The Making of a Bureaucratic Elite - the Colonial Transformation
of the Javanese Elite
Oleh: Heather Sutherland, Ph. D.
Penerbit: Heinemann Educational Books Asia) Ltd. Singapore,
Kuala Lumpur and Hongkong, 1979
Tebal: 182 halaman
DR. Heather Sutherland telah dikenal dengan disertasinya pada
Yale University, 1973, berjudul Pangreh Pradja. Java's
Indignenous Administrative Corps and Its Role in the Last
Decades of Dutch Colonial Rule (Pangreh Pradja: Korps
Administratif Bumiputra Jawa dan Peranannya pada
Dasawarsa-dasawarsa Terakhir Pemerintahan Kolonial Belanda).
Buku barunya ini merupakan kelanjutan disertasinya, membicarakan
berbagai segi yang belum dibahas.
Buku ini berjasa karena beberapa hal. Pertama, ia berhasil
menjunjung tinggi keobjektifan ilmiah mengenai suatu pokok acara
yang biasanya mengundang emosi berbicara keras. Berbicara
tentang kolonialisme Belanda di Indonesia, hanya sedikit orang
Belanda yang jujur dan orang Indonesia yang dapat menghindari
emosionalitas. Jasa kedua, ini adalah pengungkapkan arsip-arsip
kolonial yang selama ini tertutup dan tersimpan. Juga
pengungkapan berbagai publikasi sumber yang akhir-akhir ini
banyak diterbitkan di Negeri Belanda -- termasuk berbagai
karangan cetakan maupunilensilan yang jelas sulit diperoleh di
Indonesia. Ditambah lagi buku-buku, seperti Hikajat Kadiroen
karangan Senaoen (Semarang, 1920) yang di dunia hanya tinggal
satu eksemplar dan ada di Perpustakaan Universitas Leiden.
Dua sebab itu saja telah cukup merupakan pembenaran hak hadir
(justification de raison d'etre) bagi buku ini di antara sekian
banyak buku yang membanjir tentang Indonesia dengan berbagai
tingkat mutu dan sikap politik.
Buku yang terbagi 11 bab ini dilengkapi pula dengan l'eta
Pembagian Administratif Jawa tahun 1937, 4 halaman potret
keluarga-keluarga bupati dan suatu daftar istilah. Bab-babnya
antara lain tentang: Pola-pola Politik dan Administratif
Priyayi Gupermen Langgam Hidup dan Lingkungan Sosial Mobilitas
Sosial dan Pembaruan Politik Strategi Kolonial: Para Pegawai
lawan Kaum Nasionalis, 1918-1927 Kewibawaan 'Tradisional' dan
Pegawai-pegawai 'Modern' Warisan Kolonial dan Tatapraja
Pedesaan Jawa, 1942-1975.
Banyak catatan telah saya buat sebagai saran-saran perbaikan.
Istilah Pangreh Praja tidak pernah dipakai pada zaman kolonial.
Ketika itu istilahnya Inlandsch Bestuur. Istilah Pangreh Praja
baru dipakai sejak zaman Jepang di lingkungan Naimubu
(Direktorat Pemerintahan Dalam Negeri). Jadi pemakaian istilah
Pangreh Praja untuk zaman penjajahan Belanda merupakan
pemantulan ke belakang (retero-projection). Keresidenan Karawang
tak ada pada tahun 1937 (h. XII). Yang ada keresidenan Batavia
dengan 4 kabupaten, yakni Tanggerang, Meester Cornelis, Karawang
dan Purwakarta.
Gelar R.A. (h. VI) sebenarnya Raden Ayu atau Raden Ajeng Raden
Aria atau Raden Adipati tak ada, karena yang ada hanya R.A.A. =
Raden Adipati Aria. di samping (K).R.T. = (Kangjeng) Raden
Tumenggung dan R.T.A. = Raden Tumenggung Aria. Ambtenaar bukan
sekedar official, melainkan official dengan gaji minimal 900
guldens setahun (75 guldens sebulan) (h. XVIII). Kurang dari
gaji sekian disebut beambte. Pangeran (h. XIX di dalam hubungan
dengan lnlandscb Bestuur adalah bupati senior atau pejabat
tinggi bumiputra anggota Dewan Hindia (Raad van Indie).
Jumlah Isteri
Keris tak dapat diterjemahkan sword (=pedang), melainkan
poisened dagger. Selir tidak selalu secondary wife, melainkan
kadang-kadang concubine, yakni kalau jumlah isteri lebih dari 4
orang (yang diperbolehkan oleh Islam). Tumbal (h. 20)
terjemahannya yang tepat bukan antidote, melainkan ritual
sacrifice. Lungguh atau bengkok sebaiknya diterjemahkan fief
atau ap(p)anage, bukan ex officio land (tersebar di banyak
halaman). Padmi dan ampean (h. 20) sebenarnya garwa padmi dan
garwa ampean. Ampean saja dipakai orang Jawa untuk terjemahan
kata Belanda afdeling sebuah perkebunan (onderneming).
Mengenai penyuguhan gadis kepada pembesar bumiputra atau Eropa
jika bermalam di sebuah desa (h. 21), prakarsa selalu tidak dari
penyuguh (kecuaI kalau ia bersalah, misalnya menggelapkan uang
pajak). Melainkan karena adanya sesiwa (isyarat) dari sang tamu
yang menganggap itu termasuk bulu bekti atau glondong
pangareng-areng (=persembahan seorang kawula kepada gustinya).
Wargi Bandung (h. 96) bukan Bandung Membership, melainkan
Bandung Family. Mardi Utama (h. 93) bukanlah Perfect Community,
melainkan Perfect Way. Penggunaan kata Indische secara
predikatif (h. 40), seharusnya Indisch, karena Indische hanya
dipakai secara atributif di muka kata benda berjenis kelamin
betina.
Mengenai lelang (h. 41) perlu ditambah. Penari setengah pelacur
(tledek, ronggeng, tayub atau cokek) dijadikan peloloh minuman
keras para pembesar inlandsch bestuur, sebagai kerjasama antara
pembesar Belanda -- pemilik barang yang dilelang -- dengan si
Tionghoa juru lelang. Dalam keadaan mabuk itulah para
'inlanders' adu kebanggaan, hingga cangkir berharga 60 sen
melonjak menjadi 500 guldens (833,33 x harga asal!).
Main Perempuan
Dibangunnya sarikat buruh bukan sejak tahun 1911 (h. 61),
melainkan sejak 1905 dengan adanya SS-Bond . Karena kaum
kondektur yang tak mendapat uang makan dan uang penginapan tak
dibela oleh SS-Bond yang dipimpin Belanda, maka pada tahun itu
juga kondektur-kondektur membentuk PCF (Persatuan Conducteur
Fonds). Baru pada bulan September 1908 dibentuk VSTP
(Vereeniging van Spoor en Tramweg-Personeel = Persatuan Pegawai
Keretaapi dan Trem).
Pada h. 65 pengarang mengutip Hikajat Kadiroen karangan Semaoen.
Tapi kritik yang sangat tajam terdapat dalam roman Soenda Siti
Rajati karangan Moehammad Sanoesi (terbitan Dahlan Bekti,
Bandung, 1924, 3 jilid) yang edisi Indonesianya terbit dengan
lebih baik (Weltevreden, 1925). Mengenai peristiwa Afdeling B
(Haji Hasan, Cimareme, Garut) M Sanoesi menulis tembang
Gendjlong Garoet (Bandung, 1920) yang menghasilkan ganjaran
penjara 2 tahun baginya. (Paradoksnya ia bangsawan tulen,
sedangkan bupati Garut bangsawan tetiron bikinan Belanda!)
Dr. Sutherland melukiskan kegemaran para bupati mengenai
womanizing (main perempuan), reputed fondness for women (kesohor
doyan perempuan) (h. 96). Sebenarnya hal itu merupakan pula
usaha memadukan apa yang menyenangkan hati dengan yang berfaedah
(het combineren van het aagename met het nuttige). Isteri muda
atau wanita piaraan diberi tugas mengawasi tanah yang sengaja
dibeli sang bupati. Pemusatan pemilikan tanah dapat mencapai
bentuk latifundia dari 100 hektar lebih. Dan itu merupakan
absenteisme, karena pemiliknya berada di kota, jauh dari
sawahnya. Ini dimungkinkan, karena di masa paceklik tanah murah
harganya. Dalih melongok sawah dapat memberi peluang tidur
dengan wanita muda pengelo lanya. Dengan demikian istcri pertama
dapat dikibuli. Ada bupati Tasikmalaya bergelar Dalem Sawidak,
karena anak nya 60 orang.
Aji Mumpung
Mengenai sikap kaum bupati terhadap penduduk hanya ada dua
macam: aja dumeh (ulah kena-kena aing) = jangan mentang-mentang
(berkuasa, menang sendiri) dan aji mumpung (mangpang meungpeung)
= kapan lagi, mumpung ada kesempatan dalam kesempitan orang
lain. Wejangan Raden Mas Soeparto (belakangan Mangkunegara IV)
yang berbunyi Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti
(Keberanian dan kesaktian kalah oleh kebaikan) cukup dihafalkan,
tidak untuk diamalkan.
Meskipun ada Pangeran Kornel yang berani menghunus keris
terhadap Herman Willem Daendels, sikap para bupati dan para
inlandsche bestuurs-ambtenaren pada umumnya hanya "Daulat,
Tuanku" terhadap Belanda. Tapi di lingkungan keluarga sendiri
mereka ejek BB-ambtenaren sebagai "monyet-monyet bule".
Sepanjang sejarah kolonialisme belum pernah ada puteri bupati
mau kawin dengan Belanda. Itulah yang disebut Prof. W.F.
Wertheim het contrapunt di kalangan priyayi Jawa dalam esai yang
diberkaskannya untuk ulang tahun ke-60 Prof. Jan Romein. Victor
Ido mendramatisasinya di dalam roman Karina Adinda.
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini