Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Dirjen Sumadi: Tak Keberatan Ada ...

Wawancara TEMPO dengan Dirjen RTF Sumadi tentang siaran iklan di TVRI, peran TVRI, produksi TVRI, film serial, siaran pendidikan,serta kemungkinan adanya siaran tv swasta. (md)

22 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGENAKAN seragarm abu-abu lua gaya safari lengan pendek, Dirjen RTI Sumadi di ruang kerjanya menerima wartawan TEMPO Ed Zoelverdi dan Toeti Kakiailatu. Ia didampingi Direktur TV-RI M.N Supomo, Kepala Studio TV-RI Jakarta Alex Leo dan Kepala Sub Pemberitaan Subrata. Berikut adalah petikan seluk-beluk yang sering jadi bahan keluhan publik mengenai TV-RI dewasa ini. Tanya: Mengapa siaran iklan harus dikelompokkan pada jam pertama siaran ?. Jawab: Alasan utama bertitik tolak bagi kepentingan masyarakat Guna menghindarkan para penoton dari rasa terganggu bila iklan masuk di tengahtengah acara, maka TV-RI membuka ruangan khusus yang diberi judul "Manasuka". T: Kabarnya dengan cara begitu giliran biro iklan yang mengeluh. Apa ada akibatnya bagi TV-RI? J: Pengelompokan itu baru dimulai 22 Desember lalu, jadi baru berjalan sekitar sebulan ini. Memang terjadi penurunan iklan sekitar 40% saat ini. Tapi bisa dimaklumi, karena masih dalam suasana transisi. Banyak biro iklan itu bersikap menunggu perkembangan. T: Tapi pada jam siaran sore itu justru anak-anak yang banyak menonton. Apakah kena sasaran yang ingin mereka kejar? Apa TV-RI tak kuatir adanya pengaruh buruk pada anak-anak? J: Tiap biro iklan punya bagian survai. Mereka nampaknya tahu konsumen yang ing}n dicapai. Sebagai contoh, pernah kita anjurkan agar sesuatu iklan itu dipasang di Medan saja, (tapi) mereka bilang ini cocok untuk Jakarta sesuai hasil survai mereka. Dan boleh juga diketahui, siaran niaga sore hari itu sudah lama ada di Jerman Barat. T: Setelah pengelompokan itu nampak adanya semacam "dominasi" perusahaan tertentu. Bagaimana komentar bapak? J: "Manasuka" siaran niaga itu memang khusus untuk promosi. Kalau dalam koran atau majalah namanya lembaran iklan. Adanya kesan "dominasi" perusahaan tertentu, hal ini sama sekali bukan merupakan kebijaksanaan. Hanya soal kebetulan saja. Sama seperti dalam lembaran iklan, adakalanya proporsi iklan dari satu perusahaan melebihi dari yang lain. Data siaran komersiil kwartal III tahun 1976, misalnya, menunjukkan 28% lebih iklan berasal dari perusahaan nasional. 64% lebih produksi usaha dalam negeri/joint venture, dan hanya sekitar 6% promosi barang impor. Jatah untuk siaran niaga ini pun hanya 8 dari seluruh jam siaran. T: Banyaknya iklan ada menimbulkan pertanyaan: apa peran TV sebenarnya di Indonesia? J: Seperti diketahui televisi merupakan satu media yang hingga kini paling banyak meminta biaya. Baik untuk investasi maupun eksploitasi. Di negara berkembang kebutuhan masyarakat akan media ini jelas lebih banyak pada acara-acara penerangan, pengembangan sosial budaya dan lain sebagainya. Di negara yang sudah maju, seperti di AS, fungsi televisi seperti ini sudah lebih berkurang. Nah, kalau suatu negaa berkembang memutuskan untuk mengadakan televisi, mengingat biaya yang tinggi dan kebutuhannya untuk apa, maka televisi itu diselenggarakan oleh pemerintah. Sehingga sudah sewajarnya televisi merupakan media pembangunan. Itu bisa dikelompokkan dalam 4 mata acara: penerangan dan pemberitaan, pendidikan dan kerohanian, pembinaan kehidupan sosial budaya, dan hiburan. Adanya siaran komersiil adalah satu manifestasi dari kebijaksanaan pemerintah pada tahun 1962. Karena sudah disadari besarnya biaya, pemerintah mengharapkan lambat laun TV-RI bisa berdiri di kaki sendiri. Waktu itu ditetapkan 3 sumber pendapatan yang bisa diolah oleh TV-RI. -Yaitu: subsidi dari anggaran belanja negara, iuran penonton, dan dari siaran komersiil. T: Berapa besarnya angka-angka itu? J: 1,5% dari subsidi pemerintah, iuran penonton 58,5% dan dari iklan 40%. T: Mungkinkah menaikkan iuran penonton, dengan maksud menghapus iklan yang telah "mengusik" kesenangan mereka menonton? J: Kalau iuran penonton itu ingin dinaikkan, harus dilihat dulu berapa jumlah pesawat televisi yang ada. Pada saat ini yang terdaftar baru sekitar 500 ribu, satu jumlah yang masih amat sedikit. Di Jepang saja meliputi 21 juta pesawat. Dan kalau ditanya berapa masuknya iuran, mereka menjawab: 99,49%. Kita bekerja sama dengan Pos & Giro. Sekitar 70 sampai 80% saja yang masuk. Masih perlu dicari jalan untuk meningkatkan pemasukan iuran itu. Tapi soalnya tentu terpulang pada kesadaran masyarakat juga untuk mematuhi kewajibannya. Seperti di Australia saja misalnya, para pemilik televisi tak musti sampai ditagih memhayar iurannya. Di sini jangankan membayar iuran, banyak juga yang tidak mendaftarkan pesawatnya. Sekali-sekali boleh juga ditimbang. Rata-rata pemilik televisi itu membayar Rp 600 sebulan. Bisa menonton 30 hari sebulan, yang seharinya berarti Rp 20 untuk 5 jam siaran. Jadi Rp 4 satu jam. Itu untuk satu keluarga. Tarohlah keluarga itu minimum terdiri dari 5 orang. Maka jatuh per kapita Rp 0,80. Dari jumlah itu, yah, mungkin pungutan iuran perlu ditinjau kembali. T: Bagaimana tanggapan terhadap surat-surat pembaca di koran mengenai TV-RI? J: Kesimpulannya senantiasa agar acara-acara televisi ini diperbaiki. Setelah dianalisa memang perbaikan itu perlu, terutama teknis maupun penyajiannya. Tapi juga itu sering menyangkut selera. Misalnya, ada remaja yang menonton acara Minang, atau Jawa lantas menyebut acaranya tidak menarik. Ini menyangkut selera, yang jelas tak dapat diperdebatkan - kecuali bila sudah keterlaluan. T: Tapi bagaimana bila soalnya memang menyangkut teknis. Seperti keliru pasang telop (teksnya mengutip Jenderal Panggabean, tapi gambarnya Ali Bhutto, misalnya). Atau satu film diputar sudah dipotong sebelum habis dan semacam itu. J: Memang perlu diakui, akhir-akhir ini kesalahan teknis banyak terjadi, karena kita menginstalasi peralatan baru yang serba modern. Ini belum sepenuhnya dikuasai petugas-petugas. Jadi adakalanya salah pijit knop. Tapi kesalahan teknis toh kejadian juga di koran? Cuma di televisi hal itu lantas kentara sekali. Soalnya banyak tergantung situasi psikologis manusia yang menangani ketika itu. Selain itu daya reaksi petugas juga lemah untuk bertindak cekatan. Sehingga saya sering langsung menghubungi studio bila ada kesalahan-kesalahan begitu. Di samping itu perlu juga diketahui, siaran televisi tiap hari itu berasal dari studio yang masih tergolong pilot-project. Pagi dipakai untuk rekaman sampai sekitar jam 16. Sore harinya sudah harus siaran. Pada saat siaran ini 60 sampai 70o adalah siaran hidup. Selisih waktu yang tersedia untuk pergantian acara kadang-kadang cuma 5 menit untuk mengganti dekor. Seharusnya ada beberapa studio yang siap menampung pergantian acara itu. T: Berapa perbandingan produksi TV-RI sendiri dengan produksiyang datang dari luar? J: Produksi sendiri TV-RI meliputi tiga perempat bagian lebih dari siaran setiap hari. Selebihnya baru produksi dari luar, termasuk film-film serial itu. Ini merpakan kerja yang berat. Televisi memang pernah disebut orang lerman sebagai pabrik kebudayaan. Artinya, sekali kita mulai, berarti kerja yang nonstop. Ambil contoh, membuat sebuah musical show. Mungkin diperlukan waktu 3 bulan untuk membuat filmnya, tapi muncul di layar cuma setengah jam. JeIas kita tak bisa menunggu 3 bulan lagi untuk siaran berikutnya. Problem waktu ini merupakan satu soal, di samping fasilitas yang ada sekarang sangat minim. T: Mungkinkah mengharapkan siaran TV-RI dalam bahasa Indonesia termasuk film-film seri itu? J: Sampai sekarang kita baru menyewa film seri tersebut. Untuk memberi suara dalam bahasa Indonesia berarti kita harus membelinya. Paling-paling kita usahakan memberi sub-titling. Tapi kalau disewa apakah film itu boleh diberi sub-title? Barangkali dapat kita usahakan memberi teks secara elektronis kelak. T: Bagaimana caranya menetapkan pilihan sesuatu film serial? J: TV-RI mencari atau menerima tawaran dari fihak kedua atau distributor film apa saja yang bisa diperoleh TV-RI. Lalu penilaian dilakukan berdasarkan sinopsis atau keterangan lain. Bila cocok, maka distributor itu mengirimkan contoh film tersebut. Tahap berikutnya masih dilakukan seleksi lagi, dan bila oke terjadilah tawar-menawar. Lalu proses penyelesaian dokumen melalui Deppen, Departemen Keuangan/Ditjen Bea Cukai. Dari gudang bandar udara film itu langsung masuk sensor. Kemudian sebuah team khusus TV-RI meninjaunya lagi. Proses penyewaan sampai penyiaran biasanya makan tempo 3 sampai 6 bulan, tergantung dari kopi film itu, apakah sedang diputar pula di negara lain. T: Sejauh mana TV-RI membina bibit-bibit baru di bidang musik? J: Kebijaksanaan pembinaan musik itu tetap ada. Dan kalau kejadian acara televisi banyak menampilkan rekaman dari perusahaan kaset, hendaknya dipandang sebagai kejadian yang insidentil. Sebab pembinaan musiknya jalan terus, bersama-sama dengan RRI dan juga dalam rangka kerjasama dengan Departemen P & K -- khususnya Ditjen Kebudayaan. Juga kami akan bekerjasama dengan akademi-akademi musik dan yayasan musik. T: Apa kesulitan TV-RI melengkapi visualisasi mata acara wawancara? J: Ada pidato atau wawancara yang tidak bisa divisualisasikan, karena kita memerlukan otoritas dari pembicara. Tapi ada wawancara atau pidato ang bagian-bagiannya dapat divisuilkan. Untuk yang disebut belakangan ini, TV-RI berusaha memberi gambaran visuilnya, meski tak selamanya berhasil. Baik karena waktu yang amat mendesak atau kadang-kadang kesulitan dokumentasi. Namun usaha melengkapi dokumentasi terus ditingkatkan. Contohnya, pidato Presiden 16 Agustus, pada siaran ulangan malam harinya diberi gambaran visuil sesuai dengan pokok pembicaraan. T: Berapa iuran yang dikenakan bagi pemilik pesawat berwarna? J: Ini sedang digodog, bila sudah ada gambaran berapa jumlah pesawat penerimanya, baru bisa ditentukan jumlahnya. T: Beberapa waktu lalu ada rencana menyelenggarakan TV Pendidikan, yang merupakan proyek BP3K, Departemen P & K Katanya bakal dimulai jika sudah adaPalapa. Sekarangapa kabarnya? J: Rencana itu masih dalam proses penyelesaian. Memang antara P & K dan TV-RI sudah dicapai kesepakatan. Pada Prinsipnya mereka yang menentukan kurikulum. Selain itu dari segi penerimaannya, bila ditujukan ke sekolah-sekolah tentu perlu ada buku pengantar. Pesawat penerimanya harus disediakan, dan yang penting juga ialah evaluasi bila satu saat ada ujian. Itu dari segi P & K. Sedangkan dari fihak TV-RI, kami prinsipnya hanya carrier dari pada acara-acara itu. Atau sejauh kemampuan kami, juga sebagai produser, asal bahan mentahnya siap dari P & K: apakah nanti akan dibuat siaran hidup, rekaman atau film. T: Apakah kelak akan dibuka pula saluran sendiri lagi untuk itu? J: Saya kira tidak. Saluran yang ada sekarang saja bila misalnya mereka mengadakan siaran siang hari bisa dipakai. T: Jadi teve swasta sampai sekarang masih tabu? J: Kami sendiri tidak keberatan adanya televisi swasta. Asal sudah ada rules of the game. Ini berdasarkan pengalaman. Waktu pemerintah membuka kesempatan membuka radio-radio swasta, kacau-balau. Frekwensi di udara kita ini simpang, siur. Sampai penerbangan kita terganggu. Stel pelabuhan Kemayoran waktu pilot kita mau turun, yang terdengar musik pop. Macam-macam. Dari segi pengawasan, nah, kita memang belum ada UU Pokok siaran televisi dan UU Pokok siaran radio -- yang pada suatu ketika tentunya harus ada. Di situ nanti ditetapkan: apakah televisi ini hanya pemerintah yang menyelenggarakan ataukah swasta. Kalau swasta boleh juga, ketentuannya apa, syaratnya apa dan sebagainya. Kalau ada aturan permainannya akan lebih baik, daripada membuka kesempatan begitu saja, lalu tidak karuan. T: Jadi boleh diharap parlemen kila angkat suara tentang hal ini? J: Terserah pada wakil-wakil rakyat nanti . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus