Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Didikte Tauke Singapura

Diskusi tentang masalah perikanan indonesia di tanjung pinang, riau, disponsori oleh badan pengembangan ekspor nasional. dalam diskusi dibahas masalah pro duksi yang berlebihan dan masalah penyelundupan.

17 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STATISTIK telah membangungkan. Di bidang perikanan, ia cenderung berlebihan sekali. Produksi ikan, misalnya, pada tahun 1976 dikatakan mencapai 1,4 juta ton, sedang ekspornya dicatat cuma 53.000 ton. Angka ekspor itu, menurut perkiraan Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), semustinya jauh lebih tinggi. esudah dikurangi jumlah ekspor itu, apakah sisanya dimakan di negeri ini? Tak mungkin dimakan sebanyak itu. Tapi ke mana larinya? Hal ini telah menjadi bahan diskusi di Tg. Pinang, ibukota Riau (17-19 Nopember). Hampir 150 ahli menyertai diskusi itu yang disponsori oleh BPEN. Dari situ koresponden ida K. Liamsi melaporkan: Fokus mereka terutama ke Riau, justru karena daerah ini diketahui sebagai produsen ikan terbesar di Indonesia. Riau tahun lalu mengekspor ikan ke Singapura lebih 5000 ton dan ke Malaysia lebih kurang 1500 ton. Untuk kantar-pulau, Riau memasarkan 75.000 ton. Penduduknya yang 1,8 juta ditaksir menghabiskan 34.000 ton. Semua itu bila dikurangi dari produksinya tahun 1976 yang lebih 143.000 ton, demikian dihitung dalam seminar itu, semustinya ada sisa sekitar 27.500 ton, tapi entah ke mana larinya. Jumlah sisa itu dicurigai sebagai telah diekspor juga tapi dalam bentuk penyelundupan. Menurut penelitian Pemda Riau, sedikitnya 100 tauke melakukan sistim ijon untuk mengumpulkan hasil kaum nelayan di daerah itu yang kemudian menjual ke Singapura dan Malaysia. Harga belinya dari nelayan amat rendah maksimal Rp 100 per kg, sebanding dengan 3/4 kg beras. Tauke mengeluarkan biaya ekspor tambahan Rp 220 per kg, termasuk untuk balok es supaya ikannya tetap segar. Harga Tauke Produksi es di Riau yang bi6a disalurkan untuk usaha perikanan cuma 45.000 ton, hingga para tauke terpaksa mengimpor balok es sebanyak 50.000 ton tiap tahun, guna mencukupi kebutuhan. Karena biaya ini tinggi, nelayan sukar mendapat harga baik. Jika tanpa balok es, biaya mengasinkan ikan pun tinggi karena garam mencapai Rp 50 per kg, sedang harganya yang wajar adalah Rp 35. Di bidang ekspor, sedikit saja perusahaan yang terdaftar, sedang di antaranya cuma menyewakan surat-surat izin, termasuk angka pengenal ekspor. Sewa demikian menambah beban tauke, dan mengurangi harga untuk nelayan. Di Riau, armada ikan berkekuatan 7755, di antaranya sekitar 62% perahu layar. Kemampuannya sangat terbatas pada perairan yang dekat sekitar Riau, sedang Selat Malaka sudah hampir terkuras. Jika produksi hendak ditingkatkan, demikian pula pendapat di seminaritu, kemampuan armada itu harus ditingkatkan, berarti modernisasi supaya tercapai olehnya, misalnya, perairan Natuna yang lebih jauh. Tapi modal kaum tauke, tentu saja, yang mungkin melakukan investasi, jika mereka mau. Kaum tauke itu mempunyai jaringan koneksi Singapura-Malaysia yang selama ini berperan mendiktekan harga. Potret Yasni Tahun 1972, sudah didirikan PT Karya Mina milik pemerintah dengan modal Rp 2 milyar. Dengan perusahaan itu semula diharapkan supaya mayoritas nelayan tertolong, produksi pun ditingkatkan. Tapi Karya Mina telah tidak berusaha seperti yang diharapkan. Tim ADB (Bank Pembangunan Asia) belum lama ini menjumpai Karya Mina mengalami derlsit Rp 1,8 milyar mendekati bangkrut. Prinsip bagi-hasil yang dikembangkannya, kini hapus. Sistim penyewaan kapalnya pun tidak beres malah kapalnya dipakai orang untuk menyelundup. Kini tinggal satu dari keempat kapalnya beroperasi menyediakan balok es saja, makin berkurang kegiatan ekspornya. Di satu pihak modernisasi diperlukan, tapi di lain pihak ini dimusuhi. Trawler (kapal pukat harimau), misalnya. Persoalan ialah trawler tidak boleh masuk ke perairan 6 mil dari pantai, guna melindungi nelayan tradisionil. Sudah banyak terjadi insiden karena pelanggarannya. Namun larangan itu, menurut kelompok pengusaha bermodal, "sama dengan mematikan kami. Lebih baik trawler dihapuskan saja." Memang trawler hanya berguna untuk kedalaman air yarlg maksimal 9 meter, yang justru berada dalam batas 6 mil yang dilarang itu. Di situlah tempat udang bersemayam, yang menjadi mangsa trawler. Tindak-lanjut dari seminar Tg. Pinang ini mungkin akan terasa lama lagi. Koordinator Dr. Zainul Yasni dari BP EN mengatakan usaha sekarang ini sekedar mencoba "memotret masalah perikanan Indonesia" dari Riau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus