STATISTIK telah membangungkan. Di bidang perikanan, ia
cenderung berlebihan sekali. Produksi ikan, misalnya, pada tahun
1976 dikatakan mencapai 1,4 juta ton, sedang ekspornya dicatat
cuma 53.000 ton. Angka ekspor itu, menurut perkiraan Badan
Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), semustinya jauh lebih
tinggi. esudah dikurangi jumlah ekspor itu, apakah sisanya
dimakan di negeri ini? Tak mungkin dimakan sebanyak itu. Tapi ke
mana larinya? Hal ini telah menjadi bahan diskusi di Tg. Pinang,
ibukota Riau (17-19 Nopember).
Hampir 150 ahli menyertai diskusi itu yang disponsori oleh BPEN.
Dari situ koresponden ida K. Liamsi melaporkan:
Fokus mereka terutama ke Riau, justru karena daerah ini
diketahui sebagai produsen ikan terbesar di Indonesia. Riau
tahun lalu mengekspor ikan ke Singapura lebih 5000 ton dan ke
Malaysia lebih kurang 1500 ton. Untuk kantar-pulau, Riau
memasarkan 75.000 ton. Penduduknya yang 1,8 juta ditaksir
menghabiskan 34.000 ton. Semua itu bila dikurangi dari
produksinya tahun 1976 yang lebih 143.000 ton, demikian dihitung
dalam seminar itu, semustinya ada sisa sekitar 27.500 ton, tapi
entah ke mana larinya.
Jumlah sisa itu dicurigai sebagai telah diekspor juga tapi dalam
bentuk penyelundupan. Menurut penelitian Pemda Riau, sedikitnya
100 tauke melakukan sistim ijon untuk mengumpulkan hasil kaum
nelayan di daerah itu yang kemudian menjual ke Singapura dan
Malaysia. Harga belinya dari nelayan amat rendah maksimal Rp 100
per kg, sebanding dengan 3/4 kg beras. Tauke mengeluarkan biaya
ekspor tambahan Rp 220 per kg, termasuk untuk balok es supaya
ikannya tetap segar.
Harga Tauke
Produksi es di Riau yang bi6a disalurkan untuk usaha perikanan
cuma 45.000 ton, hingga para tauke terpaksa mengimpor balok es
sebanyak 50.000 ton tiap tahun, guna mencukupi kebutuhan. Karena
biaya ini tinggi, nelayan sukar mendapat harga baik. Jika tanpa
balok es, biaya mengasinkan ikan pun tinggi karena garam
mencapai Rp 50 per kg, sedang harganya yang wajar adalah Rp 35.
Di bidang ekspor, sedikit saja perusahaan yang terdaftar, sedang
di antaranya cuma menyewakan surat-surat izin, termasuk angka
pengenal ekspor. Sewa demikian menambah beban tauke, dan
mengurangi harga untuk nelayan.
Di Riau, armada ikan berkekuatan 7755, di antaranya sekitar 62%
perahu layar. Kemampuannya sangat terbatas pada perairan yang
dekat sekitar Riau, sedang Selat Malaka sudah hampir terkuras.
Jika produksi hendak ditingkatkan, demikian pula pendapat di
seminaritu, kemampuan armada itu harus ditingkatkan, berarti
modernisasi supaya tercapai olehnya, misalnya, perairan Natuna
yang lebih jauh. Tapi modal kaum tauke, tentu saja, yang mungkin
melakukan investasi, jika mereka mau. Kaum tauke itu mempunyai
jaringan koneksi Singapura-Malaysia yang selama ini berperan
mendiktekan harga.
Potret Yasni
Tahun 1972, sudah didirikan PT Karya Mina milik pemerintah
dengan modal Rp 2 milyar. Dengan perusahaan itu semula
diharapkan supaya mayoritas nelayan tertolong, produksi pun
ditingkatkan. Tapi Karya Mina telah tidak berusaha seperti yang
diharapkan. Tim ADB (Bank Pembangunan Asia) belum lama ini
menjumpai Karya Mina mengalami derlsit Rp 1,8 milyar mendekati
bangkrut. Prinsip bagi-hasil yang dikembangkannya, kini hapus.
Sistim penyewaan kapalnya pun tidak beres malah kapalnya dipakai
orang untuk menyelundup. Kini tinggal satu dari keempat kapalnya
beroperasi menyediakan balok es saja, makin berkurang kegiatan
ekspornya. Di satu pihak modernisasi diperlukan, tapi di lain
pihak ini dimusuhi. Trawler (kapal pukat harimau), misalnya.
Persoalan ialah trawler tidak boleh masuk ke perairan 6 mil dari
pantai, guna melindungi nelayan tradisionil. Sudah banyak
terjadi insiden karena pelanggarannya. Namun larangan itu,
menurut kelompok pengusaha bermodal, "sama dengan mematikan
kami. Lebih baik trawler dihapuskan saja." Memang trawler hanya
berguna untuk kedalaman air yarlg maksimal 9 meter, yang justru
berada dalam batas 6 mil yang dilarang itu. Di situlah tempat
udang bersemayam, yang menjadi mangsa trawler.
Tindak-lanjut dari seminar Tg. Pinang ini mungkin akan terasa
lama lagi. Koordinator Dr. Zainul Yasni dari BP EN mengatakan
usaha sekarang ini sekedar mencoba "memotret masalah perikanan
Indonesia" dari Riau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini