Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Citra bisnis

Unilever, perusahaan transnasional yang dianggap sebagai perusahaan nasional karena selalu bersikap low profile secara konsisten untuk menghilangkan citra bisnis yang negatif dari masyarakat. (ki)

18 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULANG dari mengantarkan jenazah Ir. Yamani Hasan, presiden direktur Unilever, ke tempat peristirahatannya yang terakhir, Fikri Jufri, wakil pemimpin redaksi TEMPO, mengajukan pikirannya yang menarik. Unilever adalah sebuah perusahaan transnaslonal. Tetapi coba kita pergi ke pelosok-pelosok, orang desa pun menganggap seolah-olah Unilever adalah perusahaan kita sendiri. Sudah puluhan tahun Unilever hidup dan berusaha di Indonesia. Tidak hanya menjual sabun Lux yang dipakai oleh sembilan dari sepuluh bintang film, tetapi produkproduknya juga menukik ke lapisan bawah masyarakat. Mungkin malah tidak banyak yang tahu bahwa minyak wangi murahan cap Air Mata Duyung dan Serimpi adalah juga produk Unilever. Tentulah bukan pekerjaan yang bisa rampung semalam. Citra yang begitu positif (Juga low profile, kata banyak orang) dari Unilever adalah suatu hasil perilaku dari falsafah perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten selama 51 tahun. Dan Jimmy Yamani Hasan - adalah pengawal terakhir falsafah Unilever di Indonesia. Citra perusahaan memang suatu pekerjaan yang mustahak. Mengapa IBM berperan serta dalam pemugaran Borobudur? Mengapa Caltex memberi begitu banyak beasiswa? Mengapa Bir Bintang menginvestasikan begitu banyak uang untuk mencuci kembali air limbahnya? Karena citra perusahaan. Bahkan untuk bersikap lowprofile pun diperlukan serangkaian pemikiran dan tindakan. Tetapi mengapa kita perlu melakukan sesuatu untuk citra perusahaan? Pada dasarnya adalah karena bisnis secara umum mempunyai citra buruk di mata masyarakat. Bankir terkemuka Baron Edmond de Rothschild menulis dalam majalah Chief Executive bahwa sepanjang ingatannya bisnis memang selalu mempunyai citra buruk. Sepanjang Revolusi Industri di Inggris, negara Protestan yang fanatik itu, bisnis dilihat sebagai sesuatu yang tidak terhormat. Di negara-negara Katolik orang memandang bisnis dengan dahi berkerenyit. Di negara-negara Islam pun bisnis, terutama bank yang memungut riba, merupakan dilema yang pelik. Sekalipun demikian, sejarah pun membuktikan bahwa bisnis selalu diterima oleh masyarakat, karena kenyataannya bisnis menciptakan lapangan kerja. Sekalipun orang mengeluh tentang beratnya pekerjaan dan buruknya lingkungan kerja, tetapi hal itu jelas lebih baik daripada sekarat kelaparan. Setelah melewati masa depresi besar pada sekitar tahun 1930-an, Franklin Roosevelt dan Amerika Serikat mulai memimpin situasi dengan melahirkan undang-undang dan peraturan yang memagari bisnis dari tindakan-tindakan yang dapat merugikan masyarakat dan sesama kaum bisnis. Pada waktu Perang Dunia II, ketika seluruh dunia membutuhkan barang - baik pangan maupun senjata - citra bisnis mulai membaik. Sayangnya, situasi itu tidak berlangsung, lama. Setelah Perang usai, kita mulai mendengar keluhan masyarakat. Pabrik kendaraan membuat mobil yang tidak hemat bahan bakar. Pabrik makanan olahan memproduksikan makanan van bisa menimbulkan kanker. Pabrik gula terlalu banyak mengambil untung. Suka atau tidak, kenyataan menunjukkan bahwa bisnis dan industri merupakan cara terbaik untuk memasukkan limpahan dana yang cukup melalui sistem perpajakan yang memungkinkan negara membangun jalan sekolah, angkatan bersenjata, dan lain-lain. Media massa punya kecenderungan anti bisnis. Baru sekarang ini, sejak gebrakan Lee Lacocca dari Chrysler berhasil mengembalikan pinjamannya sebelum masa loan guarantee pemerintah berakhir, perhatian media massa terhadap bisnis membaik. Masih lebih banyak bad news tentang bisnis yang jadi berita sebelum ini. Atau kritik masyarakat terhadap bisnis. Di Amerika, General Motors selalu diejek karena membuat mobil besar. Padahal, yang dimaui masyarakat Amerika bukanlah mobil kecil, tetapi mobil besar yang harganya murah. Mereka juga lupa bahwa General Motors adalah milik masyarakat. Seperti juga perusahaan minyak dan perusahaan-perusahaan besar lainnya yang sahamnya dimiliki oleh dana pensiun, dana bersama, dan lain-lain. Baron Edmond de Rothschild mengakui bahwa orang-orang bisnis sendiri belum melaksanakan tugasnya untuk memberitahukan kepada masyarakat tentang apa peran bisnis alam masyarakat. Orang-orang bisnis selama ini dianggap hanya bersikap defensif terhadap omongan buruk yang dilontarkan masyarakat. "Kita ini 'kan memberikan sumbangan positif terhadap dunia yang kita huni, dan kita tidak perlu malu-malu untuk menyatakan itu," kata Rothschild. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus