ALANGKAH terpecah-pecah, kaleidoskopik, asosiasi pikiran kita
kadang-kadang. Dalam ruang makan Villa Serbelloni yang elegant
dan berada dalam jarak beribu-ribu kilometer dari rumah,
sementara mengunyah roast beef dengan kualitas daging yang prima
dan meneguk anggur merah yang robust, saya ingat Nyoman Mandra
di banjar Sangging yang kecil di Kamasan, Bali.
Itupun Nyoman Mandra dalam keadaannya yang paling "asli". Tidak
berbaju, hanya mengenakan sarung, duduk mencakung melukis
Suthasoma sembari mengawasi anaknya yang kecil berak di bawah
pohon jambu.
Bagaimana ini? Mungkin karena waktu makan itu, di balik jendela
saya melihat kabut turun pelahan yang membuat sepotong
pemandangan danau Como itu lantas kelihatan seperti lukisan Cina
tradisional. Tetapi alangkah lain lukisan Cina tradisional yang
putih berkabut dan agak kosong itu dengan lukisan gaya
tradisional Kamasan yang ramai dekoratif dari Mandra.
Apa yang mengaitkan asosiasi itu? Mungkin bukan hanya lukisan
itu saja. Mungkin juga karena lalu-lintas pembicaraan dan
pembahasan di Villa yang mewah itu, tentang pembangunan,
modernitas, keterbelakangan, ketergantungan, kemelaratan . . .
Mungkin juga karena roast beef yang lezat lagi mewah (tempe
lezat juga, tapi tidak mewah 'kan . . .) dan anggur merah itu...
***
Suara Gallagher yang lembut tapi penuh kepastian itu hampir pada
setiap argumentasi mengingatkan akan karcis kereta-pembangunan
yang cuma one-way tanpa karcis retour. Juga harganya pembangunan
yang berbunyi perubahan, perubahan, perubahan itu. Sidang
bergantian menyoroti perkembangan Eropah, Afrika, Asia, Amerika
Latin dan Amerika Serikat. Ernest Gellner dari The London School
of Economics and Political Science mengingatkan bahwa wajah
perubahan dan modernisasi yang diukur lewat ukuran (kuno) jumlah
atau tingkat industrialisasi, urbanisasi, serta jumlah enerji
yang dipakai tidak lagi memberikan gambaran yang tepat.
Argentina dan Uruguay yang begitu tinggi tingkat urbanisasinya
dan sering disebut sebagai negara-negara berkembang di Amerika
Latih tahun-tahun terakhir ini mengalami regresi terusmenerus.
Sebaliknya Denmark negara yang dipuji akan keadilan sosial,
pendidikan dan kesadaran kewarga-negaraannya mencapai
reputasinya itU jauh sebelum negara itu berkembang urbanisasinya
dan pada waktu ia masih belum mulai dengan industrialisasi.
Yang penting adalah orang-orang macam apa dan yang bagaimana
yang melaksanakan dan menjalani urbanisasi dan industrialisasi
itu. Fakta-fakta kuantitatif dari perkembangan dan pembangunan
ternyata tidak menjamin kualitas dari esensi kehidupan sosial
yang baik. Indikator perkembangan tcrnyata bukanlah perkembangan
itu sendiri.
Sementara itu John Spellman dari University of Windsor di
Ontario, Canada, menyangsikan bahwa kemajuan atau modcrnisasi
itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Itu belum pernah
dibuktikan dengan meyakinkan, katanya. Yang benar ialah
perubahan yang tak bisa dihindarkan. Ini tak usah diartikan
modernisasi atau kemajuan. Modernisasi atau kemajuan pada
akhirnya hanyalah persepsi mausia saja. Karena itu Spellman
berpendapat bahwa tradisi kebudayaan yang sudah kuat justru
harus dipertahankan untuk memelihara keanekaragaman budaya
dunia. Jangan sebaliknya memperciutnya dengan menaruhnya dalam
satu stream modernitas Barat.
Ini mengundang perdehatan yang ramai tentang bagaima
na menaruh batas-batas keinginan sllatu Inasyarakat atau negara
untuk tetap pada status quo kebudayaannya atau mulai mcrangkul
teknologi Barat yang otomatis akan membawa perubahan yang tidak
kenal jalan-kembali itu.
Gaung debat semacam itu ternyata terulang kembali pada tahun ini
waktu orang berbicara tentang ketergantungan kebudayaan dan
dekolonisasi kebudayaan. Sementara Ali Mazrui gurubesar Nigeria
itu berbicara tentang pentingnya penetrasi-balik kebudayaan
Afrika ke dunia Barat orang juga menyadari bahwa ketergantungan
kebudayaan itu erat sekali berhubungan dengan strategi ekonomi
dan politik yang dipilih oleh suatu negara. Buat suatu negara
yang memilih strategi ekonomi liberal ia memilih konsekuensi
kiblat dan payung politik dan ekonomi Barat. Berarti sedikit
banyak menerima bujukan, persuasi. gaya-hidup yang disodorkan
oleh kebudayaan industri Barat. Maka pengertian cultural depen
dency itupun jadi nisbi dan konsep penetrasi-balik itupun
menjadi pengertian yang mesti diterjemahkan dalam hubungan
konsep kekuasaan.
Barangkali jalan-tengah yang akan merangkum berbagai pendapat
itu adalah usul Gallagher untuk melihat perubahan itu tidak di
dalam kerangka penetapan-nilai yang mutlak tetapi dalam kerangka
keluwesan humanisme: Betul bahwa perubahan itu merupakan satu
one-way ticket tetapi kualitas perubahan itu seyogyanya masih
dapat "dimainkan" secara luwes yang dapat menghindari suatu
ekstremitas.
Bahkan menempatkan kapitalisme dan komunisrne sebagai dikotomi
yang tak mungkin bicara ternyata telah merupakan sikap yang
usang. Antara kedua sikap itu ternyata model-model yang lebih
moderat mungkin dikembangkan. Hingga perubahan sebagai bayaran
dari pcrkembangan dan pembangunan tidak usah harus selalu
berarti pengrusakan yang serba-memusnahkan ....
***
Terseret dalam percakapan atau dialose camifll mau tak-mau kita
akan membayangkan negeri kita sebagi acuan. Di tengah
sofistikasi dialog serta kemewahan lalu, setting, serta
eksotisme santapan dan minuman Italia percakapan tentang
perkembangan, perubahan, kemelaratan dan sebagainya itu menjadi
aneh . . .
Ada semacam perasaan ngeri membayangkan perubahan sebagai satu
karcis satujalan dalam konteks banjar Sanggingnya Nyoman Mandra.
Apa jadinya dengan lukisan gaya Kamasan Mandra yang indah itu
sekali tangan perubahan menyentuh pundak desa itu. Akan hilang
dan tak mungkin kembali? Atau sementara itu "model-model antara"
bisa dikembangkan sebagai penghantar tradisi Kamasall yang baru?
Dan Mandra, ke mana dia akan pergi ....
Ada juga mungkin perasaan "bersalah" berbicara tentang
kemelaratan dan ketergantungan dunia ketiga di tengah kemewahan
dan kenikmatan modernitas itu. Sementara kita asyik berdebat
tentang keterbelakanan sambil meneguk anggur merah,
membayangkan konsekuensi perubahan sembari mencomoti roti, orang
seperti Mandra tidak berkeming menggambar Suthasoma dengan tekun
dan gembiranya. Ah, tahun depan seminar Bellagio pindah saja ke
Gunung Kidul . . .
***
Sehari sebelum pulang saya duduk di teras restoran di tepi
danau. Airnya betul biru, gunung-gunungnya betul biru, saya
merasa bagian dari prop satu teater musikal.
Bellagio, sebaiknya kau jadi hiasan kartupos-bergambar
saja.......
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini