MEDIA cetak bisa meraup banyak keuntungan -- gara-gara Perang Teluk -- tapi media elektronik sebaliknya. Mereka bahkan harus menambah biaya, sedang keuntungannya belum jelas. Dan biaya itu semata-mata untuk meningkatkan mutu servis bagi penonton ataupun pendengar tercinta. TVRI, misalnya, melalui kerja sama dengan Vis News, terpaksa mengeluarkan biaya tambahan 10.200 dolar sebulan. Angka ini bisa bertambah jika ternyata perang berlangsung lebih dari sebulan. Itu diungkapkan oleh J.B. Wahjudi, Kepala Pemberitaan TVRI Stasiun Jakarta. "Kami lakukan ini agar pemirsa bisa memperoleh berita yang hangat," katanya. Dengan kerja sama tersebut, kini TVRI bisa menyiarkan perang Teluk hanya dua jam setelah peristiwa terjadi. Hal ini mungkin, karena siarannya ditayangkan pagi, pukul 06.30 WIB. Sebelumnya, berita dunia itu baru dapat disiarkan 18 jam setelah kejadian. Kesibukan ekstra untuk meliput perang juga tampak di beberapa radio swasta. Contohnya: Radio Bahana dan Sonora. Tim penyiar Bahana kini menyiapkan dua penerjemah untuk bisa mengikuti perkembangan di Teluk. Selain itu, radio ini pun sibuk mewawancarai beberapa tokoh politik. Mulai dari Mochtar Kusuma-Atmadja dan Hasnan Habib sampai para diplomat dari Kedutaan Amerika dan Arab Saudi. Untuk apa? Alasannya mirip seperti yang dikemukakan Wahjudi. "Agar pendengar kami bisa memperoleh informasi yang paling menarik," tutur Zainal, manajer Bahana. Namun, seperti dikemukakan di atas, media elektronik lebih banyak kejatuhan "getahnya". Mereka harus menambah biaya operasi, sementara peluang untuk memetik keuntungan langsung seperti yang dilakukan media cetak, ternyata, minim sekali. Namun, jika masih ingin mempertahankan -- kalau bisa memperbanyak -- jumlah pemirsa dan pendengar, acara ekstra mau tak mau harus dilakukan. Kalau tidak, mereka akan lari ke media lain yang lebih canggih. Tidak percaya? Lihat saja penjualan antena parabola, dan radio -- yang 12 dan 15 band. Laku keras. Ini diakui oleh beberapa pedagang parabola di Jakarta. "Setiap hari tidak kurang dari 10 konsumen yang minta dipasangkan antena," kata Suwarno, seorang teknisi dari PT Putri Salju. Sayangnya, tidak semua permintaan bisa terpenuhi. Soalnya, para pembeli menginginkan pemasangan segera. "Mereka minta agar antenanya bisa terpasang dalam 2-3 hari. Dan ini tidak mungkin," kata Soewarno. Sebab, untuk memasang parabola berukuran 18 kaki ke atas -- yang bisa menangkap lebih banyak siaran TV di dunia -- dibutuhkan waktu sedikitnya tujuh hari. Karena itu pula, agar bisa segera, banyak konsumen yang membeli antena ukuran 9-12 kaki . "Ya, lumayanlah Selain harganya lebih murah dan pemasangannya cepat, jenis ini juga bisa menangkap siaran dari negara-negara Asean dan Australia, yang juga merelai CNN," kata Kusnadi, manajer pemasaran PT Pelangi Jaya Utama. Murah? Tentu saja tidak semurah yang dibayangkan orang kebanyakan. Parabola yang berukuran 9-12 kaki, harganya berkisar antara Rp 975 ribu dan Rp 1,75 juta. Sedangkan untuk yang bergaris tengah 20 kaki, sekitar Rp 12 juta. Yang tak kalah serunya adalah pasaran radio 12 dan 15 band. Padahal, di pusat-pusat elektronik Jakarta, radio jenis ini kini sulit dicari -- terutama yang bermerek Sony. "Kami sudah tidak memiliki stok lagi, sejak 16 Januari lalu," kata Christian, pedagang alat elektronik di Senen. Dan kalau hukum pasar sudah berlaku, harga radio jenis ini pun, tanpa ada yang mengomando, langsung naik sendiri. Jenis 12 band, misalnya, naik dari Rp 155 ribu menjadi Rp 180 ribu. Kendati harga naik, radio jenis ini tetap saja dicari orang. Padahal, sebelumnya, jangankan radio multiband, yang jangkauannya pendek pun susah dijual. Dari sini jelaslah bahwa Perang Teluk mencipratkan emas juga bagi pedagang alat-alat elektronik. Dan menurut Christian emas itu "murni", tak lain karena, "Naiknya penjualan radio murni hanya karena Perang Teluk." BK, laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini