu menjadi 380 ribu eksemplar. Namun, hujan emas itu juga diperebutkan oleh koran-koran pagi. Dua minggu terakhir ini, koran pagi terbitan Jakarta rata-rata memuat 90% berita perang di halaman pertama. Media Indonesia (MI) mengaku adanya lonjakan omset -- dari 270 ribu ke 340 ribu eksemplar. Prestasi ini lumayan, apalagi "Kami tidak mengeluarkan biaya tambahan untuk meliput perang," kata Taufik Darusman, Redaktur Eksekutif Bidang Luar Negeri MI. Memang, tidak semua media kejatuhan rezeki nomplok seperti Terbit, atau Suara Pembaruan, yang mengirimkan tiga wartawannya untuk meliput ke Teluk. Sekalipun begitu, rezeki itu juga menciprat sampai jauh, ke daerah-daerah. Jawa Pos Surabaya, yang mengirim dua wartawannya ke "front perang", mencatat kenaikan oplah dari 200 ribu menjadi 550 ribu eksemplar. Begitu pula koran sore Surabaya Post, oplahnya lipat dua, dari 82.000 menjadi 170.000 eksemplar. Dua koran terbitan Bandung, Pikiran Rakyat dan Gala, mencatat kenaikan 50%. Di Medan, tiras harian Waspada dan Garuda melonjak lebih dari 100%. Sebenarnya, hampir sebagian besar dari berita yang disajikan dengan leluasa bisa dikutip dari berbagai sumber seperti CNN, radio VOA, BBC, dan Reuters. Wajar bila beritanya bisa sangat berlainan. Pos Kota, misalnya. Ketika koran lainnya menyebutkan bahwa baru tiga pesawat Sekutu yang tertembak, koran ini -- berdasarkan pantauan wartawannya di Yordania -- sudah berani memasang headline "76 Pesawat Tempur Multinasional Rontok". Jelaslah, sumber yang berbeda membuahkan berita berbeda. Polarisasi pro Irak dan pro Sekutu seperti ini dalam waktu singkat sudah bisa dilacak oleh pembaca. Tak heran bila ada pembaca yang kontan berkomentar, "Nah, ini dia koran Irak," sementara yang lain nyeletuk, "Gua mau beli koran Amerika." Di tengah sikap memihak seperti itu, masih ada yang menampilkan pemberitaan berimbang seperti yang dilakukan Ch. Tindo, pemimpin redaksi Garuda, Medan. Sebaliknya, pemimpin redaksi Pikiran Rakyat, Atang Ruswita, cenderung menampilkan berita-berita yang berpihak kepada Irak. Namun, "Masih saja ada pembaca yang mencap bahwa kami berpihak pada multinasional," katanya. Kecenderungan untuk memihak ini seharusnya dihindarkan, tetapi sulit melaksanakannya 100%. Dalam hal ini kecenderungan yang dilakukan Atang, serta tokoh-tokoh lain, adalah hal yang lumrah. Manusiawi. Dan sampai batas tertentu, bisa "dimaklumi". Namun, jika sikap memihak itu sudah ekstrem hingga mengarah kepada penjungkirbalikan berita, alias distorsi informasi, pembaca sudah dirugikan. Dalam hal ini, integritas wartawan bersangkutan patut dipertanyakan. Sejauh yang menyangkut Perang Teluk, belakangan terbukti bahwa sumber-sumber informasi dari kedua pihak yang bertikai (Irak dan Sekutu) tidak memberitakan fakta yang sebenarnya. Alasan mereka: demi strategi dan kepentingan masing-masing di medan perang. Nah, kalau sudah dari sumbernya ada pemalsuan berita, lalu siapa yang bisa dipercaya? Jawabnya: akal sehat Anda. Tentang berita perang yang bohong itu, pemimpin redaksi Terbit Hadikamadjaya sambil lalu berkomentar, "Masa bodoh. Wong yang kami dapat cuma segitu." Budi Kusumah, dan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini