JAKARTA buat orang asing bukan tempat tinggal yang sedap. Itulah
setidaknya disimpulkan suatu survai tentang standar hidup di
Jakarta yang diterbitkan oleh Kamar Dagang Amerika (Amcham) di
Jakarta Berjudul Cost of Living, Jakarta Indonesia, buletin
yang dicetak rapi itu menunjukkan, setelah devaluasi rupiah
tahun lalu, harga kebutuhan sehari-hari orang asing di Jakarta
ternyata sebagian besar sudah melonjak, melebihi tingkat
apresiasi dollar sendiri terhadap rupiah.
Nick Petroff, Presiden Amcham di Jakarta, yang sehari-hari
adalah eksekutif di PT Semen Cibinong, dalam sambutan singkatnya
menyatakan survai yang untuk pertama kalinya dikeluarkan Agustus
lalu itu akan diterbitkan secara berkala. Data-data yang
dikumpulkan memang terbatas pada beberapa super market seperti
Gelael dan Hero di Kebayoran Baru. Tapi dapat dianggap sudah
mencerminkan gambaran umum dari apa yang ingin dilukiskannya.
Babu Cuci
Demikianlah antara Juli 1978 dan Juli 1979 misalnya, harga
daging dalam dollar naik 12,3%, sedang sayur dan buah-buahan
naik 7%. Sesudah devaluasi, bagi yang mempunyai dollar,
seharusnya harga-harga lokal memang turun, karena rupiah yang
diperoleh menjadi lebih banyak. Tapi nyatanya tidak demikian.
Dengan kata lain, tingkat inflasi sejak tindakan devaluasi itu
telah melonjak cukup tajam, lebih tinggi dari tingkat devaluasi
itu sendiri.
Survai itu juga membandingkan harga baru di Jakarta ini dengan
harga terakhir yang tercatat di AS sendiri untuk berbagai barang
kebutuhan sehari-hari. Tak salah kalau sebuah laporan Bank Dunia
tahun lalu menyimpulkan Jakarta sebagai kota nomor 8 termahal di
dunia. Telor misalnya, di sini per kilo menurut survai Amcham
itu mencapai US$ 1,52 dua kali lipat harga rata-rata telor di
AS.
Harga yang tercatat dua kali lipat lari harga umumnya di AS itu
juga berlaku untuk bahan kebutuhan dapur seperti minyak
goreng anti-kolesterol, biskuit, makanan bayi, coca-cola dan
minuman ringan lainnya. Makanan kaleng seperti merek Del Monte
rata-rata harganya. di super market Jakarta lebih dari dua kali
di AS. Bisa dimengrti, karena jenis makanan impor itu dikenakan
bea-masuk yang cukup tinggi. Malangnya, buat orang asing
terutama Barat, barang-barang impor itulah yang mereka sukai
sehari-hari.
Tak lupa digambarkan tentang kualitas dan tersedianya jasa-jasa
lain yang diperlukan orang asing di Jakarta. Tentang daging sapi
lokal yang berasal dari sapi Brahma, dan dianggap cocok untuk
hamburger. Dan daging ayam, baik yang ternak maupun ayam
kampung, keduanya disebut tak bisa dibandingkan dengan ayam di
AS. Ayam ternak "tak begitu berdaging" seperti di AS, sedang
ayam kampung terlalu banyak macamnya. Tapi daging babi mendapat
pujian, karena mengandung lebih banyak gajih dari daging babi di
AS. Dan harganyapun termasuk murah: US$ 1,78 per pound
dibandingkan dengan US$ 2 per pound di Amerika.
Untuk pakaian tak ada pujian sedikitpun. Bukan saja mahal, tapi
kualitasnya juga jelek. Baik untuk pria maupun wanita, orang
asing itu biasanya lebih suka berbelanja ke Singapura atau di
AS sendiri kalau kebetulan lagi cuti pulang. Dan batik? Cukup
digunakan untuk kesempatan sosial, tapi tak banyak manfaatnya di
luar Indonesia.
Untuk sepatu, diakuinya produksi lokal harganya lumayan, tapi
kualitasnya buruk, dan ukurannya terbatas kecuali barangkali
merek Bata. Tapi yang paling menyolok menurut survai Amcham itu
adalah kurangnya fasilitas kesehatan dan dokter-dokter yang
kompeten, termasuk dokter gigi, yang dianggap memasang tarif
mahal, antara Rp 10.000 - Rp 15.000 untuk suatu plombir biasa.
Survai itu juga memperinci dengan cukup mendetil biaya pembantu
rumah tangga sampai tukang kebun. Gaji rata-rata sebulan untuk
pembantu rumah tangga biasa dan babu cuci masing-masing Rp
37.000, tukang kebun Rp 19.000, sedang yang mengemong anak
(nurse), rata-rata Rp 39.000-an sebulan. Semua itu sudah
termasuk beberapa tunjangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini