TERLALU murah, salah. Terlalu mahal pun salah juga. Itulah dilema yang sering dihadapi pemerintah dalam menghadapi naik turunnya harga minyak bumi. Dua tahun lalu, pemerintah sempat dibikin pusing karena harga si emas hitam anjlok sedikit di atas 10 dolar per barel. Berangkat dari pengalaman itu, maka di tahun anggaran berikutnya, pemerintah kini sangat berhati-hati membuat perkiraan. Bahkan manakala ketegangan di Teluk merebak dan harga minyak langsung terdongkrak, jauh di atas harga yang dipatok dalam APBN. Akhir pekan lalu, harga minyak itu tercatat 33 dolar per barel. Rezeki besar itu ternyata juga menimbulkan masalah. Seperti kata Menteri Keuangan Sumarlin di depan Komisi APBN DPR-RI pekan lalu, kenaikan harga minyak berarti pula naiknya subsidi BBM yang diberikan pemerintah. Sayang, ia belum bisa menyebutkan angka subsidi yang akurat. "Tergantung pada perkembangan harga minyak dunia," katanya mengelak. Sebagai ancang-ancang, taruhlah harga rata-rata si emas hitam untuk semester II 1990-91 jatuh pada angka 25 dolar per barel. Kalau itu yang terjadi, kata Menteri, maka subsidi BBM yang harus ditanggung mencapai Rp 1,4 trilyun. Itu belum termasuk "utang" pemerintah kepada Pertamina untuk subsidi BBM di tahun anggaran 1988-89 dan 1989-90, yang jumlahnya Rp 821 milyar. Entah bagaimana teknik berhitung pemerintah, yang pasti, menurut Menteri, salah satu penyebab naiknya subsidi ialah lantaran naiknya tingkat konsumsi. Sebagai contoh, lihat saja sejarah munculnya "utang" kepada Pertamina. Itu terjadi disebabkan membengkaknya BBM yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dari 8,7 juta barel menjadi 22,7 juta barel. Sialnya, harga BBM impor pun naik 2,28 dolar mejadi 24,31 dolar per barel. Adapun subsidi BBM di tahun anggaran 1990-91 juga akan membengkak. Indikasinya tampak pada tingkat konsumsi di semester I. Semula, pada kurun itu diperkirakan pemakaian BBM dalam negeri hanya mencapai 30,47 juta kiloliter (kl). Nyatanya naik menjadi 32,21 kl. Akibat tambahan konsumsi tersebut, impor BBM meningkat dari 2,2 juta barel menjadi 18,4 juta barel. Hanya saja Sumarlin tidak mengungkapkan berapa besar subsidi BBM pada semester I ini. Yang jelas penambahan impor 16,2 juta barel itu memerlukan devisa yang tidak sedikit. "Disangkanya enak kalau harga minyak naik. Kita malah tambah pusing," komentar Oscar Suryaatmadja, Dirjen Moneter. Nasib baik, menurut Oscar, pemerintah masih mampu menyubsidi. Kalau tidak, harga BBM tidak akan bisa ditekan. Sebab itu pula, pemerintah tidak bisa menaikkan anggaran pembangunan. Menurut Oscar, kelebihan harga itu selain digunakan untuk subsidi juga untuk mencicil utang. Apalagi akibat adanya apresiasi yen terhadap dolar, utang Indonesia membengkak sekitar 1,2 milyar dolar. Alhasil, "Kenaikan harga minyak ini selisihnya kecil sekali," demikian Presiden Soeharto berucap dua pekan silam. Tampaknya, impian untuk kenaikan gaji atau bonus akhir tahun bagi pegawai negeri tidak akan terlaksana. Nah, kalau kelebihan pendapatan minyak itu disalurkan berupa gaji ke-13 saja, bagaimana? Untuk itu pun, pemerintah rupanya masih belum pasti. Budi Kusumah, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini