"SEJAUH-jauh bangau terbang pulangnya ke kubangan juga".
Peribahasa ini nampak mengena pada Haji Mohammad Hasan 54 tahun,
peranakan Tionghoa kelahiran Tanah Grogot, Kalimantan Timur. Ia
pernah menjadi Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan
Perdagangan (1964-1965). Setelah jabatan politik sudah tak
mungkin disandangnya -- terutama setelah berakhirnya pengaruh
Bung Karno, Hasan dari Partai NU itu lantas berkelana. Tujuh
tahun di Hongkong bergerak dalam bidang bursa. Tapi 1974 ia
kembali ke tanah kelahirannya dan membuka perkebunan cokelat, di
Kampung Jahab, Kecamatan Tenggarong, Kalimantan Timur.
"Sejak muda memang hobi saya berkebun," kata Hasan yang juga
pernah menjadi wartawan foto harian Suluh Indonesia dan
Pemimpin Umum Duta Masyarakat. Lantas awal tahun 70-an, ia
mendirikan PT Hasfarm Product Ltd dan mula-mula membuka
perkebunan cokelat Sukokulon di Tanggul, Jember, Jawa Timur,
seluas 12.000 Ha.
Pemerintah daerah Kalimantan Timur sendiri menyambut baik
kedatangan Hasfarm. "Untuk memulihkan hutan di sini, diperlukan
tanaman keras," ujar Gubernur Eri Suparjan suatu ketika. Pohon
cokelat yang bisa berproduksi terus selama 30 tahun cocok betul
dengan kebutuhan daerah itu.
Untuk memburu penghijauan kembali gubernur memberikan keringanan
bagi Hasfarm dengan memperbolehkan perusahaan tersebut
beroperasi sekalipun Hak Guna Usaha belum ia miliki. Dalam
anggaran, perkebunan yang bernama Pinang Manis dalam 5 sampai 7
tahun akan menghabiskan Rp 6,5 milyar. "Setelah Kenop 15
diperkirakan Rp 12 sampai p 15 milyar," ujar Hasan. Modal itu
merupakan fasilitas PMDN ditambah miliknya sendiri.
Tahap pertama baru 647 ha yang sudah ditanami cokelat sedang
tahap berikutnya seluas 200 ha masih belum rampung. Menurut
rencana dari 12.000 ha itu, 7.000 ha akan ditanami cokelat,
1.000 ha kopi dan selebihnya pohon karet yang merangkap sebagai
tanaman pelindung. Sudah Rp 1,5 milyar yang disedotnya. Sedang
karyawan yang akan ditampungnya, menurut ir Sundoro,
administratur di sana, antara 5.000-7.000 orang.
Di daerah kelahirannya sendiri Hasan harus berhadapan dengan
sikap masyarakat yang dirasakannya sangat memberatkan.
Persoalanhya menyangkut ganti rugi tanah. Walaupun Bupati Kutai
Awang Faisyal menyatakan "tidak ada yang 3 berhak atas tanah di
situ kecuali yang sudah dikonversikan," ternyata banyak penduduk
yang mengclaim sebagian tanah Hasfarm sebagai miliknya. "Banyak
orang yang mengaku punya tanah di Perkebunan Pinang Manis, keluh
Hasan.
Menurut ceritanya saban kali Hasfarm membuka jalan penduduk
secepat kilat memasang patok lengkap dengan papan nama dan luas
tanah yang dituntutnya. Ada yang bernama Ismail, Zakaria dan ...
Bonar Pardede. Sementara luas yang di-claim tak
tanggung-tanggung 100 sampai 200 ha. "Harganya ada yang lebih
mahal dari tanah di Jakarta," kata Hasan, penggemar catur yang
dalam sebuah "pertandingan" mengalahkan juara dunia Fischer di
Filipina.
Contoh Buruk
Ganti rugi terhadap tanah yang jelas pemiliknya memang
dilaksanakan oleh Hasan. Namun pusing juga kepalanya kalau tanah
yang sudah dia ganti-rugi, ternyata di-claim orang lain lagi.
Ada pula tanah peladangan yang sudah ditinggalkan dan menjadi
hutan belukar, begitu dibuka Hasfarm lantas dituntut bekas
penggarapnya. Runyamlah Hasan dibuatnya. Sampai dia mengancam
lewat suratnya kepada Gubernur Eri: "Kalau pemerintah tidak
turun tangan kami akan angkat kaki dari sini. "
Gubernur sudah berjanji akan menangani masalah yang timbul
antara penduduk dengan Hasfarm. Ia mengakui di antara
penduduknya banyak yang belum paham betul mengenai Undang-Undang
Agraria. Berat juga buat sang gubernur kalau-kalau Hasfarm
meninggalkan daerahnya "Ini akan menjadi contoh buruk dan tak
ada lagi pihak yang mau menanam modal di sana," kata Gubernur
Eri kepada Hasan Syukur dari TEMPO yang baru-baru ini meninjau
ke sana.
Moh. Hasan melihat ekonomi percokelatan cukup cerah. Selama 5
tahun ini, menurut badan pangan dunia (FAO), produksi cokelat
dunia hanya naik sekitar 0,77%. Tapi konsumsinya meningkat
antara 1,9%-2,7%. Adalah Ghana, dengan produksi sekitar 400 ribu
ton setahun, yang praktis menguasai pasaran cokelat dunia.
disusul Nigeria dan Pantai Gading dengan produksi 247 ribu ton
dan 196 ribu ton setahun.
Tapi Indonesia yang menghasilkan cuma 4.000 ton tahun lalu,
punya andil secuil (0,19%) untuk memenuhi permintaan di pasaran
internasional. Padahal potensinya cukup besar. Bayangkan, 8
perusahaan pengolahan cokelat di dalam negeri duapertiga
kebutuhannya masih dari impor, dengan harga tinggi: 123 sen
dollar AS per pound. Suatu peluang besar untuk produsen di dalam
negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini