Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Digebuk Pasar Tak Sehat

Indofood merumahkan ribuan karyawannya. Tuding-menuding dan kompetisi yang makin ketat.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKLUMAT menjelang tutup tahun itu lumayan mengagetkan. Perusahaan mi cepat saji PT Indofood Sukses Makmur merumahkan ribuan karyawannya. Hingga akhir Oktober, sudah sekitar 3.000 karyawan diberhentikan. Pemutusan hubungan kerja masih akan berlanjut tahun depan, sampai sekitar 4.000 orang.

Wakil Direktur Utama Indofood, Fransiskus Welirang, mendalihkan efisiensi untuk PHK itu. Dengan PHK tersebut, perusahaan mi instan yang pernah menguasai sampai 99 persen pangsa pasar itu bisa berhemat Rp 80 miliar-100 miliar per tahun.

Ada yang mengatakan, persaingan di lahan makanan kedua itu sudah sangat ketat. Banyaknya pendatang baru sejak pasar mi instan dibuka lebar membuat Indofood, yang dulunya mendikte pasar, kini harus punya strategi jitu kalau tak ingin pasarnya tergerus terus.

Presiden Direktur Sentrafood, Budianto, tak heran dengan apa yang terjadi di Indofood sekarang ini. Dua tahun lalu, dalam pertemuan dengan Menteri Perdagangan waktu itu, Rini Soewandi, dia sudah mengatakan persaingan di bisnis ini sudah memasuki tahap ”anjing berkelahi”.

Sebelumnya, persaingan masih sebatas beradu iklan. Kini sudah ke tingkat banting-bantingan harga. Terancam oleh masuknya pesaing baru, Indofood, katanya, memilih tidak menaikkan harga, bahkan menurunkan. ”Kalau mereka si raja pasar tidak menaikkan harga, kami yang kecil ini pasti tak bisa menaikkan harga,” kata Budianto.

Taktik Indofood tidak menaikkan harga, katanya, mungkin efektif di zaman dulu. Mereka sudah terintegrasi dari hulu ke hilir, dari bisnis tepung terigu, melalui Bogasari, sampai produk mi, sehingga bisa melakukan subsidi silang dan menjual murah.

Strategi harga murah ini, bagi raksasa Indofood, memang bisa membuat mereka bertahan di tahap awal. Yang kecil-kecil sejak awal sudah merumahkan karyawannya. Tapi, ekonomi yang tak kunjung membaik dan naiknya harga bahan bakar minyak membuat Indofood bobol juga dan tak bisa lagi menanggung beban operasi yang besar. ”Tak punya pilihan lain, mereka mengurangi tenaga kerja,” katanya.

Sejak dua tahun lalu Budianto sudah khawatir akan persaingan tak sehat ini. Waktu itu ia meminta pemerintah menetapkan batas harga minimum. Semua perusahaan mi instan setuju, kecuali Indofood. Pemerintah tak mau pusing soal harga, karena sudah menjadi wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Saat ini, kata Budianto, yang perusahaannya memproduksi Salam Mi dan Cinta Mi, mereka menjual tanpa untung. Harga di pasar sekarang ini masih 40 persen di bawah harga produksi. Sebelum 1998, harga mi instan Rp 250 per bungkus. Depresiasi rupiah terhadap dolar sampai empat kali membuat harga mi instan seharusnya Rp 1.000 per bungkus.

Di pasar, mereka hanya bisa menjual Rp 500 per bungkus. Mereka tak bisa menaikkan harga karena Indofood—yang menguasai pasar—tak menaikkan harga. ”Tapi, sampai kapan mereka bisa bertahan, karena biaya operasionalnya juga membesar?”

Produsen mi instan lainnya, Olagafood, juga merasakan pasar yang tak sehat. Presiden Direktur Olagafood, Djoekino, mengatakan tak menyalahkan Indofood. ”KPPU harusnya bisa memainkan peranannya sebagai pengawas persaingan usaha,” katanya.

Menurut dia, KPPU belum optimal mengatur persaingan di bidang ini. Dia heran karena di bisnis lain, seperti penerbangan, yang sebelumnya dimonopoli Garuda, KPPU bisa unjuk gigi. ”Kami sudah bosan mengadukan soal ini ke mereka,” katanya.

Budianto mengatakan, KPPU harus memantau apakah Indofood melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha atau tidak. Tapi berkali-kali KPPU mengatakan tidak bisa membuktikan.

Pasar Indofood sekarang ini sekitar 70-80 persen, sisanya diperebutkan oleh 15-19 pemain lainnya. Mi Sedap, yang belakangan jorjoran mengiklankan produknya, kabarnya sudah bisa merebut 15 persen. Pabrik mi Budianto hanya kebagian dua persen. Petinggi perusahaan yang didirikan pada 1997 itu menerangkan, ”Saya malas mengembangkan pasar karena harganya tidak kompetitif.”

Dengan omzet Rp 18 triliun-Rp 19 triliun, Indofood harusnya bisa mengembangkan pasar, bukan mematikan. Dia tak yakin Indofood akan beralih ke bisnis lain. ”Bodoh mereka kalau keluar dari bisnis makanan di Indonesia,” katanya. Dengan jumlah penduduk ratusan juta, bisnis ini sangat menggiurkan.

Indofood menolak semua tudingan itu. Direktur yang membawahkan mi instan Indofood, Taufik Wiraatmaja, mengatakan justru kesal dituduh merusak pasar. Sekitar lima tahun lalu, mi cepat saji ini tumbuh bagus. Mi goreng yang dikeluarkan Indofood dijual Rp 1.050 per bungkus. Tiga tahun lalu ada pendatang baru yang menjual Rp 650-750 per bungkus untuk produk yang sama, dengan iklan jorjoran.

Sejak itu, katanya, persaingan mulai tak sehat. ”Tuduhan Indofood mematikan industri tidak benar. Justru mereka yang mulai,” katanya. Persaingan kian ketat ketika pesaing memberi hadiah bagi pembeli produknya.

Harga murah yang ditawarkan pesaing membuat industri mengalami penurunan standar. Pembeli berpikir, dengan harga di bawah Rp 1.000 per bungkus, perusahaan sudah untung. ”Dampaknya jadi seperti sekarang ini, sulit menaikkan harga,” katanya. ”Mana ada, sih, yang mau rugi?”

Dia mengakui harga jual produk Indofood tidak naik, tapi juga tidak diturunkan. Tudingan pesaing, katanya, tidak benar dan tak sesuai dengan fakta. Dia balik bertanya apakah tiga tahun lalu ada kompetitor mati. ”Kita sama-sama menumbuhkan industri,” katanya. Justru sejak pemain baru dengan harga murah masuk, banyak pemain yang gulung tikar.

Anggota KPPU, Faisal Basri, sangat khawatir dengan apa yang terjadi pada Indofood. Dia berharap itu bukan refleksi kemerosotan industri makanan secara keseluruhan. Dia mengatakan, tak ada salahnya sebuah perusahaan memonopoli pasar. Menjadi salah jika mereka menggunakan kekuatannya untuk menghantam perusahaan lain dengan cara tak benar.

Misalnya melakukan transfer pricing dan memotong harga di tingkat konsumen. ”Selama ini mereka tidak terbukti melakukan hal itu,” ujarnya. KPPU, katanya, terus memonitor Indofood, tapi tidak menemukan pelanggaran seperti ditudingkan para pesaingnya.

Dia balik menuding kompetitor Indofood hanya ngomong belaka, tanpa bisa memberi bukti. Beberapa kali KPPU menerima pengaduan mereka. Ketika komisi itu meminta bukti seperti biaya produksi, mereka tak bisa memberi dan juga tidak mau memberi kesaksian. ”Bagaimana kami bisa membuktikan tanpa data?” katanya.

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus