BEBAN utangnya US$ 13,4 miliar, sahamnya didepak dari Wall Street, dan Asia Pulp & Paper Co. (APP) dijuluki sebagai debitor terbesar di pasar uang negara berkembang. Bagi keluarga Eka Tjipta Widjaya, pemilik utama APP, aib itu telah tercoreng di kening mereka untuk selama-lamanya. Dan sejak APP menyatakan penghentian pembayaran cicilan utang dan kupon obligasi, Maret silam?karena tak mampu membayar?puluhan kreditor memburu ke alamat kantor APP, apakah itu di Singapura, Hong Kong, bahkan di New York.
Kata orang, bencana besar adalah saudara kembar dari ambisi besar. Pemeo ini sungguh pas untuk APP?terdaftar di bursa saham Singapura?yang berekspansi di Cina, India, dan Malaysia. Waktu itu, mereka menerbitkan surat utang dalam jumlah besar. Rencana ekspansi ke Malaysia sempat dibatalkan karena, pada 1998, APP mulai kesulitan dana. Namun, pabrik kertas di India sudah beroperasi kendati volumenya kecil. Ekspansi paling besar dilakukan di Cina karena APP membidik potensi pasar negeri berpenduduk 1 miliar jiwa itu. APP juga mendapat lisensi di Negara Tirai Bambu tersebut.
Total ekspansi APP yang menggunakan obligasi dalam sepuluh tahun (awal 1990 sampai akhir 1999) memakan biaya US$ 12 miliar. Penggelembungan utang terbesar terjadi pada tahun terakhir untuk ekspansi ke Cina. Utang raksasa itu tak terbayar karena penerimaan mereka hanya US$ 3-4 miliar tiap tahun. Akibatnya, surat utang yang jatuh tempo dibayar dengan menerbitkan surat utang baru plus bunga lebih tinggi. Cara itu sering disebut refinancing, tapi sebenarnya tak lebih dari gali lubang tutup lubang.
Tapi, waktu itu, siapa mengira APP bakal tumbang? Bahkan, sejumlah bank investasi dan bank komersial sama-sama berperan se-bagai fund manager dalam penerbitan surat utang dan pengaturan sindikasi utang buat APP. Sebut saja Franklin Templeton Investment dan Capital Group dari Amerika. Lalu, ada beberapa bank investasi terkemuka seperti Merrill Lynch, Morgan Stanley Dean Witter, Goldman Sachs, dan J.P. Morgan. Dan masih ada sederet nama tenar seperti ING Barings, Credit Suisse First Boston, UBS Warburg, dan Deutsche Morgan Grenfell.
Dari kalangan bank komersial, ada sejumlah nama beken yang ikut mengatur sindikasi utang internasional buat APP, seperti ABN Amro Bank, Barclays Bank, Bank of America, Dresdner Kleinworth Benson, Fuji Bank, Development Bank of Singapore, ING Bank, Bank of China, Credit Lyonnais, dan Deutsche Bank. Juga ada segelintir agen kredit ekspor yang ikut menjamin utang tersebut, antara lain US Export Import Bank, Hermes, Exportkreditamnden, dan Osterreichische Kontrollbank.
Malang tak dapat ditolak, harga pulp dan kertas jatuh, dan awal tahun 2000 APP mulai megap-megap. Saat itu pula para kreditor mulai waswas. Untuk meredam kekhawatiran itu, APP bukannya menjual aset untuk membayar utang, tapi lagi-lagi menerbitkan surat utang baru. Akhirnya, APP tak mampu lagi mem-bayar utang. Jumlahnya sudah mencapai US$ 13,4 miliar atau setara dengan Rp 120,6 triliun pada kurs Rp 9.000 per dolar AS. Setelah itu, malapetaka datang sambung-menyambung. Sahamnya di bursa saham New York didepak (delisting) karena harganya turun drastis dan terus berada di bawah US$ 1 per unit saham.
Tak ada jalan lain, perundingan dengan para kreditor pun diadakan untuk membicarakan cara pembayaran utang APP. Ada pembayaran utang secara tunai, lewat penjadwalan kembali, atau pengalihan utang menjadi saham (debt equity swap). Para kreditor juga membentuk Komite Pengarah untuk mengawasi manajemen APP, khususnya yang terkait dengan upaya melunasi utang.
Komite ikut mengawasi rencana APP menjual Pindo Deli pada rentang harga US$ 100 juta-US$ 150 juta. Penjualan itu, menurut juru bicara APP, Prisca Deassy, seperti dikutip Reuters, dilakukan untuk memperoleh duit kontan demi melunasi utang. Namun, penjualan kepada calon pembeli dari Asia masih dirundingkan. Penjualan aset di Cina terganjal masalah harga. Pasalnya, calon pembeli menawar dengan harga di bawah nilai buku. "APP menolak dan Komite Pengarah pun tak setuju," kata Prisca.
Kini APP mulai mencicil lagi utangnya. Pekan lalu, mereka membayar utang kepada perusahaan listrik Singapura, Singapore Power Ltd., yang menjual listrik kepada pabrik APP di Indonesia. Namun, mereka mengaku belum memperoleh bayaran dari pabrik APP di Cina. Sejauh ini, APP baru bisa membayar bunga, tapi berhenti membayar utang pokok selama beberapa bulan. Toh, Senior Vice President Singapore Power, Chris Brown, yakin APP akan membayar tagihannya. "Mereka membutuhkan listrik agar pabriknya dapat terus beroperasi," katanya.
Dalam pertemuan terakhir dengan para kreditor di New York, Rabu pekan lalu, APP juga berjanji menyerahkan proposal rencana restrukturisasi utangnya pada November mendatang. Diharapkan, perundingan itu bisa selesai dengan keluarnya rencana restrukturisasi utang yang final pada akhir Maret 2002.
Nugroho Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini