DUGAAN ekonom dan pengamat bank, yang tiap kali mendengung sejak lahirnya Paket Kebijaksanaan Oktober 1988, kini jadi kenyataan. Dalam pengakuan seorang bankir terkemuka, puluhan bank sedang sesak napas. Bahkan tidak berapa lama lagi, beberapa bank sudah siap menggeletak. Tragisnya, penyakit ini tidak hanya dialami oleh bank-bank papan bawah -- semisal bank pasar -- tapi juga bank-bank papan atas. Keadaan semakin runyam, ketika ternyata bank-bank yang baru beroperasi beberapa bulan pun ikut megap-megap. Singkat kata, suasana perbankan di Indonesia kalang-kabut. Tapi beberapa bankir senior yang dihubungi TEMPO masih bisa bersikap tenang seraya menutup-nutupi kerisauan hatinya. "Itulah salah satu dampak dari Pakto," demikian umumnya komentar mereka. Tak pelak lagi, memang, semuanya berpangkal pada paket kebijaksanaan yang turun dua tahun lalu. Sejak pedang deregulasi itu berkelebat, mendirikan bank bagaikan membuka warung Tegal laiknya. Bank-bank tumbuh ibarat jamur di musim hujan. Entah itu bank campuran, bank swasta nasional, maupun yang hanya sekadar membuka cabang-cabang baru. Semula, persaingan tampak pada pengumpulan dana dari masyarakat. Bank berlomba-lomba menawarkan tabungan berhadiah ratusan juta. Setelah itu, persaingan merambat ke penyaluran kredit. Hingga awal 1990, hampir semua bank menyalurkan rupiahnya dengan cara jor-joran. Termasuk penyaluran kredit rumah, mobil, hingga ke perbaikan rumah. Bahkan, ketika pasar modal sedang hangat-hangatnya, kendati dilarang pemerintah, tidak sedikit bank yang membiayai spekulan untuk bermain saham. Limpah-ruah rupiah itu tidak berlangsung lama. Akhir Januari lalu, melalui sebuah paketnya, pemerintah menyatakan akan menarik kredit likuiditas (KL) yang telah diberikan kepada semua bank. Dengan kata lain, setiap KL yang sudah jatuh tempo tak bisa lagi diperpanjang. Apalagi meminta KL baru. Sejak itu, bank pemerintah, beserta bank swasta yang likuiditasnya sangat encer, mulai mengerem uang yang biasa mereka alirkan ke money market. Maklum, demi menjaga nama baik, para bankir itu tak mau menunda pengembalian KL mereka yang jumlahnya tidak sedikit. Coba simak penjelasan Menteri Keuangan di hadapan Komisi APBN DPR-RI, pekan lalu. Menurut Sumarlin, posisi KL yang tersebar di berbagai bank (pemerintah, swasta, bank asing, dan bank daerah), per akhir September lalu, hanya tinggal Rp 14,481 trilyun. Ini berarti, dalam waktu enam bulan, KL yang ditarik BI tak kurang dari Rp 3,4 trilyun. Jumlah yang cukup besar. Dalam upaya menahan diri, bank pemerintah yang paling kaya sekalipun mengendalikan dengan seksama kiprah mereka di pasar uang antarbank. Sebab, dari jumlah seluruh KL yang disedot oleh BI (Rp 17.450,9 trilyun), ternyata sekitar 80% berada di bank-bank pemerintah. Dalam pada itu, sejumlah bank swasta masih juga memanfaatkan kenikmatan bermain di pasar uang antarbank. Anda tentunya masih ingat ketika bunga overnite melonjak-lonjak di antara angka 35 dan 40%. Dewasa ini, suasananya sudah semakin parah. "Kalaupun sekarang ada yang pasang bunga overnite 50%, itu pun sudah dianggap berani," ujar seorang komisaris pada sebuah bank papan atas. Maksudnya? Menurut komisaris yang tak mau disebut namanya itu, kini semua bank yang memiliki likuiditas berlebih tak mau lagi melemparkan uangnya kepada bank-bank yang sedang kehausan. "Dana yang ada pada kami hanya digunakan untuk maintenance nasabah yang sudah ada," katanya. Kini seluruh bank praktis menghentikan penyaluran kredit mereka. "Untuk sementara, kami tidak mencari nasabah baru," kata seorang direktur bank di kawasan Jakarta Pusat. Nasabah pengutang memang tak dicari, tapi nasabah yang status deposan atau penabung tetap tentu terus diburu-buru. Bunga deposito yang dipajang di berbagai media menunjukkan bahwa bunga itu besarnya 22-23,5%. Namun, jangan silaf, itu tarif resmi. Pada kenyataannya, menurut seorang pengusaha yang baru saja menanamkan uangnya (Rp 500 juta) di sebuah bank swasta, bunga deposito yang terjadi jauh di atas 25%. "Saya dikasih bunga 28%. Itu bersih, Iho," ujarnya terus terang. Artinya, dari bunga yang diperoleh, ia tidak lagi terkena beban berupa pajak penghasilan. Dengan kata lain, tingkat bunga deposito yang diberikan bank tersebut, jelas di atas 30%. Nah, kalau deposito sudah demikian tinggi, lantas dengan bunga berapa uang itu sampai pada debitur? Entahlah. Tapi, kabarnya, para bankir tak lagi segan-segan bermain dengan bunga tinggi. Lebih tak masuk akal adalah tindakan nekat sejumlah bank yang menangguk dana dari pasar gelap. Biasanya dana itu ditawarkan oleh pengusaha yang memiliki dana menganggur dalam jangka minimal satu bulan. Bunganya, jangan tanya, lima persen sebulan. Ke pasar gelap itulah, menurut seorang bankir, bank-bank mencari fresh money, sebab pasar uang antarbank tak berfungsi lagi. Selain itu, pasar gelap juga termasuk sarana yang aman. Sebab, dengan cara itu, "Kondisi likuiditas mereka yang buruk tidak akan diketahui oleh nasabah maupun BI," kata seorang bankir lainnya. Jadi, sangat lain dibandingkan bunga deposito, yang kalau dimuat di surat kabar akan langsung ketahuan oleh semua orang. Pekan lalu BI memanggil 20 pengurus bank swasta. Konon, mereka dipanggil karena sangat kentara dalam mencari dana dengan bunga yang kelewat mahal. "Ada 12 bank yang terkena peringatan keras," kata salah seorang pengurus yang ikut menghadap BI. Hanya saja, tidak jelas, sampai separah apa keadaan likuiditas bank-bank tersebut. Tapi seorang bankir sempat mengingatkan, "Kalau Anda punya uang, berhati-hatilah memilih bank." Dan ia berpesan, pilihlah bank yang tidak bergabung dalam grup usaha. Katanya lagi, bank-bank model inilah yang keadaannya payah karena digerogoti oleh usaha mereka sendiri. Maklum, kalau sembarangan pilih -- hanya karena melihat suku bunga yang ditawarkan -- bisa-bisa uang yang diharapkan justru menguap. Bukti yang tak terbantah lagi adalah Bank Pasar Gunung Palasari, yang akhir bulan lalu resmi ditutup oleh Departemen Keuangan. Budi Kusumah, Bambang Aji, Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini