VALUTA asing yang banyak dipinjam bank-bank devisa dari luar negeri, belakangan ini tidak lagi dititipkan di Bank Indonesia (BI). Padahal, untuk mendapatkan rupiah, sebelumnya bank-bank biasa melakukan swp (tukar-menukar valuta asing dengan rupiah) dengan BI. Namun, belakangan ini, bank-bank devisa menukar valasnya dengan rupiah dari para nasabah. Nasabah kemudian mendepositokan valas tadi di bank yang sama. Dengan demikian, bank bisa mendapatkan rupiah, tapi pada saat yang sama tetap mencekal devisa tersebut. Pokoknya, sekali merengkuh nasabah, rupiah dan valas terkuasai. Di pihak lain, nasabah bukannya sama sekali tidak kecipratan. Si pemilik uang ini bisa mendapatkan imbalan yang lebih besar dari bunga deposito rupiah. Caranya adalah dengan menghindari pajak, satu perbuatan yang tentu saja tidak bisa dibenarkan. Seperti diketahui, sejak November 1988, bank-bank langsung memotong pajak 15% untuk bunga deposito. Nah, katakanlah sekarang ini bunga deposito rupiah berkisar sekitar 22% per tahun. Karena bunga itu dipotong pajak 15%, nasabah akan menerima bunga bersih hanya 18,70%. Namun, dengan bermain swap di bank devisa, nasabah bisa menerima imbalan lebih tinggi. Caranya? Nasabah menaruh uangnya dalam valuta asing yang rendah bunganya. Misalnya deposito yen, yang memberikan bunga hanya 4% per tahun. Setelah dipotong pajak 15%, bunga bersih yang diterima adalah 3,4%. Bunga tersebut memang kecil. Tapi, selain itu, bank memberikan juga premium swap yang besarnya merupakan selisih antara bunga deposito rupiah dan bunga deposito valas. Jika bunga deposito rupiah sekarang rata-rata 22%, premium swap untuk deposito yen adalah 22%-4% = 18%. Dengan demikian, si nasabah akan menerima imbalan bersih 21,4% (18 + 3,4%) dari jumlah rupiah yang dititipkannya di bank. Padahal, jika nasabah itu merupakan seorang wajib pajak yang patuh, ia layak melaporkan tambahan pendapatannya tadi dalam SPT (surat pemberitahuan tahunan) kepada Kantor Pajak. Sebab, menurut Dirjen Pajak Mari'e Muhammad, premium swap itu jelas merupakan obyek pajak penghasilan (PPh). Namun, bila nasabah yang menikmati premi swap itu bisa dianggap salah, maka bank yang melakukan hal itu tidak dianggap melanggar peraturan. Ini dikemukakan oleh Dirjen Moneter Oskar Surjaatmadja. Tak mengherankan bila beberapa bank devisa malah mempergunakan lubang-lubang premium swap tadi untuk merayu para nasabah. "Sekarang ini malah ada bank yang lebih agresif, yakni swap dalam giro yang bunganya nol persen," kata seorang eksekutif dari sebuah bank devisa swasta. Tapi, Pemerintah sudah mulai mempertimbangkan untuk menyuruh bank-bank langsung mengenakan pajak atas premi swap. Masalahnya, kata Dirjen Moneter, bukan karena kecurigaan terhadap para wajib pajak yang tidak jujur. Menurut Oskar, belakangan ini timbul kecemburuan dari bank nondevisa terhadap bank devisa. Beberapa bank nondevisa mengeluh karena banyak nasabah yang mengalihkan uangnya dari deposito rupiah ke valas. Gerakan valas ini pekan lalu bahkan telah merebak ke isu yang rawan yakni isu devaluasi. "Selama hal ini tidak diatur, ada saja bank yang akan memanfaatkan loophole ini," kata Johny N. Wiraatmadja, wakil presiden direktur urusan valuta asing di Panin Bank. Johny benar. Di sisi lain, untuk mengharapkan agar nasabah jujur 100% dalam melaporkan penghasilannya termasuk yang diperoleh dari premi swap tampaknya tidak mungkin. Sementara itu, untuk mengandalkan Direktorat Jenderal Pajak agar mengecek SPT nasabah satu per satu, tentu lebih tidak mungkin. Sedangkan peraturan yang canggih tidak menjamin bahwa celah yang disebut Johny itu bisa ditutupi. "Celah itu akan tetap ada," ujarnya pasti. Contohnya nasabah yang menaruh uang dalam deposito valuta asing di luar negeri, lewat sebuah kantor perwakilan bank asing di Jakarta. Valas itu kemudian ditukarnya ke dalam rupiah di Indonesia dalam transaksi forward swap (pinjam rupiah dengan jaminan deposito valas). "Apa bedanya. Kita malah rugi," kata tokoh Panin Bank tadi. Sebaliknya, jika lalu lintas uang itu diatur lebih ketat, malah timbul kekhawatiran akan lebih banyak modal yang dilarikan ke luar negeri. Namun, bila celah itu dimanfaatkan oleh wajib pajak badan, ternyata merugikan mereka sendiri. Misalkan, sebuah perusahaan mempunyai keuntungan di atas Rp 10 juta, lalu ikut bermain deposito swap, pendapatan dari premi swap tadi tentu akan dikenai pajak lebih besar (5% atau 35%). Jadi, bank menciptakan celah tak lain agar nasabah bisa bermain. Dari situ nasabah beroleh keuntungan dan bank ikut kebagian. Max Wangkar, Diah Purnomowati, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini