Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bellagio ii

Topik seminar di bellagio menjadi perdebatan yang ramai. berbagai pendapat muncul menanggapi tentang kemajuan yang tergantung pada kebudayaan/kemajuan barat. kemajuan sebaiknya tak mencabut budaya asli.

17 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALANGKAH terpecah-pecah, kaleidoskopik, asosiasi pikiran kita kadang-kadang. Dalam ruang makan Villa Serbelloni yang elegant dan berada dalam jarak beribu-ribu kilometer dari rumah, sementara mengunyah roast beef dengan kualitas daging yang prima dan meneguk anggur merah yang robust, saya ingat Nyoman Mandra di banjar Sangging yang kecil di Kamasan, Bali. Itupun Nyoman Mandra dalam keadaannya yang paling "asli". Tidak berbaju, hanya mengenakan sarung, duduk mencakung melukis Suthasoma sembari mengawasi anaknya yang kecil berak di bawah pohon jambu. Bagaimana ini? Mungkin karena waktu makan itu, di balik jendela saya melihat kabut turun pelahan yang membuat sepotong pemandangan danau Como itu lantas kelihatan seperti lukisan Cina tradisional. Tetapi alangkah lain lukisan Cina tradisional yang putih berkabut dan agak kosong itu dengan lukisan gaya tradisional Kamasan yang ramai dekoratif dari Mandra. Apa yang mengaitkan asosiasi itu? Mungkin bukan hanya lukisan itu saja. Mungkin juga karena lalu-lintas pembicaraan dan pembahasan di Villa yang mewah itu, tentang pembangunan, modernitas, keterbelakangan, ketergantungan, kemelaratan . . . Mungkin juga karena roast beef yang lezat lagi mewah (tempe lezat juga, tapi tidak mewah 'kan . . .) dan anggur merah itu... *** Suara Gallagher yang lembut tapi penuh kepastian itu hampir pada setiap argumentasi mengingatkan akan karcis kereta-pembangunan yang cuma one-way tanpa karcis retour. Juga harganya pembangunan yang berbunyi perubahan, perubahan, perubahan itu. Sidang bergantian menyoroti perkembangan Eropah, Afrika, Asia, Amerika Latin dan Amerika Serikat. Ernest Gellner dari The London School of Economics and Political Science mengingatkan bahwa wajah perubahan dan modernisasi yang diukur lewat ukuran (kuno) jumlah atau tingkat industrialisasi, urbanisasi, serta jumlah enerji yang dipakai tidak lagi memberikan gambaran yang tepat. Argentina dan Uruguay yang begitu tinggi tingkat urbanisasinya dan sering disebut sebagai negara-negara berkembang di Amerika Latih tahun-tahun terakhir ini mengalami regresi terusmenerus. Sebaliknya Denmark negara yang dipuji akan keadilan sosial, pendidikan dan kesadaran kewarga-negaraannya mencapai reputasinya itU jauh sebelum negara itu berkembang urbanisasinya dan pada waktu ia masih belum mulai dengan industrialisasi. Yang penting adalah orang-orang macam apa dan yang bagaimana yang melaksanakan dan menjalani urbanisasi dan industrialisasi itu. Fakta-fakta kuantitatif dari perkembangan dan pembangunan ternyata tidak menjamin kualitas dari esensi kehidupan sosial yang baik. Indikator perkembangan tcrnyata bukanlah perkembangan itu sendiri. Sementara itu John Spellman dari University of Windsor di Ontario, Canada, menyangsikan bahwa kemajuan atau modcrnisasi itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Itu belum pernah dibuktikan dengan meyakinkan, katanya. Yang benar ialah perubahan yang tak bisa dihindarkan. Ini tak usah diartikan modernisasi atau kemajuan. Modernisasi atau kemajuan pada akhirnya hanyalah persepsi mausia saja. Karena itu Spellman berpendapat bahwa tradisi kebudayaan yang sudah kuat justru harus dipertahankan untuk memelihara keanekaragaman budaya dunia. Jangan sebaliknya memperciutnya dengan menaruhnya dalam satu stream modernitas Barat. Ini mengundang perdehatan yang ramai tentang bagaima na menaruh batas-batas keinginan sllatu Inasyarakat atau negara untuk tetap pada status quo kebudayaannya atau mulai mcrangkul teknologi Barat yang otomatis akan membawa perubahan yang tidak kenal jalan-kembali itu. Gaung debat semacam itu ternyata terulang kembali pada tahun ini waktu orang berbicara tentang ketergantungan kebudayaan dan dekolonisasi kebudayaan. Sementara Ali Mazrui gurubesar Nigeria itu berbicara tentang pentingnya penetrasi-balik kebudayaan Afrika ke dunia Barat orang juga menyadari bahwa ketergantungan kebudayaan itu erat sekali berhubungan dengan strategi ekonomi dan politik yang dipilih oleh suatu negara. Buat suatu negara yang memilih strategi ekonomi liberal ia memilih konsekuensi kiblat dan payung politik dan ekonomi Barat. Berarti sedikit banyak menerima bujukan, persuasi. gaya-hidup yang disodorkan oleh kebudayaan industri Barat. Maka pengertian cultural depen dency itupun jadi nisbi dan konsep penetrasi-balik itupun menjadi pengertian yang mesti diterjemahkan dalam hubungan konsep kekuasaan. Barangkali jalan-tengah yang akan merangkum berbagai pendapat itu adalah usul Gallagher untuk melihat perubahan itu tidak di dalam kerangka penetapan-nilai yang mutlak tetapi dalam kerangka keluwesan humanisme: Betul bahwa perubahan itu merupakan satu one-way ticket tetapi kualitas perubahan itu seyogyanya masih dapat "dimainkan" secara luwes yang dapat menghindari suatu ekstremitas. Bahkan menempatkan kapitalisme dan komunisrne sebagai dikotomi yang tak mungkin bicara ternyata telah merupakan sikap yang usang. Antara kedua sikap itu ternyata model-model yang lebih moderat mungkin dikembangkan. Hingga perubahan sebagai bayaran dari pcrkembangan dan pembangunan tidak usah harus selalu berarti pengrusakan yang serba-memusnahkan .... *** Terseret dalam percakapan atau dialose camifll mau tak-mau kita akan membayangkan negeri kita sebagi acuan. Di tengah sofistikasi dialog serta kemewahan lalu, setting, serta eksotisme santapan dan minuman Italia percakapan tentang perkembangan, perubahan, kemelaratan dan sebagainya itu menjadi aneh . . . Ada semacam perasaan ngeri membayangkan perubahan sebagai satu karcis satujalan dalam konteks banjar Sanggingnya Nyoman Mandra. Apa jadinya dengan lukisan gaya Kamasan Mandra yang indah itu sekali tangan perubahan menyentuh pundak desa itu. Akan hilang dan tak mungkin kembali? Atau sementara itu "model-model antara" bisa dikembangkan sebagai penghantar tradisi Kamasall yang baru? Dan Mandra, ke mana dia akan pergi .... Ada juga mungkin perasaan "bersalah" berbicara tentang kemelaratan dan ketergantungan dunia ketiga di tengah kemewahan dan kenikmatan modernitas itu. Sementara kita asyik berdebat tentang keterbelakanan sambil meneguk anggur merah, membayangkan konsekuensi perubahan sembari mencomoti roti, orang seperti Mandra tidak berkeming menggambar Suthasoma dengan tekun dan gembiranya. Ah, tahun depan seminar Bellagio pindah saja ke Gunung Kidul . . . *** Sehari sebelum pulang saya duduk di teras restoran di tepi danau. Airnya betul biru, gunung-gunungnya betul biru, saya merasa bagian dari prop satu teater musikal. Bellagio, sebaiknya kau jadi hiasan kartupos-bergambar saja.......

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus