SEORANG nasabah Sanwa Bank Indonesia terkejut bukan alangkepalang. Hari itu, Selasa pekan lalu, ia ingin menyetor uang sekitar Rp 100 juta di bank Sanwa dengan cek dari Bank Umum Majapahit Jaya (BUMJ). Ternyata, setorannya tidak bisa diterima. Persis pada hari itu, BUMJ sudah didaftarhitamkan oleh seluruh jajaran perbankan. Pemegang warkat BUMJ tadi lalu bergegas ke kantor pusat BUMJ, di Jalan Sukarjo Wiryopranoto, Jakarta. Di sana banyak orang berkerumun, yang juga hendak menarik uangnya. Namun, yang mereka terima hanya selebaran yang memberitahukan bahwa untuk sementara kas BUMJ ditutup, sambil menunggu petunjuk penyelesaian dari BI. Alangkah cemasnya para nasabah BUMJ itu. Nasib mereka tidak lebih baik dari 38 bank yang juga mempunyai tagihan jangka sangat pendek (call money) pada BUMJ. Tagihan mereka pada BUMJ, per 27 November 1990, tak kurang dari Rp 71,95 milyar. Tagihan besar inilah yang diprioritaskan untuk mendapat penyelesaian lebih dulu. Senin pekan ini, seorang bankir yang mempunyai tagihan pada BUMJ memperlihatkan bahwa daftar tagihan itu masih berjumlah Rp 67,20 milyar. Tagihan paling besar datang dari BPD Jawa Timur (Rp 10 milyar), disusul BII (Rp 6 milyar), Media Bank (Rp 5 milyar), Tamara Bank dan PDFCI (masing-masing Rp 3 milyar), Unibank (Rp 2,5 milyar), Danamon, Lippo, dan Hagabank ( masing-masing Rp 2 milyar). Ternyata baru dalam tiga bulan terakhir, BUMJ tampil sebagai pemain agresif di pasar pinjaman antarbank. Dalam Berita Perbanas edisi September, terlihat bahwa pinjaman yang diterima BUMJ baru berjumlah Rp 17.449 juta. Bahwa kemudian pinjaman antarbank bisa melonjak sampai Rp 70 milyar lebih, agaknya karena BUMJ kelewat agresif memberikan kredit pada semester pertama. Per Juni 1990, jumlah kredit yang disalurkannya mencapai Rp 148,7 milyar. Sedangkan modal dan cadangannya ditambah dana masyarakat (giro, deposito, dan tabungan) cuma Rp 120,5 milyar. Semakin banyak kredit yang dikeluarkannya, akan semakin banyak dana yang harus ditransfer ke bank lain. Akhirnya, pada 26 November lalu, BUMJ kalah kliring di BI. Artinya, nisbah tunai BUMJ di BI tidak bisa lagi melunasi warkat-warkat yang dikeluarkannya. "Posisi merah" itu, kata seorang pejabat BI, telah diberitahukan kepada direksi BUMJ awal pekan lalu. Seperti biasa, BI memberi kesempatan kepada bank bersangkutan untuk mencari pinjaman baru. Tapi, pada 26 November malam (pukul 20.00) direksi BUMJ, yakni Presiden Direktur Sutianto H. dan Direktur Ridwan S. Dhanu, menyatakan bahwa BUMJ tak bisa lagi mengikuti kliring karena kesulitan likuiditas. Masalahnya, kata Sutianto seperti dituturkan sumber di BI, berpangkal dari ketidakcocokan yang berkepanjangan dalam manajemen BUMJ. Sampai Senin malam, pihak yang bertikai, yakni Gramedia Group dan Ongko Effendi, belum bersedia diwawancarai gramedia masuk ke BUMJ sekitar tahun 1986. Dalam Buku Perbanas edisi 1983, tercantum nama Komisaris Utama BUMJ, Effendi Ongko yang didampingi Sutianto Hadisugondo dan Ny. Tri Sulistiani sebagai komisaris. Waktu itu, modal BUMJ baru berjumlah Rp 1,2 milyar. Dalam buku Perbanas edisi 1988, nama Pemimpin Redaksi Kompas, Drs. Jakob Oetama, sudah tercantum pada barisan Komisaris, dan Sumarkoco Sudiro sebagai Presdir, menggantikan Wiyono Tanoyo. Sampai sekarang, tak terungkap berapa sebenarnya modal yang telah disetor Gramedia Group. Yang jelas, masuknya Gramedia telah membuat modal dan cadangan BUMJ melonjak sampai Rp 14 milyar pada tahun 1987. Ternyata Sumarkoco -- pernah menjadi wartawan ekonomi Kompas -- tak bisa mengarahkan manajemen yang dikuasai Effendi Ongko. "Sebagian besar pegawai dan manajer BUMJ adalah kawan atau saudara Ongko dan mereka tidak mau tunduk ada Sumarkoco," kata pejabat di BI. "Sehingga, kredit yang disalurkan BUMJ lepas dari kontrol Presdir. Dan tidak dilaporkan ke atas," pejabat BI tadi menuturkan. Di sela banyaknya kucuran kredit ke berbagai pihak, terselip kecurigaan bahwa ada juga kredit yang disalurkan untuk usaha keluarga Ongko. Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, ketika ditanya mengenai BUMJ pekan lalu, mengatakan bahwa ada permainan bank di dalam bank. Menkeu tak menjelaskan lebih lanjut. Namun, seorang pejabat moneter yang diwawancarai terpisah mengatakan, "Ongko mempunyai istri kedua yang membuka usaha perdagangan valuta asing di gedung BUMJ. Seorang ipar Ongko juga menjadi direktur di BUMJ." Perselisihan antara Sumarkoco dan Ongko Effendi berakhir dengan keluarnya Gramedia Group. Namun, modal Gramedia belum bisa ditarik dan hanya diubah statusnya menjadi utang BUMJ pada Media Bank, sebuah bank yang belum lama ini didirikan Gramedia Group. Di bawah tekanan krisis likuiditas sekarang, beberapa bankir swasta menduga bahwa BUMJ sudah sulit diselamatkan. "Jika investor mau membeli BUMJ, tentu harus melunasi dulu utang-utang BUMJ yang berjumlah Rp 60 milyar lebih itu. Barangkali lebih mudah mendirikan bank baru dengan modal Rp 10 milyar," ujar seorang bos dari satu bank swasta terbesar. Kendati begitu, BI masih berusaha mencarikan investor. Dewasa ini, tak kurang dari enam investor yang ingin mengambil alih BUMJ, di antaranya Prajogo Pangestu, Henry Pribadi, Edward, dan juga Jakob Oetama. Bank-bank yang mempunyai tagihan di BUMJ, kecuali BPD Ja-Tim, Sabtu pekan lalu, telah bertemu dalam rapat yang dihadiri Binhadi (Direktur Pengawasan BI). Pertemuan itu telah menelurkan 12 keputusan, antara lain, menugaskan Jakob Oetama untuk bertemu dengan Direktur BI Binhadi. Juga diharapkan, kasus BUMJ sudah bisa selesai dalam 1-2 minggu. Mudah-mudahan saja masalah ini cepat beres, hingga kecemasan nasabah juga bisa segera berakhir. Max Wangkar, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini