SANG primadona lagi kurang menggiurkan untuk dipasang di pasar luar. Di Belawan, pekan lalu, harganya - minyak sawit mentah itu sekitar Rp 425 per kg. Sedangkan di Singapura cuma Rp 470, turun dari sekitar Rp 1.000 di sekitar April-Mei lalu. Tapi keran ekspor, yang ditutup pemerintah sejak awal 1984, dibuka kembali Agustus ini. Memang, ketika harga minyak sawit lagi tinggi di luar negeri, bukan rahasia lagi, banyak yang diselundupkan, sehingga mengguncangkan harga minyak goreng di dalam negeri. Namun, sejak bulan lalu, harga minyak goreng sudah stabil, karena suplai minyak sawit cukup - bahkan diperhitungkan akan berlebihan, sehingga para pengusaha kelapa sawit bingung menyalurkannya. Atas permintaan gabungan pengusaha kelapa sawit (Gabki), maka pintu ekspor dibuka lagi. Tapi minyak sawit yang boleh dicucurkan ke luar negeri belum akan sederas tahuntahun sebelum 1980, yang mencapai sekitar 500.000 ton. "Ekspor tahun ini cuma dibatasi untuk lima bulan, dan setiap bulan sebanyak 20.000 ton," kata Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras, Hasjrul Harahap. Ekspor yang terutama berasal dari Sumatera itu sudah dibatasi sejak empat tahun silam, yakni sekitar 200.000 ton pada 1981 dan sekitar 100.000 ton pada tahun berikutnya. Maklum, kebutuhan semakin mendesak di dalam negeri, walaupun produksi sudah ditingkatkan dari sekitar 550.000 ton menjadi sekitar 1 juta ton dalam Pelita III. Masyarakat memang sudah semakin menyukai kegurihan minyak goreng dari sawit, di samping semakin banyak kebutuhan untuk industri, seperti sabun dan margarine. Apalagi suplai minyak kelapa (kopra) semakin kufang. Dalam Pelita IV yang sedang berjalan ini, 1984-1989, pemerintah hendak memperluas areal perkebunan kelapa sawit sekitar 480.000 hektar, terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya. Diharapkan produksi naik rata-rata 26,5% per tahun, sehingga - kalau memang berhasil - akan mencapai sekitar 3,1 juta ton per tahun di sekitar 1990. Usaha perkebunan itu sekarang ini masih, terutama, dijalankan oleh perusahaan negara dengan produksi sekitar 700.000 ton. Sedangkan beberapa perusahaan swasta mempunyai andil sekitar 300.000 ton. Untuk merangsang pengusaha swasta yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, pemerintah mengadakan pengaturan penyediaan bibit unggul yang terjamin, dan kredit lunak angka panjang untuk tanaman keras. Ekspor minyak sawit pernah mencapai rekor devisa US$ 250 juta (1980). Tahun lalu tinggal sekitar US$ 100 juta. Devisa yang hendak diraih dari kelapa sawit ini, 1988 sekitar 1,2 milyar dolar. Tapi suplai ke dalam negen maslh tetap diutamakan sampai sekarang ini. Kelapa sawit memang tidak termasuk dalam komoditi yang diandalkan, pada saat-saat pendapatan dari ekspor minyak bumi berkurang. Tapi untuk sekadar mengekspor kelebihan kelapa sawit sekarang ini, tampaknya, tidak terlalu sulit - kalau jumlahnya tahun ini cuma 100.000 ton. "Kita bisa ekspor ke mana saja yang biasa kita ekspor," kata Hasjrul Harahap kepada TEMPO, pekan lalu. Belakangan ini, yang banyak mengimpor minyak sawit ialah Belanda, Inggris, Jerman Barat, Italia, dan Yordania. Tapi, dibukanya kembali ekspor minyak sawit itu tidak menyenangkan semua pihak. Produsen sabun dan margarine, misalnya Unilever, merasa bahwa suplai minyak sawit sebagai bahan baku industtri belum dipenuhi seluruhnya. "Kebutuhan kami 3.000 ton sebulan, hanya diberikan sekitar 900 ton. Kami tidak mengajukan permohonan kepada pemerintah dengan angka yang mengada-ada," kata analis-proyek di Unilever, Achmad Ridwan. Untuk menuti kekurangan bahan baku, menurut Achmad Ridwan, Unilever dalam enam bulan teralhir harus menyisihkan sekitar Rp 3 milyar guna mengimpor minyak kedelai, stearin, coconut fatty acid, palm oil fatty acid, dan menambah pemakaian minyak kelapa yang lebih mahal dari minyak sawit. Kendati demikian, sebuah sumber di Perkebuhan menyebut bahwa jatah sawit untuk suplai dalam negeri toh tidak terserap semuanya. Mengesalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini