MENGENAKAN seragarm abu-abu lua gaya safari lengan pendek,
Dirjen RTI Sumadi di ruang kerjanya menerima wartawan TEMPO Ed
Zoelverdi dan Toeti Kakiailatu. Ia didampingi Direktur TV-RI M.N
Supomo, Kepala Studio TV-RI Jakarta Alex Leo dan Kepala Sub
Pemberitaan Subrata. Berikut adalah petikan seluk-beluk yang
sering jadi bahan keluhan publik mengenai TV-RI dewasa ini.
Tanya: Mengapa siaran iklan harus dikelompokkan pada jam pertama
siaran ?.
Jawab: Alasan utama bertitik tolak bagi kepentingan masyarakat
Guna menghindarkan para penoton dari rasa terganggu bila iklan
masuk di tengahtengah acara, maka TV-RI membuka ruangan khusus
yang diberi judul "Manasuka".
T: Kabarnya dengan cara begitu giliran biro iklan yang mengeluh.
Apa ada akibatnya bagi TV-RI?
J: Pengelompokan itu baru dimulai 22 Desember lalu, jadi baru
berjalan sekitar sebulan ini. Memang terjadi penurunan iklan
sekitar 40% saat ini. Tapi bisa dimaklumi, karena masih dalam
suasana transisi. Banyak biro iklan itu bersikap menunggu
perkembangan.
T: Tapi pada jam siaran sore itu justru anak-anak yang banyak
menonton. Apakah kena sasaran yang ingin mereka kejar? Apa TV-RI
tak kuatir adanya pengaruh buruk pada anak-anak?
J: Tiap biro iklan punya bagian survai. Mereka nampaknya tahu
konsumen yang ing}n dicapai. Sebagai contoh, pernah kita
anjurkan agar sesuatu iklan itu dipasang di Medan saja, (tapi)
mereka bilang ini cocok untuk Jakarta sesuai hasil survai
mereka. Dan boleh juga diketahui, siaran niaga sore hari itu
sudah lama ada di Jerman Barat.
T: Setelah pengelompokan itu nampak adanya semacam "dominasi"
perusahaan tertentu. Bagaimana komentar bapak?
J: "Manasuka" siaran niaga itu memang khusus untuk promosi.
Kalau dalam koran atau majalah namanya lembaran iklan. Adanya
kesan "dominasi" perusahaan tertentu, hal ini sama sekali bukan
merupakan kebijaksanaan. Hanya soal kebetulan saja. Sama seperti
dalam lembaran iklan, adakalanya proporsi iklan dari satu
perusahaan melebihi dari yang lain. Data siaran komersiil
kwartal III tahun 1976, misalnya, menunjukkan 28% lebih iklan
berasal dari perusahaan nasional. 64% lebih produksi usaha
dalam negeri/joint venture, dan hanya sekitar 6% promosi barang
impor. Jatah untuk siaran niaga ini pun hanya 8 dari seluruh
jam siaran.
T: Banyaknya iklan ada menimbulkan pertanyaan: apa peran TV
sebenarnya di Indonesia?
J: Seperti diketahui televisi merupakan satu media yang hingga
kini paling banyak meminta biaya. Baik untuk investasi maupun
eksploitasi.
Di negara berkembang kebutuhan masyarakat akan media ini jelas
lebih banyak pada acara-acara penerangan, pengembangan sosial
budaya dan lain sebagainya. Di negara yang sudah maju, seperti
di AS, fungsi televisi seperti ini sudah lebih berkurang.
Nah, kalau suatu negaa berkembang memutuskan untuk mengadakan
televisi, mengingat biaya yang tinggi dan kebutuhannya untuk
apa, maka televisi itu diselenggarakan oleh pemerintah. Sehingga
sudah sewajarnya televisi merupakan media pembangunan. Itu bisa
dikelompokkan dalam 4 mata acara: penerangan dan pemberitaan,
pendidikan dan kerohanian, pembinaan kehidupan sosial budaya,
dan hiburan.
Adanya siaran komersiil adalah satu manifestasi dari
kebijaksanaan pemerintah pada tahun 1962. Karena sudah disadari
besarnya biaya, pemerintah mengharapkan lambat laun TV-RI bisa
berdiri di kaki sendiri. Waktu itu ditetapkan 3 sumber
pendapatan yang bisa diolah oleh TV-RI. -Yaitu: subsidi dari
anggaran belanja negara, iuran penonton, dan dari siaran
komersiil.
T: Berapa besarnya angka-angka itu?
J: 1,5% dari subsidi pemerintah, iuran penonton 58,5% dan dari
iklan 40%.
T: Mungkinkah menaikkan iuran penonton, dengan maksud menghapus
iklan yang telah "mengusik" kesenangan mereka menonton?
J: Kalau iuran penonton itu ingin dinaikkan, harus dilihat dulu
berapa jumlah pesawat televisi yang ada. Pada saat ini yang
terdaftar baru sekitar 500 ribu, satu jumlah yang masih amat
sedikit. Di Jepang saja meliputi 21 juta pesawat. Dan kalau
ditanya berapa masuknya iuran, mereka menjawab: 99,49%.
Kita bekerja sama dengan Pos & Giro. Sekitar 70 sampai 80% saja
yang masuk. Masih perlu dicari jalan untuk meningkatkan
pemasukan iuran itu. Tapi soalnya tentu terpulang pada kesadaran
masyarakat juga untuk mematuhi kewajibannya. Seperti di
Australia saja misalnya, para pemilik televisi tak musti sampai
ditagih memhayar iurannya. Di sini jangankan membayar iuran,
banyak juga yang tidak mendaftarkan pesawatnya.
Sekali-sekali boleh juga ditimbang. Rata-rata pemilik televisi
itu membayar Rp 600 sebulan. Bisa menonton 30 hari sebulan, yang
seharinya berarti Rp 20 untuk 5 jam siaran. Jadi Rp 4 satu jam.
Itu untuk satu keluarga. Tarohlah keluarga itu minimum terdiri
dari 5 orang. Maka jatuh per kapita Rp 0,80. Dari jumlah itu,
yah, mungkin pungutan iuran perlu ditinjau kembali.
T: Bagaimana tanggapan terhadap surat-surat pembaca di koran
mengenai TV-RI?
J: Kesimpulannya senantiasa agar acara-acara televisi ini
diperbaiki. Setelah dianalisa memang perbaikan itu perlu,
terutama teknis maupun penyajiannya. Tapi juga itu sering
menyangkut selera. Misalnya, ada remaja yang menonton acara
Minang, atau Jawa lantas menyebut acaranya tidak menarik. Ini
menyangkut selera, yang jelas tak dapat diperdebatkan - kecuali
bila sudah keterlaluan.
T: Tapi bagaimana bila soalnya memang menyangkut teknis. Seperti
keliru pasang telop (teksnya mengutip Jenderal Panggabean, tapi
gambarnya Ali Bhutto, misalnya). Atau satu film diputar sudah
dipotong sebelum habis dan semacam itu.
J: Memang perlu diakui, akhir-akhir ini kesalahan teknis banyak
terjadi, karena kita menginstalasi peralatan baru yang serba
modern. Ini belum sepenuhnya dikuasai petugas-petugas. Jadi
adakalanya salah pijit knop. Tapi kesalahan teknis toh kejadian
juga di koran? Cuma di televisi hal itu lantas kentara sekali.
Soalnya banyak tergantung situasi psikologis manusia yang
menangani ketika itu.
Selain itu daya reaksi petugas juga lemah untuk bertindak
cekatan. Sehingga saya sering langsung menghubungi studio bila
ada kesalahan-kesalahan begitu. Di samping itu perlu juga
diketahui, siaran televisi tiap hari itu berasal dari studio
yang masih tergolong pilot-project. Pagi dipakai untuk rekaman
sampai sekitar jam 16. Sore harinya sudah harus siaran. Pada
saat siaran ini 60 sampai 70o adalah siaran hidup. Selisih
waktu yang tersedia untuk pergantian acara kadang-kadang cuma 5
menit untuk mengganti dekor. Seharusnya ada beberapa studio yang
siap menampung pergantian acara itu.
T: Berapa perbandingan produksi TV-RI sendiri dengan
produksiyang datang dari luar?
J: Produksi sendiri TV-RI meliputi tiga perempat bagian lebih
dari siaran setiap hari. Selebihnya baru produksi dari luar,
termasuk film-film serial itu. Ini merpakan kerja yang berat.
Televisi memang pernah disebut orang lerman sebagai pabrik
kebudayaan. Artinya, sekali kita mulai, berarti kerja yang
nonstop.
Ambil contoh, membuat sebuah musical show. Mungkin diperlukan
waktu 3 bulan untuk membuat filmnya, tapi muncul di layar cuma
setengah jam. JeIas kita tak bisa menunggu 3 bulan lagi untuk
siaran berikutnya. Problem waktu ini merupakan satu soal, di
samping fasilitas yang ada sekarang sangat minim.
T: Mungkinkah mengharapkan siaran TV-RI dalam bahasa Indonesia
termasuk film-film seri itu?
J: Sampai sekarang kita baru menyewa film seri tersebut. Untuk
memberi suara dalam bahasa Indonesia berarti kita harus
membelinya. Paling-paling kita usahakan memberi sub-titling.
Tapi kalau disewa apakah film itu boleh diberi sub-title?
Barangkali dapat kita usahakan memberi teks secara elektronis
kelak.
T: Bagaimana caranya menetapkan pilihan sesuatu film serial?
J: TV-RI mencari atau menerima tawaran dari fihak kedua atau
distributor film apa saja yang bisa diperoleh TV-RI. Lalu
penilaian dilakukan berdasarkan sinopsis atau keterangan lain.
Bila cocok, maka distributor itu mengirimkan contoh film
tersebut. Tahap berikutnya masih dilakukan seleksi lagi, dan
bila oke terjadilah tawar-menawar. Lalu proses penyelesaian
dokumen melalui Deppen, Departemen Keuangan/Ditjen Bea Cukai.
Dari gudang bandar udara film itu langsung masuk sensor.
Kemudian sebuah team khusus TV-RI meninjaunya lagi. Proses
penyewaan sampai penyiaran biasanya makan tempo 3 sampai 6
bulan, tergantung dari kopi film itu, apakah sedang diputar pula
di negara lain.
T: Sejauh mana TV-RI membina bibit-bibit baru di bidang musik?
J: Kebijaksanaan pembinaan musik itu tetap ada. Dan kalau
kejadian acara televisi banyak menampilkan rekaman dari
perusahaan kaset, hendaknya dipandang sebagai kejadian yang
insidentil. Sebab pembinaan musiknya jalan terus, bersama-sama
dengan RRI dan juga dalam rangka kerjasama dengan Departemen P &
K -- khususnya Ditjen Kebudayaan. Juga kami akan bekerjasama
dengan akademi-akademi musik dan yayasan musik.
T: Apa kesulitan TV-RI melengkapi visualisasi mata acara
wawancara?
J: Ada pidato atau wawancara yang tidak bisa divisualisasikan,
karena kita memerlukan otoritas dari pembicara. Tapi ada
wawancara atau pidato ang bagian-bagiannya dapat divisuilkan.
Untuk yang disebut belakangan ini, TV-RI berusaha memberi
gambaran visuilnya, meski tak selamanya berhasil. Baik karena
waktu yang amat mendesak atau kadang-kadang kesulitan
dokumentasi. Namun usaha melengkapi dokumentasi terus
ditingkatkan. Contohnya, pidato Presiden 16 Agustus, pada siaran
ulangan malam harinya diberi gambaran visuil sesuai dengan pokok
pembicaraan.
T: Berapa iuran yang dikenakan bagi pemilik pesawat berwarna?
J: Ini sedang digodog, bila sudah ada gambaran berapa jumlah
pesawat penerimanya, baru bisa ditentukan jumlahnya.
T: Beberapa waktu lalu ada rencana menyelenggarakan TV
Pendidikan, yang merupakan proyek BP3K, Departemen P & K Katanya
bakal dimulai jika sudah adaPalapa. Sekarangapa kabarnya?
J: Rencana itu masih dalam proses penyelesaian. Memang antara P
& K dan TV-RI sudah dicapai kesepakatan. Pada Prinsipnya mereka
yang menentukan kurikulum. Selain itu dari segi penerimaannya,
bila ditujukan ke sekolah-sekolah tentu perlu ada buku
pengantar. Pesawat penerimanya harus disediakan, dan yang
penting juga ialah evaluasi bila satu saat ada ujian. Itu dari
segi P & K.
Sedangkan dari fihak TV-RI, kami prinsipnya hanya carrier dari
pada acara-acara itu. Atau sejauh kemampuan kami, juga sebagai
produser, asal bahan mentahnya siap dari P & K: apakah nanti
akan dibuat siaran hidup, rekaman atau film.
T: Apakah kelak akan dibuka pula saluran sendiri lagi untuk itu?
J: Saya kira tidak. Saluran yang ada sekarang saja bila misalnya
mereka mengadakan siaran siang hari bisa dipakai.
T: Jadi teve swasta sampai sekarang masih tabu?
J: Kami sendiri tidak keberatan adanya televisi swasta. Asal
sudah ada rules of the game. Ini berdasarkan pengalaman. Waktu
pemerintah membuka kesempatan membuka radio-radio swasta,
kacau-balau. Frekwensi di udara kita ini simpang, siur. Sampai
penerbangan kita terganggu. Stel pelabuhan Kemayoran waktu pilot
kita mau turun, yang terdengar musik pop. Macam-macam.
Dari segi pengawasan, nah, kita memang belum ada UU Pokok siaran
televisi dan UU Pokok siaran radio -- yang pada suatu ketika
tentunya harus ada. Di situ nanti ditetapkan: apakah televisi
ini hanya pemerintah yang menyelenggarakan ataukah swasta. Kalau
swasta boleh juga, ketentuannya apa, syaratnya apa dan
sebagainya. Kalau ada aturan permainannya akan lebih baik,
daripada membuka kesempatan begitu saja, lalu tidak karuan.
T: Jadi boleh diharap parlemen kila angkat suara tentang hal
ini?
J: Terserah pada wakil-wakil rakyat nanti . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini