SEPERTI memelihara anak macan, sudah membesarkan malah diterkam. Begitulah nasib yang kini dialami PT Timah Tbk. Kebijakan Timah yang menyetujui pemberian kesempatan kepada masyarakat sekitar untuk menambang timah di area bekas tambang miliknya di Bangka dan Belitung, kini, berbuah pahit, bahkan teramat pahit.
Kebijakan yang semula dimaksudkan untuk menolong masyarakat Bangka Belitung keluar dari impitan krisis ekonomi itu kini justru membuat kinerja Timah sempoyongan. Bahkan, jika tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin hal itu akan mengakibatkan perusahaan tambang timah pelat merah ini ambruk.
Sedahsyat itukah? Tanda-tanda ke arah itu bisa dilihat dari laporan keuangan semester pertama tahun 2001. Laba tengah semester yang dibukukan perusahaan ini anjlok 50 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Enam bulan pertama tahun 2000, Timah masih bisa mengumpulkan laba Rp 250,1 miliar. Tahun ini, labanya cuma Rp 126,2 miliar.
Anjloknya harga timah di pasar dunia menjadi penyebab merosotnya kinerja Timah. Harga timah dunia, yang Januari 2001 lalu masih bertengger pada kisaran US$ 5.200?5.400 per ton, perlahan-lahan terus merosot. Pada posisi Juli 2001, harga timah dunia masih US$ 4.900 per ton. Tapi, begitu masuk bulan Agustus, harganya tinggal US$ 3.630 per ton.
Lesunya ekonomi negara industri maju seperti Amerika Serikat dan Jepang memang memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap melemahnya harga timah. Maklum, negara-negara maju itu merupakan konsumen utama timah dunia. Namun, soalnya bukan hanya itu. Di saat permintaan lemah-lunglai, keadaan diperparah dengan pasar yang ke-lebihan pasokan yang ditengarai berasal dari gerojokan timah Indonesia.
Direktur Utama PT Timah Tbk., Erry Rijana Hardjapamekas, tidak memungkiri kenyataan itu. Ia menuding maraknya penambangan timah liar di Bangka Belitung sebagai faktor yang menyebabkan berlebihnya pasokan timah dunia. Kini, produksi penambangan liar justru lebih besar daripada yang dihasilkan Timah. Produksi tambang liar yang menurut catatan Timah jumlahnya mencapai 4.350 unit itu lebih dari 42 ribu ton per tahun, sementara produksi Timah sendiri hanya sekitar 40 ribu ton per tahun.
Jadi, pasokan timah yang berasal dari Indonesia mencapai sekitar 82 ribu ton per tahun. Padahal, jatah pasok Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil timah terbesar di dunia, tidak boleh lebih dari 50 ribu ton per tahun. "Lebih dari itu, pasar akan goyang," kata Direktur Utama PT Tambang Timah (anak perusahaan Timah Tbk.) Ali Darwin.
Melubernya pasokan dari Indonesia membuat negara produsen timah lainnya, Cina, Peru, Bolivia, Brasil, dan Australia, terkaget-kaget. Mereka mungkin bertanya: apa yang terjadi dengan pertambangan timah di Indonesia? Bukankah pemasok timah dari Indonesia hanya dua perusahaan: Tambang Timah dan Kobatin (perusahaan patungan Timah Tbk. dengan perusahaan tambang dari Australia)?
Rupanya, pihak swasta mulai ikut-ikutan menjadi eksportir timah. Padahal, menurut Ali Darwin, hingga kini pemerintah tidak pernah mengeluarkan izin usaha pertambangan untuk pengelolaan dan penjualan (ekspor) timah kepada swasta. Izin seperti itu hanya diberikan kepada Tambang Timah dan Kobatin.
Lalu, bagaimana swasta bisa mengekspor timah ke pasar dunia? Jangan lupa, ini era otonomi daerah. Di era ini, banyak bupati merasa leluasa mengeluarkan aturan sendiri yang bertabrakan dengan kebijakan pusat. Begitu juga dalam soal penambangan timah. Pemerintah pusat boleh tidak memberikan izin, tapi sebagai penguasa daerah, Bupati Bangka, juga Belitung, agaknya merasa punya hak untuk mengeluarkan izin usaha pertambangan, baik pengolahan maupun ekspor.
Buat bupati, para penambang liar memang bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Bupati mungkin tidak berpikir jauh soal dampaknya terhadap harga timah dunia, dan berikutnya kepada pemasukan negara. Hal itu secara tidak langsung diakui oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Bangka, Usman Saleh. Menurut dia, kebijakan bupati mengeluarkan peraturan daerah yang memberikan izin usaha pertambangan dan izin ekspor kepada swasta memang dimaksudkan untuk meningkatkan PAD.
Tambang-tambang liar?tapi berizin pemerintah daerah?itu memang memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap gemuknya kocek pemerintah setempat. Seperti diatur dalam peraturan daerah, pemerintah Kabupaten Bangka mengutip Rp 1.000 dari setiap kilogram pasir timah yang dihasilkan tambang liar. Nah, jika total produksi timah liar?yang diolah dari pasir timah?saja mencapai 42 ribu ton per tahun, duit yang mengisi kas pemerintah kabupaten memang tidak sedikit.
Belum lagi duit dari izin-izin yang dikeluarkan. Untuk satu izin usaha pertambangan skala besar (pengolahan sekaligus ekspor), biayanya mencapai Rp 250 juta. Sedangkan izin penambangan skala kecil (pengolahan saja) sekitar Rp 8 juta. Lalu, masih ada lagi pungutan pajak galian dan retribusi ekspor.
Maka, tak mengherankan bila pemerintah Kabupaten Bangka terkesan tidak peduli dengan kerisauan Timah yang merasa terganggu dengan maraknya pertambangan liar itu. Menurut Usman Saleh, Timah hanya takut ter-saingi oleh tambang-tambang yang mendapat "lisensi" dari bupati.
Bagi Timah, memang tak mudah bersaing secara sehat dengan tambang-tambang liar berlisensi itu. Harga timah yang diproduksi Timah jatuhnya lebih mahal. Sebab, "Kami harus membayar pajak, mengeluarkan biaya eksplorasi. Kemudian, setelah timah ditambang, kami melakukan rehabilitasi lahan. Banyak lagi komponen biaya yang harus dikeluarkan, sementara mereka tidak mengeluarkan biaya sebanyak itu," kata Ali Darwin.
Kini, setelah harga timah anjlok, sebenarnya yang rugi bukan hanya Timah. Para penambang liar akhirnya kena getahnya. Pendapatan penambang liar pun mulai merosot. Timan, seorang penambang timah berusia 40 tahun, mengaku bisa menjual pasir timah?yang di-pasoknya ke cukong pengolah?Rp 6.000 per kilogram ketika harga sedang bagus. Namun, sekarang, ia harus puas mendapatkan harga pasir timah Rp 4.000 per kilogram.
Menurut Timan, harga pasir timah saat ini tidak cukup untuk menutup biaya produksi. Dari tiap kilogram pasir yang ia gali, ia harus menyetor Rp 1.000 ke pemerintah melalui rukun tetangga di sekitar lokasi tambangnya. Itu berarti ia hanya memperoleh Rp 3.000 per kilogram. Setiap hari Timan menghasilkan 40-50 kilogram pasir timah dan untuk itu ia menghabiskan 40 liter solar (Rp 950 per liter). Selain itu, ia harus mengeluarkan biaya untuk membayar lima orang pekerja berikut biaya makannya.
Dengan pengeluaran seperti itu, penambang seperti Timan sejatinya tidak mendapat hasil banyak dari pekerjaannya. "Sebenarnya ingin alih profesi, tapi belum ada jalan," kata lelaki kelahiran Mentok ini.
Tampaknya, yang masih diuntungkan oleh situasi suram sekarang ini adalah para tauke alias cukong pengumpul pasir timah. Sebab, tanpa investasi yang besar, mereka bisa mengolah untuk kemudian mengekspor timah ke luar negeri. Sementara itu, rakyat tak mendapat hasil berarti, perusahaan timah negara pun terancam bangkrut karena terus merugi. Saat ini, biaya yang dikeluarkan Timah untuk menghasilkan satu ton timah sekitar US$ 4.000, sementara harga jual di pasar internasional hanya US$ 3.630 per ton.
Saat ini yang bisa dilakukan Timah adalah mengencangkan ikat pinggang. Sejak Agustus lalu, Timah melakukan serangkaian gerakan penghematan, dari menunda investasi barang modal, menunda kegiatan eksplorasi, menghentikan kegiatan dua kapal keruk, melepas aset tak produktif, hingga mengefisienkan organisasi dengan melepas tenaga harian lepas.
Nah, kalau begitu, siapa yang rugi?
Hartono, Purwani Diyah Prabandari, Asnadi (Bangka)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini